Mengubah Mekanisme Pemilihan Gubernur DKI Bentuk Kesewenangan-Wenangan DPR
Terbaru

Mengubah Mekanisme Pemilihan Gubernur DKI Bentuk Kesewenangan-Wenangan DPR

Kepala daerah yang ditunjuk presiden kecenderungan mengasilkan pejabat gubernur boneka. Jakarta selama ini menjadi rujukan panggung demokrasi bagi daerah-daerah lain.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Pasal 10

(1) Provinsi Daerah Khusus Jakarta dipimpin oleh Gubernur dan dibantu oleh Wakil Gubernur.

(2) Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan  memperhatikan usul atau pendapat DPRD.

(3) Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat ditunjuk dan diangkat kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

(4) Ketentuan mengenai penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Lebih lanjut Lucius berpendapat, kepala daerah yang ditunjuk presiden kecenderungan mengasilkan pejabat gubernur ‘boneka’. Yang pasti, wacana penunjukan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh presiden samahalnya dengan tanpa gubernur sama sekali. Boleh dibilang, DKI Jakarta bakal menjadi ibukota atau daerah tanpa ruh dan semangat. Bahkan tanpa dinamika kepemimpinan sebagaimana yang sudah terlihat selama ini dalam praktiknya.

“Jakarta selama ini menjadi panggung demokrasi rujukan bagi daerah-daerah lain. Jakarta menjadi model,” katanya.

Menurutnya, yang perlu diperkuat dalam RUU Provinsi Daerah Khusus Jakarta dengan memperkuat dan memastikan proses demokrasi berjalan dengan benar dan partisipatif di DKI Jakarta. Dia menilai, model pemilihan langsung gubernur dan wakil gubernur yang begitu menjadi pusat perhatian Indonesia selama ini seharusnya tak perlu direnggut dengan mengganti model penunjukan oleh presiden.

“Ketimbang memunculkan wacana aneh-aneh, sudahlah DPR sekarang mending nggak perlu menyentuh itu UU DKI. Tunggu DPR periode baru saja untuk membahas RUU ini sehingga diharapkan ada perubahan pola pikir dari wajah parlemen yang baru,” katanya.

Terpisah, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan pemilihan kepala daerah di Jakarta yang ditunjuk langsung presiden sebagaimana diatur Pasal 10 RUU Daerah Khusus Jakarta sangat membahayakan demokrasi. Penunjukan oleh Presiden itu menghilangkan hak partisipasi warga untuk memilih pemimpin mereka yang baik dan bagus. Jika ketentuan itu diterbitkan berbarengan dengan disahkannya RUU Daerah Khusus Jakarta menjadi UU, maka yang terjadi kemunduran demokrasi.

Penunjukan kepala daerah yang berlaku di Jakarta tentunya merugikan warga Jakarta karena mengalami diskriminasi sebab tidak bisa memilih langsung calon kepala daerah melalui proses pemilu yang jujur dan adil seperti yang berlangsung selama ini. Sementara provinsi lainnya berlaku ketentuan pemilihan kepala daerah secara langsung.

Pasal 10 RUU Daerah Khusus Jakarta menunjukan praktik otoritarianisme pemerintahan Preisden Joko Widodo dan seluruh fraksi yang ada di DPR. Padahal Presiden Jokowi sebelumnya pernah dipilih secara langsung oleh warga Jakarta menjadi Gubernur DKI Jakarta melalui pemilu. Tapi sekarang Presiden Jokowi justru merusak demokrasi yang pernah membawanya menjadi Gubernur DKI Jakarta.

“Ini gambaran nyata dan utuh serta menyeluruh terjadi regresi demokrasi. Perampasan hak-hak warga negara dan menunjukan watak otoritarianisme Jokowi,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, dinamika di parlemen sejumlah anggota dewan dari delapan fraksi secara sepakat menyetujui materi muatan RUU yang berjudul tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta menjadi usul inisiatif DPR dalam rapat paripurna, Selasa (5/12/2023) kemarin. Kedelapan partai itu adalah fraksi PDIP, Gerindra, Golkar, Nasdem, Demokrat, PKB, PAN, dan PPP. Dengan demikian, hanya F-PKS yang menolak keberadaan RUU tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta.

Tags: