Menggugat Autentikasi Surat KMA Nomor 73 Tahun 2015
Kolom

Menggugat Autentikasi Surat KMA Nomor 73 Tahun 2015

Surat KMA Nomor 73 harus batal demi hukum (van rechtwageneting) ketika diajukan melalui Peradilan Tata Usaha Negara.

Bacaan 9 Menit

Dianggap sebagai tindakan menyalahgunakan diskresi jika tujuan di balik tindakan diskresi tersebut tidak benar. Jika sebaliknya dirumuskan secara positif maka suatu tindakan -diskresi pemerintah dianggap tidak bertentangan dengan asas larangan menyalahgunakan kekuasaan jika pemerintah menggunakan kekuasaan diskresinya secara patut dan atau benar tindakan diskresi pemerintah tersebut sejalan dengan tujuannya.

Maka sesungguhnya persyaratan suatu diskresi lembaga/badan dalam pelayanan publik adalah sesuai dengan prinsip negara hukum Pancasila yang merupakan resultante dari penerapan nilai-nilai moralitas hukum dalam kebijakan publik. Oleh karenanya, dalam menjalankan diskresi ini dapat menggunakan kebiasaan yang biasa dilakukan dalam praktik pemerintahan di negara-negara Eropa, paling tidak dibagi dalam dua jenis, yakni: 1). kebijaksanaan (diskresi) bebas, yaitu kebebasan administrasi negara untuk mengambil keputusan apa saja asalkan tidak melampaui/melanggar batasan-batasan yang ditetapkan oleh undang-undang; 2). kebijakan (diskresi) terikat, yaitu kebebasan administrasi negara untuk memilih salah satu alternatif yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Hal demikian telah diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan, bahwa badan atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang. Larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi: a). Larangan melampaui wewenang, b). Larangan mencampuradukkan wewenang; dan/atau c). Larangan bertindak sewenang-wenang.

  1. Menggugat Validitas Surat KMA Nomor 73 Sebagai Instrumen Hukum Mahkamah Agung.

Terbitnya Surat Ketua MA yang membuka ruang bagi setiap organisasi profesi advokat untuk mengajukan penyumpahan calon advokat ke Pengadilan Tinggi pada prinsipnya merupakan perwujudan penafsiran bahwa organisasi advokat dimaknai dalam bentuk multi bar system. Maka Surat KMA Nomor 73 demikian validitasnya tidak dapat dibenarkan karena telah nyata bertentangan dengan semangat Putusan MK yang menghendaki single bar system organisasi advokat.

Berdasarkan kajian teoretik tentu saja Surat Ketua MA demikian telah melanggar UU yang menjadi dasar pertimbangan dalam Surat Ketua MA karena menafsirkan Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkepastian hukum dalam kebijakan hukum (legal policy) tentang organisasi advokat Indonesia menjadi tidak berkepastian hukum. Itulah sebabnya mengapa Surat MA ini telah berkali-kali dipertanyakan eksistensinya oleh PERADI dan telah memicu ketidakpercayaan publik pada institusi MA karena kuat dugaan MA telah menelikung secara sepihak pada putusan MK padahal Putusan MK adalah setara dengan UU.

Karena prinsip dasar putusan MK berlaku saat dibaca dalam sidang terbuka dan tidak perlu menunggu revisi terhadap UU yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi (UUD) oleh MK. Keberlakuan Putusan MK adalah untuk umum (erga omnes) bukan saja pada para pihak (inter parties), namun juga semua warga negara dan lembaga-lembaga negara.

Oleh sebab itu, jika dilihat dari aspek kebijakan publik seolah-olah Surat KMA tersebut telah mengubah cara pandang publik terhadap organisasi advokat dari single bar system ke multi bar system. Maka dengan demikian Surat KMA ini telah nyata menyulut ketidakpastian hukum dalam aspek pelaksanaan atau penerapan UU Advokat dalam praktik pengusulan sumpah advokat.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait