Mengadili Isi Kepala Pegawai KPK
Kolom

Mengadili Isi Kepala Pegawai KPK

Kalau isi pikiran bisa dihukum, niscaya kita semua akan jadi kriminal.

Bacaan 5 Menit

Mendukung 75 pegawai KPK yang sedang coba disingkirkan melalui TWK tentunya bukan dalam rangka mengunggulkan mereka dibanding 1200-an pegawai lain. Narasi bahwa mereka yang tak lolos TWK hanya 5,4%, dan oleh karenanya tak signifikan, dapat dilihat sebagai upaya keji untuk mengecilkan mereka jadi sekadar angka tak penting. Padahal publik sudah bisa melihat dengan jelas, betapa mereka adalah orang-orang yang telah membuktikan pengabdiannya untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.

Menagih Presiden

Penyingkiran pegawai KPK melalui TWK ini adalah pukulan pamungkas dari rangkaian serangan pelemahan KPK. Serangan ini terkesan dimuluskan jalannya oleh sikap-sikap ambigu Presiden Jokowi, sejak revisi UU KPK dan pemilihan pimpinan KPK yang kontroversial.

Soal TWK, walau kejanggalannya sudah terungkap sejak awal, Presiden Jokowi tak pernah benar-benar mempermasalahkan proses maupun substansi TWK. Dalam pidatonya tanggal 17 Mei 2021, Presiden Jokowi menyatakan bahwa hasil TWK hendaknya tidak serta-merta jadi dasar pemberhentian pegawai KPK. Presiden juga menyatakan bahwa ia sependapat dengan MK bahwa proses pengalihan status tidak boleh merugikan pegawai KPK.

Dibaca sekilas, pidato Presiden Jokowi memang seperti membela pegawai KPK. Namun jika dibaca seksama, ada kalimat-kalimat ambigu dari presiden yang menyediakan ruang tafsir akrobatik bagi Pimpinan KPK maupun Kepala BKN. Kenyataannya, pidato ini kemudian dibaca oleh bawahan presiden seperti umpan lambung untuk smash pamungkas penyingkiran pegawai KPK.

Sepertinya pernyataan presiden agar TWK “tidak serta-merta jadi dasar pemberhentian” dipandang oleh Pimpinan KPK dan Kepala BKN sebagai arahan untuk menjelaskan sederetan pertimbangan aspek dan indikator kenapa ada 51 pegawai yang dinilai negatif tidak dapat bergabung lagi di KPK. Bahkan pendapat presiden yang menyetujui pertimbangan MK bahwa “proses pengalihan status tidak boleh merugikan pegawai KPK”, dimaknai oleh Kepala BKN dengan penjelasan bahwa pegawai KPK akan mendapatkan hak-haknya saat nanti diberhentikan. Puncaknya, Kepala BKN menyatakan bahwa keputusan terkait pegawai KPK tersebut sudah sesuai arahan Presiden Jokowi.

Meski sering terbukti sulit diharapkan, tapi Presiden Jokowi tetap harus ditagih respon dan tanggungjawabnya. Sejak undang-undangnya direvisi, KPK ditegaskan masuk dalam “rumpun kekuasaan eksekutif”. Sudah sepatutnya Presiden Jokowi mengambil langkah penyelesaian agar penyingkiran pegawai KPK bisa dibatalkan. Publik perlu aktif menagih tanggungjawab presiden. Mungkin perlu kita nyanyikan bersama lagu ciptaan Abdee Negara, ketika di tahun 2012 menagih keberpihakan Presiden SBY pada KPK: …Where are you Mr. President?

*)Eryanto Nugroho, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK),

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait