Menguji Efektivitas Fungsi Pemantauan-Peninjauan UU, Perlu Sanksikah?
Utama

Menguji Efektivitas Fungsi Pemantauan-Peninjauan UU, Perlu Sanksikah?

Baleg DPR mengakui praktik pemantauan dan peninjauan terhadap UU yang berlaku belum terlaksana sesuai harapan karena memiliki kelemahan. Salah satunya, tak ada sanksi bagi pemerintah, misalnya, ketika pemerintah tidak menerbitkan aturan turunan yang diamanatkan UU.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Sejumlah narasumber dalam diskusi daring dan luring bertajuk 'Post Legislative Scrutiny dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang di DPR” di Tangerang, Jumat (9/4/2021). Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam diskusi daring dan luring bertajuk 'Post Legislative Scrutiny dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang di DPR” di Tangerang, Jumat (9/4/2021). Foto: RFQ

Pemantauan dan peninjauan Undang-Undang (UU) yang berlaku menjadi tugas DPR sebagai bagian fungsi pengawasan sejak berlakunya UU No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Badan Legislasi (Baleg) DPR memiliki kewenangan memantau dan meninjau implementasi UU serta aturan turunannya. Sementara pelaksanaan UU secara materil menjadi ranah komisi DPR sebagai fungsi pengawasan.

Demikian disampaikan Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas dalam diskusi bertajuk “Post Legislative Scrutiny dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Pelaksanaan Undang-Undang di DPR” di Tangerang, Jumat (9/4/2021).

Supratman mengatakan tugas pemantauan UU atau dikenal istilah post legislative scrutiny (PLS) menjadi delegasi dari UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3); UU No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; dan Peraturan DPR No.2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang. (Baca Juga: Titik Lemah Partisipasi Publik dalam Proses Pembentukan UU)

Menurutnya, kegiatan PLS terhadap UU yang berlaku perlu dilakukan bersama-sama dengan para pemangku kepentingan termasuk masyarakat lantaran banyaknya peraturan perundang-undangan dan keterbatasan sumber daya manusia di parlemen. Namun, akhir dari pemantauan dan peninjauan UU yang berlaku dilakukan Baleg dengan menerbitkan rekomendasi yang diparipurnakan. Setelah itu didelegasikan ke masing-masing komisi untuk menjadi bahan pengawasan terhadap pemerintah sebagai pelaksana UU.

Politisi Partai Gerindra itu menegaskan PLS bagian dalam siklus proses pembentukan UU. Dia memberi contoh UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan dan UU No.17 Tahun 2011 tentang Intelijen. Dalam praktiknya, implementasi UU tersebut tak berjalan mulus. Seperti pembentukan badan pangan yang diamanatkan UU 18/2012, tapi hingga kini tak juga terbentuk.

“Nah ini tugas Baleg mengingatkan pemerintah. Memang menjadi kendala, sanksinya yang belum (ada, red),” kata dia. “Bila ternyata rekomendasi DPR (hasil peninjauan UU, red), misalnya, bertentangan UUD Tahun 1945 dapat menjadi dasar publik melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).”

Dia mengakui praktik pemantauan dan peninjauan terhadap UU yang berlaku belum terlaksana sesuai harapan karena memiliki kelemahan, tak ada sanksi bagi pemerintah selaku pelaksana UU. Menurutnya, perlu memikirkan sanksi ke depannya agar fungsi pemantauan, pengawasan, dan peninjauan UU berjalan efektif.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait