Menimbang Pentingnya ‘Profesi Penilai’ diatur UU
Berita

Menimbang Pentingnya ‘Profesi Penilai’ diatur UU

Disarankan organisasi profesi penilai proaktif melakukan sosialisasi ke berbagai kalangan dan akademisi untuk membuat naskah akademik dan draf awal RUU Profesi Penilai. Selanjutnya, melakukan lobi kepada pihak pemerintah dan DPR.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ketua DPR Bambang Soesatyo usai menerima Sekjen MAPPI Aditya Iskandar dan pengurus lainnya di Gedung DPR, Selasa (23/10). Foto: RFQ
Ketua DPR Bambang Soesatyo usai menerima Sekjen MAPPI Aditya Iskandar dan pengurus lainnya di Gedung DPR, Selasa (23/10). Foto: RFQ

Komunitas Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) atau Indonesian Society Apparaisers mendorong DPR untuk membuat Undang-Undang (UU) mengenai profesi penilai (appraisal). Sebab, ruang lingkup profesi ini bersentuhan langsung dengan bidang ekonomi dan keuangan, seperti pasar modal, perpajakan, perbankan, insfrastruktur, hingga pertanahan.

 

Harapan ini disampaikan Sekretaris Jenderal MAPPI Aditya Iskandar ketika menemui pimpinan DPR di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (23/10) kemarin. Bagi MAPPI, pentingnya profesi ini diatur dalam UU dengan beberapa alasan. Pertama, mewujudkan profesi penilai yang dapat memberi kontribusi besar, khususnya mengoptimalkan pengelolaan aset untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.

 

Kedua, menciptakan kepastian hukum, keadilan sosial, dan kesejahteraan umum termasuk perlindungan hak masyarakat dan negara secara seimbang. Ketiga, mewujudkan kepastian hukum dalam praktik penilaian yang sudah dilakukan profesi ini.

 

Menanggapi harapan MAPPI, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengakui profesi penilai memang belum memiliki payung hukum seperti halnya profesi lain. Menurutnya, tak banyak organisasi profesi yang menginginkan diatur dalam sebuah UU. “Sebaliknya, negara biasanya yang memiliki inisiatif mengatur profesi tertentu dalam sebuah UU sesuai kebutuhan,” kata Bambang Soesatyo.   

 

Baginya, bisa saja profesi penilai diatur dalam UU yang mengatur tugas dan wewenangnya, serta mekanisme praktik profesi penilai agar ada kepastian hukum terhadap komunitas profesi ini. Tentunya, kata dia, pengaturannya mesti detil, komprehensif, konsisten dan gamblang. “Ini juga menghindari praktik penyalahgunaan kewenangan profesi atau persekongkolan antara profesi penilai dengan bank ataupun pemesan,” ujarnya.

 

Mantan Ketua Komisi III DPR itu mengakui di banyak negara, seperti Amerika, Inggris, hingga Malaysia telah memiliki UU tentang Profesi Penilai. Namun, di Indonesia belum memiliki UU khusus profesi penilai. Profesi ini masih diatur setingkat peraturan menteri, yakni Peraturan Menteri Keuangan No. 56/PMIZ.01/2017 Perubahan atas PMK No.101/PML.01/2014 tentang Penilai Publik.

 

Menurutnya, jika dibanding dengan banyak negara maju tersebut, perbandingan profesi penilai dengan jumlah penduduk Indonesia terbilang masih sedikit yaitu 1 berbanding 435. Jika dibandingkan dengan negeri Jiran (Malaysia) saja, profesi penilai 1 berbanding 42. Sementara Singapura 1 berbanding 10; dan Korea Selatan 1 berbanding 17.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait