Sekitar 196 negara, termasuk Indonesia telah menandatangani Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim), sebagai respons atas perubahan iklim global. Sebagai tindak lanjut dari Paris Agreement, Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dalam UU No. 16/2016. Dalam Paris Agreement, terdapat kewajiban pemerintah untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan secara nasional untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah dua derajat hingga 1,5 derajat celsius dari tingkat suhu perindustrian.
Sebelum Paris Agreement, Indonesia juga sudah meratifikasi Kyoto Protocol sebagaimana tercantum dalam UU No. 17/2004. Kyoto Protocol tersebut mewajibkan contracting party untuk melakukan penurunan emisi, sesuai batas atas yang ditetapkan dalam Lampiran Kyoto Protocol.
Menjadi indikator untuk mengukur upaya pengendalian perubahan iklim, nilai ekonomi karbon merupakan salah satu instrumen dalam mewujudkan kebijakan pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca. Sebagai bentuk implementasinya, pada akhir 2021 pemerintah menerbitkan Perpres No. 98/2021yang mengatur mengenai penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dalam rangka pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) dan mengendalikan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Secara spesifik, Pasal 2 ayat (3) Perpres No. 98/2021 mengatur dua target NDC, di antaranya: (a) menetapkan kebijakan dan langkah serta implementasi kegiatan sesuai komitmen Pemerintah berupa pengurangan GRK 29% (dua puluh sembilan persen) sampai dengan 41% (empat puluh satu persen) pada tahun 2030 dibandingkan dengan baseline GRK; dan (b) membangun ketahanan nasional, kewilayahan, dan masyarakat dari berbagai risiko atas kondisi perubahan iklim atau ketahanan iklim. Adapun salah satu cakupan penyelenggaraan NEK, di antaranya mekanisme perdagangan karbon secara umum dan sektoral pada bursa karbon.
Mekanisme Perdagangan Karbon
Partner di IABF Law Firm, Almaida Askandar menjelaskan, pada prinsipnya perdagangan karbon dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu perdagangan langsung (di luar bursa karbon yang dilakukan penjual dan pembeli yang membutuhkan unit karbon) dan melalui bursa karbon. Perdagangan melalui bursa karbon akan lebih tepercaya, sebab sistemnya akan terintegrasi dengan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI).
“Setelah unit karbon tercatat pada SRN PPI, maka akan dilakukan pemilahan mengenai unit karbon yang akan diperdagangkan pada bursa karbon dan melalui perdagangan langsung. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi/mitigasi terjadinya double counting/double selling, yaitu keadaan di mana sebuah unit karbon diperdagangkan pada bursa karbon dan juga pada perdagangan langsung,” Associate IABF Law Firm, Thareq Arraisy menambahkan.
Sejumlah landasan hukum mengenai perdagangan karbon, di antaranya:
Landasan Hukum Perdagangan Karbon
|
Pembentukan bursa karbon telah diamanatkan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf B UU OJK, di mana berdasarkan ketentuan tersebut, OJK akan bertindak sebagai regulator dan pengawas atas kegiatan para pihak dalam bursa karbon—atau dalam hal ini perdagangan karbon.