Menyoal Tanggung Jawab Hukum Marketplace Saat Belanja Online Jadi Pilihan
Lipsus Lebaran 2020

Menyoal Tanggung Jawab Hukum Marketplace Saat Belanja Online Jadi Pilihan

Saat PSBB dan menjelang Lebaran, transaksi belanja melalui internet meningkat tajam. Kehati-hatian dari masyarakat menjadi poin utama yang harus diperhatikan dalam belanja secara online.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

Deputi Direktur Akademi SSK, SP dan Pengelolaan Uang Rupiah BI Institute, Iwan Setiawan, mengatakan perkembangan regulasi terkait perlindungan konsumen di Indonesia mengalami pergeseran rezim. Jika dahulu perlindungan konsumen menekankan kehati-hatian konsumen dalam berbelanja, saat ini rezim perlindungan konsumen justru diarahkan kepada pata penjual dan pelapak.

“Kalau dulu, konsumen harus berhati-hati. Kalau sekarang rezim perlindungan konsumen diarahkan kepada para penjual dan pelapak yang bharus berhati-hati, bahwa barang dan jasa yang dijual harus memenuhi hal-hal seharusnya, tidak rusak, tidak ada cacat tersembunyi dan seterusnya,” katanya.

Dalam konteks ini, lanjut Iwan, pelaku usaha maupun regulator harus memandang perlindungan konsumen sebagai hal utama yang harus diperhatikan. Pasalnya, dampak praktik dari perlindungan konsumen yang baik dapat menunjang perekonomian negara, mengingat posisi konsumen sebagai tulang punggung perekonomian negara.

“UU Perlindungan Konsumen tidak hanya melindungi konsumen, konsumen sebagai backbond perkenonimian suatu negara yang membuat perekonomian berputar menjadi pembeli sehingga perputaran ekonomi terjadi. Bila perlindungan konsumen baik, bisa menunjang perekonomian, daya saing meningkat dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga perlindungan konsumen harus dipandang oleh semua pihak, baik pelaku usaha bisnis dan regulator untuk bisa diperbaiki dan ditegakkan karena akan membawa kebaikan di negeri ini,” tegasnya.

Maka demi mewujudkan hal tersebut, konsep mengenai pertanggunjawaban, ganti rugi bagi pihak yang bertanggung jawab harus diperkuat dan dipermudah. Hal ini bertujuan agar kepercayaan dan kenyamanan konsumen tidak hilang. “Fraud dipandang sebagai risiko yang pasti muncul sehingga harus disiapkan bumper-nya,” imbuhnya. (Baca: Dampak Covid-19 Terhadap Pembayaran THR)

Perlu Tetap Kritis

Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Semarang, Gunarto, mengingatkan konsumen untuk tetap kritis dalam melakukan transaksi online. Hal ini bertujuan untuk mempermudah konsumen dalam penyelesaian sengketa di BPSK. Sejauh ini, lanjutnya, BPSK memiliki kendala dalam penyelesaian sengketa konsumen belanja online, terutama untuk belanja online lewat platform.

Jika terjadi dispute, maka syarat utama yang wajib dipenuhi oleh konsumen untuk penyelesaian sengketa adalah alamat pelaku usaha. Alamat diperlukan untuk memanggil pelaku usaha dalam penyelesaian sengketa. Meski terkesan sepele, namun faktanya konsumen kerap mengabaikan hal ini. Akibatnya perkara tidak dapat dilanjutkan. “Konsumen harus lebih kritis. Jangan lupa tanya alamat pelaku usaha kalau belanja online, ini penting sekali,” ungkapnya.

Kesulitan dalam mencari alamat ini membuat penyelesaian sengketa yang muncul dari transaksi marketplace menjadi rumit. Apalagi marketplace tidak pernah melakukan verifikasi alamat merchant sehingga potensi munculnya alamat abal-abal cukup besar. “Sengketa paling rumit itu di bisnis e-commere lewat marketplace. Jika terjadi dispute maka dibutuhkan alamat pelaku usaha, di mana lamat penjual? Tidak ditemukan. Tanya ke marketplace, marketplace cenderung tidak memberitahu konsumen jika ada kasus, kalaupun diberitahua alamat, apakah alamat betul? Juga tentu belum benar. Karena jika memberikan alamat abal-abal itu tidak pernah di verifikasi oleh marketplace. Nama dan alamat pelaku usaha adalah soal yang vital. Termasuk pelaku usaha perseorangan sulit cari identitas beliau padahal ini satu persoalan yang cukup krusial,” pungkasnya.

Nikmati Akses Gratis Koleksi Peraturan Terbaru dan FAQ Terkait Covid-19 di sini.

Tags:

Berita Terkait