MK Diminta Kukuhkan Konstitusionalitas Objek Praperadilan
Berita

MK Diminta Kukuhkan Konstitusionalitas Objek Praperadilan

Majelis menganggap permohonan ini lebih banyak menyangkut persoalan penerapan norma Pasal 77 KUHAP yang bukan kewenangan MK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Tim kuasa hukum pemohon menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang uji materi KUHAP, Senin (23/3). Foto: Humas MK
Tim kuasa hukum pemohon menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang uji materi KUHAP, Senin (23/3). Foto: Humas MK
Kontroversial putusan praperadilan PN Jakarta Selatan atas permohonan Komjen (Pol) Budi Gunawan (BG) tampaknya belum selesai. Batasan objek praperadilan – yang dalam putusan hakim Sarpin Rizaldi diperluas—dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi. Pemohon hak uji materiil itu adalah Ketua Umum DPP SBSI Prof Muchtar Pakpahan. Muchtar memohon pengujian Pasal 77 KUHAP yang mengatur lingkup atau objek praperadilan.

Pemohon beranggapan putusan praperadilan BG yang menyatakan penetapan status tersangka BG oleh KPK tidak sahmerusak tatanan sistem hukum. Dampaknya, muncul tren atau anggapan penetapan tersangka masuk lingkup pemeriksaan praperadilan. Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 77 KUHAP konstitusional menurut UUD 1945.

Dalam sidang, Senin (23/3), pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 77 KUHAP sah menurut UUD1945, sehingga putusan praperadilan BG yang menambah atau mengurangi (objek praperadilan) tidak sah atau tidak mengikat. Langkah ini perlu untuk menghentikan pengaruh putusan PN Jakarta karena kini praperadilan banyak dipakai untuk mempersoalkan keabsahan penetapan tersangka.

Pasal 77 KUHAP menyebutkan, “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang : a. sah atau atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

Pemohon yakin Pasal 77 KUHAP secara limitatif menyebut gugatan praperadilan hanya meliputi sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, serta ganti kerugian dan/atau rehabilitasi, tidak termasuk mengadili sah atau tidaknya penetapan tersangka oleh penyidik.

Menurut pemohon, seharusnya perubahan atau penambahan terhadap Pasal 77 KUHAP tidak dapat dilakukan PN Jakarta Selatan melalui putusan BG. Faktanya pasal itu dijadikan dasar hakim mengabulkan permohonan BG. Alhasil, kini sejumlah tersangka mengajukan praperadilan ke pengadilan.

Menurut pemohon, putusan praperadilan dimaksud memberikan dampak negatif yakni merusak tatanan hukum, menciptakan ketidakpastian hukum, dan menimbulkan komplikasi hukum termasuk melemahkan semangat pemberantasan korupsi yang menimbulkan ketidakadilan sosial. Dampak negatifnya juga dirasakan pemohon.

Masih menurut pemohon, secara teori, putusan praperadilan PN Jaksel No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel juga tidak masuk kategori yurisprudensi. Sebab, yurisprudensi adalah putusan pengadilan yang mengisi kekosongan hukum, diterima sebagai hal yang adil, dan memberi kepastian hukum. Lalu, dipergunakan acuan/rujukan dalam putusan-putusan berikutnya,” ujarnya menjelaskan.

Kurang lazim
Hakim MK, Suhartoyo, menasehati pemohon. Ia menilai banyak hal yang kurang lazim dalam permohonan, sehingga majelis belum menemukan benang merah yang dikehendaki pemohon. “Anda sepakat Pasal 77 KUHAP sudah bagus tidak bertentangan UUD 1945, sehingga MK agar memberi payung hukum (penegasan) agar Pasal 77 KUHAP tidak boleh ditafsirkan lain. Bahasa sederhana permohonannya seperti itu kan?” ujar Suhartoyo.

Namun, menurut hakim Suhartoyo, permohonan pemohon lebih banyak menyangkut penerapan norma Pasal 77 KUHAP oleh para hakim. Dan itu bukan kewenangan MK. “Apalagi, Saudara tidak menemukan masalah di pasal itu dan petitum permohonanya seperti itu. Petitum itu seharusnya Pasal 77 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 karena ada persoalan kontitusonalitas di pasal itu,” kritiknya.

Nasehat senada disampaikan anggota majelis, Patrialis Akbar, yang menilai permohonan ini lebih banyak menguraikan implementasi/penerapan norma Pasal 77 KUHAP terkait putusan praperadilan BG. “Salah kewenangan MK menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Jadi, MK tidak berwenangan menilai satu proses peradilan yang dilakukan lembaga lain,” kata Patrialis.

“Karena itu, Saudara harus berjuang memikirkan bagaimana permohonan itu bisa meyakinkan majelis dengan cara menyatakan Pasal 77 KUHAP merugikan hak konstitusional pemohon dan bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya. “Tetapi, permohonan  ini belum terlihat kerugian konstitusionalnya apa?”

Anggota majelis lainnya, Aswanto mengingatkan sudah ada beberapa permohonan uji materi Pasal 77 KUHAP sebelumnya. Dalam salah satu perkara, MK pernah memberi tafsir kontitusional dengan memperluas objek peradilan termasuk sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan. Apabila, dalam praktik penggeledahan dan penyitaan tidak sesuai prosedur bisa diajukan praperadilan.

“Tetapi, dalam petitum permohonan ini lebih mempertentangkan Pasal 77 KUHAP dengan putusan praperadilan BG. Padahal, kewenangan MK menguji undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945,” ujarnya mengingatkan.

Selain itu, pengujian pasal yang sama tengah dimohonkan pengujian yang diajukan Bachtiar Abdul Fatah (terdakwa korupsi proyek bioremediasi) dan tinggal menunggu putusan. Bachtiar meminta agar objek praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP ditambah termasuk penetapan tersangka. “Memang untuk penetapan tersangka belum ada putusannya”.
Tags:

Berita Terkait