Mengatasi Kompleksitas Kelemahan Sistem Proporsional Terbuka
Terbaru

Mengatasi Kompleksitas Kelemahan Sistem Proporsional Terbuka

Mulai caleg yang diusung harus merepresentasikan derajat kedekatan warga dengan partai, hingga memiliki mekanisme kontrol dana politik dan kampanye yang digunakan oleh kader-kadernya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Lebih lanjut, Khairunnisa berpendapat caleg maupun partai politik mesti aktif di media sosial dengan memanfaatkan perangkat digital yang ada. Tapi Khairunnisa mengingatkan agar caleg dan partai politik tetap waspada dengan adanya disinformasi atau informasi bohong. Terpenting, informasi soal gagasan dari partai politik dan caleg dapat tersampaikan ke pemilih publik dengan baik.

“Paparan informasi bagaimana penyelenggaraan pemilu dan caleg bisa info yang resmi bisa sampai ke pemilih,” katanya.

Keempat, mengatasi politik uang. Menurutnya, sistem proporsional terbuka maupun tertutup rentan dengan praktik politik uang. Hanya saja bedanya, dalam sistem proporsional terbuka, uang dapat beredar antara kandidat caleg dengan pemilih. Sementara pada sistem proporsional tertutup dapat berupa suap dalam menentukan nomor urut kandidat caleg dengan partainya. Karenanya butuh integritas caleg dan partai tinggi agar tidak menggunakan praktik politik uang.

Terpisah, Ketua Network for Indonesia Democratic Society (Netfid) Indonesia Afit Khomsani mengapresiasi respons 8 partai politik yang menolak proprosional tertutup. Tapi, ia melihat tak ada sistem pemilu yang ideal dan bagus. Sistem pemilu dipilih berdasarkan yang paling memungkinkan dan bisa disesuaikan dengan konteks dan kultur masyarakat Indonesia.

Sistem pemilu proporsional terbuka juga memiliki beberapa kelemahan. Seperti mengecilnya peran parpol dan rawan politik uang. Sebab, adanya liberalisasi dalam proses pemilu. Seperti para caleg saling berlomba mendapatkan suara terbanyak. Menurutnya, masalah yang patut diperhatikan terkait sistem pemilu proporsional terbuka soal derajat kedekatan warga dengan partai yang bakal dipilihnya atau party-identification (Party-ID).

“Problem kita adalah rendahnya Party ID, bahkan sekarang hampir tidak ada. Hal ini diakibatkan pada banyak faktor, termasuk disorientasi parpol (ketidakpercayaan), ideologi yang semakin tidak jelas, dan sebagainya,” ujarnya.

Untuk mengatasi kelemahan tersebut, kata dia, partai politik diharapkan mampu memastikan caleg yang diusung merepresentasikan Party-ID yang kuat. Tak hanya elektabilitas dan tingginya basis dukungan. Sementara dalam meminimalisir praktik politik uang, partai politik berkewajiban memiliki mekanisme kontrol dana politik dan kampanye yang digunakan oleh kader-kadernya.

“Sebaliknya partai politik tak boleh memanfaatkan situasi tersebut untuk menjadikan surat rekomendasi sebagai mahar politik.”

Sebelumnya, 8 partai politik berkonsolidasi menyatakan sikap bersama menolak sistem pemilu proporsional tertutup. Konsolidasi itu diinisiasi oleh Partai Golkar sebagai salah satu partai yang menolak sistem pemilu proporsional tertutup. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menegaskan dukungan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka untuk menjaga kemajuan demokrasi. Sistem pemilu proporsional tertutup dinilai merupakan kemunduran bagi demokrasi.

“Kami menolak proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait