Menyoroti Rentannya Pelanggaran Hukum Terhadap Nasabah Kartu Kredit
Utama

Menyoroti Rentannya Pelanggaran Hukum Terhadap Nasabah Kartu Kredit

Pemahaman masyarakat yang rendah, penagihan intimidatif hingga penyalahgunaan data nasabah kartu kredit menjadi persoalan yang sering terjadi.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kartu kredit: HGW
Ilustrasi kartu kredit: HGW

Semakin tingginya gaya konsumtif masyarakat mendorong peningkatan jumlah penggunaan kartu kredit. Sayangnya, dalam kondisi tersebut, pemahaman masyarakat mengenai kartu kredit masih rendah sehingga menimbulkan ragam persoalan hukum yang dapat merugikan nasabah. Mulai dari tidak mampu membayar, penagihan bermasalah hingga pencurian data nasabah.

Koordinator Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal E Halim, menjelaskan persoalan tersebut tidak lepas dari keterlibatan pihak ketiga dalam pemasaran dan penagihan utang kepada konsumen. Menurutnya, meski sudah ada pengaturan, praktik-praktik pelanggaran tersebut masih terjadi.

“Pada tahap pemasaran masih banyak ditemukan penyalahgunaan yang dilakukan serta menyudutkan pihak pemegang kartu yang mayoritas buta hukum. Karena dikerjakan agen pemasarannya banyak persoalan muncul, moral hazard, pelanggaran konsumen. Banyak terjadi contoh misalnya data personal seperti nomor telepon, email konsumen pada pihak-pihak tersebut yang tidak tahu dari mana mereka dapatkan. Saat ini, banyak bisnis menawarkan data konsumen di pasar-pasar gelap,” jelas Rizal, Jumat (5/6).

Dia melanjutkan pelanggaran lain seperti penagihan secara kasar oleh pihak ketiga yaitu debt collector juga masih terjadi saat ini. Padahal, penagihan utang tersebut harus dilakukan dengan itikad baik tanpa melanggar hukum. Dia mencontohkan penagihan utang nasabah dengan menghubungi keluarga atau rekan. Parahnya lagi, penagihan tersebut dilakukan secara intimidatif. (Baca: Tips Bagi Konsumen untuk Bertransaksi di Saat Pandemi)

“Ada laporan konsumen mengenai kredit macet Rp 38 juta. Sebenarnya konsumen ini punya itikad baik untuk membayar namun karena permasalahan keuangan menjadi tidak mampu membayar. Setelah menghubungi bank bersangkutan justru tidak terjadi kesepakatan malah dia diintimidasi,” tambah Rizal.

Sehingga, dia menilai sosialisasi kepada masyarakat dan pemangku kepentingan untuk memberikan pemahaman terkait perlindungan hukum terhadap konsumen kartu kredit perlu dilakukan dengan menggunakan perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

“Masih adanya keluhan dari konsumen kartu kredit dalam praktik penagihan dilakukan pihak ketiga dengan cara terror verbal dan bahkan cenderung melakukan intimidasi terhadap konsumen gagal bayar yang tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan-ketentuan peraturan yang boleh ditetapkan,” jelas Rizal.

Wakil Ketua BPKN, Rolas Sitinjak menilai bahwa perlu segera menyempurnakan Surat Edaran BI Nomor 11/10/DASP/2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dalam rangka meningkatkan perlindungan konsumen Kartu Kredit.

"Selain pengawasan dan pengendalian terhadap penagihan konsumen kartu kredit yang gagal bayar, pentingnya edukasi kepada konsumen untuk memahami penggunan kartu dan resiko yang timbul dalam menggunakan kartu kredit," katanya.

Pengamat kartu kredit Roy Shakti menjelaskan memang pemahaman masyarakat mengenai penggunaan kartu kredit ini masih rendah khususnya di daerah. Selain itu, dia juga menilai masih terdapat celah hukum yang dimanfaatkan oknum-oknum tertentu sehingga terjadi pelanggaran hukum.

“Masyarakat itu tidak pernah diedukasi mengenai utang. Orang punya banyak utang tapi tidak punya ilmu mengenai utang, sehingga menjadi tabu dibahas tapi tetap dilakukan masyarakat. Jadinya otodidak sehingga kacau dan tidak bisa bayar,” jelas Roy.

General Manager Divisi Kartu Kredit PT Bank Negara Indonesia, Okky Rushartomo menjelaskan sudah ada perangkat regulasi yang mengatur tata cara pemasaran dan penagihan kartu kredit. Kemudian, Okky menambahkan pihak perbankan juga sangat selektif memberi kartu kredit kepada nasabah untuk menghindari gagal bayar. Seleksi tersebut dilakukan dengan memanfaatkan data Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) di Otoritas Jasa Keuangan.

Namun, dia menilai pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan oknum-oknum yang dapat dikenakan sanksi. “Kasus-kasus penagihan kasar itu dilakukan oknum-oknum tertentu. Karena sebenarnya sekarang sudah diatur mengenai penagihan seperti hanya dapat dilakukan pada jam kerja dan dilarang saat tengah malam. Lalu, juga ada dilarang penagihan secara kasar,” jelas Okky.

Tags:

Berita Terkait