Menyempurnakan Hukum Positif Pengamanan Wilayah Udara Nasional
Kolom

Menyempurnakan Hukum Positif Pengamanan Wilayah Udara Nasional

​​​​​​​Mengamankan wilayah udara memang tidak berbicara soal untung rugi semata. Menjaga kedaulatan jauh lebih penting dengan operasional TNI Angkatan Udara dijamin APBN.

Bacaan 2 Menit

 

Suatu Celah Terbuka

Pasal 11(1) PP Pamwilud mengenakan sanksi administratif paling banyak Rp5 miliar bagi setiap pelanggar wilayah udara nasional - yakni pesawat negara (state aircraft) asing yang terbang tanpa memiliki izin diplomatik (diplomatic clearance) dan izin keamanan (security clearance); tambahan persetujuan terbang (flight approval) dibutuhkan khusus bagi pesawat udara sipil asing tidak berjadwal (non-scheduled civil flight). Angka maksimum denda telah meningkat jauh dari ‘sekadar’ Rp60 juta sebelumnya.

 

Suatu celah terbuka melalui Pasal 11(1) PP Pamwilud - suatu pasal yang ditafsirkan sebagai salah satu pilar utama. Tertuang besaran sanksi administratif paling banyak Rp5 miliar, tetapi tidak disebutkan berapa angka minimalnya. Kepastian hukum (rule of law) tidak tercermin mengingat PP Pamwilud absen dalam mengatur lebih rinci mengenai formula perhitungan sanksi administratif.

 

Meskipun Konvensi Chicago 1944 sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan memastikan suatu negara berdaulat penuh dan eksklusif atas ruang udaranya, tetap saja dibutuhkan suatu kepastian hukum akan sanksi administratif guna membuktikan Indonesia dapat hidup tertib bersama masyarakat dunia. Asas resiprositas menanti seandainya suatu saat nanti pesawat berbendera Indonesia melanggar wilayah udara negara lain. Jangan sampai mereka dipersulit dengan dihadapkan rimba ketidakpastian hukum.

 

Dewasa ini TNI Angkatan Udara hanya memiliki kewenangan penyelidikan - sebatas mencari dan menemukan bukti. Penetapan sanksi administratif menjadi kewenangan Kementerian Perhubungan melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana diamanatkan Pasal 11 (2) dan (3) PP Pamwilud.

 

Potensi permasalahan muncul ketika keputusan akhir PPNS Kementerian Perhubungan tidak selaras dengan bukti faktual TNI Angkatan Udara. Tanpa pedoman jelas serta jaminan seratus persen merujuk perhitungan operasional TNI Angkatan Udara, pada satu kasus besaran sanksi administratif bisa saja lebih kecil dari biaya intersepsi maupun pendaratan paksa (force down), dan sebaliknya dapat lebih besar pada kasus lain. Potensi kerugian negara timbul.

 

Mengamankan wilayah udara memang tidak berbicara soal untung rugi semata. Menjaga kedaulatan jauh lebih penting dengan operasional TNI Angkatan Udara dijamin APBN. Namun, ketika negara tengah membangun infrastruktur - termasuk ibu kota baru, setiap sen pundi-pundi APBN dari pembayar pajak (taxpayers’ money) terasa sangat berarti dan harus dipertanggungjawabkan.

 

Seyogianya setiap misi intersepsi dan pendaratan paksa (force down) memiliki ‘harga pasti’ berdasarkan tingkat kesalahan sang pelanggar wilayah udara. Bukan mencari untung, tetapi demi mengembalikan biaya operasional serta memberikan efek jera. Keberadaan ‘harga pasti’ vital guna menjaga sinergi antar dua institusi - TNI Angkatan Udara dengan Kementerian Perhubungan, bahwa keduanya saling bersinergi dalam proses penyelidikan dan penyidikan dengan tetap menghargai kewenangan masing-masing.

Tags:

Berita Terkait