MK Diminta Tafsirkan Dasar Pemberhentian Sementara
Berita

MK Diminta Tafsirkan Dasar Pemberhentian Sementara

Majelis meminta pemohon memberi penjelasan konkrit ketika pemohon dijadikan tersangka saat sedang menetapkan orang lain sebagai tersangka.

ASH
Bacaan 2 Menit
MK Diminta Tafsirkan Dasar Pemberhentian Sementara
Hukumonline
Bambang Widjojanto (BW) turut “menggugat” Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK terkait pemberhentian sementara pimpinan KPK ke MK. Dalam permohonannya, Bambang meminta tafsir konstitusional bersyarat agar dasar pemberhentian sementara pimpinan KPK dilakukan khusus terhadap jenis tindak pidana berat.         

Dalam sidang perdana, kuasa hukum Bambang, Abdul Fickar Hadjar menuturkan pemohon tetap setuju dengan aturan pemberhentian sementara bagi pimpinan KPK. Namun, kedua pasal ini mesti dimaknai agar frasa “tersangka tindak pidana kejahatan” dibatasi dengan norma yang lebih jelas agar dalam pelaksanaannya tidak diskriminatif dan tidak rentan disalahgunakan seperti yang dialami pemohon.   

“Jadi definisi tersangka harus dibatasi untuk tindak pidana macam apa, sehingga tidak semua tindak pidana dapat dijadikan dasar pemberhentian sementara pimpinan KPK,” ujar Fickar dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai I Dewa Gede Palguna di ruang sidang MK, Selasa (7/4). Palguna didampingi, Patrialis Akbar dan Wahiduddin Adams.

Pasal 32 ayat (1) huruf c berbunyi, “Pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena : c. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan.” Lalu,  Pasal 32 ayat (2) menyebutkan, “Pimpinan KPK yang menjadi tersangka tindak pidana kejahatan harus diberhentikan sementara dari jabatannya.”

Fickar melanjutkan jenis tindak pidana sebagai dasar pemberhentian sementara pimpinan KPK harus dibatasi dua hal. Pertama, kualifikasi tindak pidananya. Kedua, prosedur atau tata cara penetapan tersangkanya dibatasi tindak pidana berat seperti korupsi, terorisme, makar atau yang mengancam keamanan negara. Lalu, penetapan tersangka setelah mendapatkan persetujuan dari presiden.

Dia menjelaskan pemohon dijadikan tersangka atas dugaan “rekayasa” yang terjadi 5 tahun yang lalu ketika menangani sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah  Konstitusi (MK) pada 2010. Dia meyakini penetapan tersangka pemohon lantara dia pimpinan KPK yang telah mengeluarkan surat perintah penyidikan pada 13 Januari 2015 terhadap Komjen (Pol) Budi Gunawan (BG) terkait kasus rekening gendut.

Fickar mengingatkan uji materi ini tidak hanya diajukan untuk kepentingan pemohon semata, tetapi juga untuk menjaga independesi KPK yang rentan dikriminalisasi kekuasaan lain. Sebab pemberhentian sementara pimpinan KPK secara tidak langsung berdampak pada akuntabilitas dan kredibilitas KPK dalam pemberantasan korupsi.

Dia menilai norma Pasal 32 UU KPK telah memberi perlakuan yang berbeda antara pimpinan KPK dengan pejabat negara lainnya. Misalnya, ketika pimpinan KPK menjadi tersangka membuat mereka diberhentikan sementara yang bersifat tetap karena tidak ada mekanisme yang mengatur dari pemberhentian sementara ke pemberhentian tetap.

Sebaliknya, pejabat negara lain, pemberhentian sementara dilakukan ketika status pejabat yang bersangkutan sudah berstatus terdakwa. Misalnya, hakim konstitusi atau ketua dan wakil ketua BPK diberhentikan dengan tidak hormat apabila dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ancaman pidana 5 tahun lebih.

Dalam tuntutan provisinya, pemohon meminta MK mengeluarkan putusan sela yang memerintahkan pada kepolisian atau kejaksaan untuk menghentikan sementara tindakan hukum terhadap pemohon. Atau meminta presiden Republik Indonesia untuk menganulir penerbitan penetapan pemberhentian sementara pemohon.

Dalam petitumnya, pemohon meminta Pasal 32 ayat (2) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “tersangka tindak pidana kejahatan” dimaknai terbatas khusus terhadap tindak pidana korupsi, terorisme, makar, keamanan negara, perdagangan manusia, atau tindak pidana berat lain pada saat menjabat. “Penetapan tersangka ini dilakukan setelah mendapatkan izin presiden.”

Hakim konstitusi Gede Palguna mengingatkan permohonan provisi tidak perlu dicantumkan karena dalam pengujian undang-undang tidak dikenal istilah putusan sela. Apalagi ini juga bukan sengketa kewenangan lembaga negara. “Misalnya, sengketa kewenangan kejaksaan, kepolisian, dan KPK sama-sama mau menangani kasus korupsi, tetapi permohonan ini tidak masuk kategori ini,” ujarnya mencontohkan.

Anggota Panel Patrialis Akbar menyarankan agar pemohon memberi penjelasan konkrit ketika pemohon dijadikan tersangka saat sedang menetapkan orang lain sebagai tersangka. Hal ini agar terlihat ada kerugian konstitusional yang dialami pemohon ketika dijadikan tersangka. “Seharusnya ini diperjelas karena KPK mentersangkakan orang banyak sekali. Itu siapa? Alangkah lebih baiknya didukung pembuktian,” pinta Patrialis.

Sebelumnya, FKHK dan GMHJ juga memohon pengujian Pasal 32 ayat (2) UU KPK terkait pemberhentian pimpinan KPK yang terlibat kejahatan. Mereka menganggap ketentuan itu melanggar asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang dijamin Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sementara pemberhentian sementara tidak berlaku bagi pimpinan kepolisian dan kejaksaan. Sebab,  UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan tidak mengatur pemberhentian sementara jika pimpinan kedua institusi itu ditetapkan sebagai tersangka.

Menurut pemohon, berlakunya Pasal 32 ayat (2) UU KPK mengakibatkan fungsi KPK menjadi tidak efektif dan menghambat kinerja lembaga antirasuah itu memberantas korupsi di Indonesia. Terutama, setelah dua pimpinan KPK  Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka terkait menyuruh memberikan keterangan palsu dan pemalsuan dokumen. Karenanya, pemohon minta MK menghapus Pasal 32 ayat (2) UU KPK itu karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) dan UUD 1945.
Tags: