MK Perintahkan Pembentuk UU Ubah Ambang Batas Parlemen untuk Pemilu 2029
Melek Pemilu 2024

MK Perintahkan Pembentuk UU Ubah Ambang Batas Parlemen untuk Pemilu 2029

Untuk sementara waktu, MK menganggap ambang batas parlemen sebesar 4 persen tetap konstitusional untuk Pemilu DPR 2024. Tapi, nantinya pembentuk UU diperintahkan kembali menentukan ambang batas parlemen dengan dasar metode dan argumentasi yang memadai untuk diberlakukan dalam Pemilu DPR 2029.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Wakil Ketua MK Saldi Isra, Mahkamah tidak menemukan dasar metode dan argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.

Bahkan, merujuk keterangan pembentuk undang-undang yaitu Presiden dan DPR terhadap permohonan ini, Mahkamah tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4 persen dimaksud dilakukan dengan metode dan argumen penghitungan atau rasionalitas yang jelas.

Terjadi Disproporsional

Menurut Mahkamah, ambang batas parlemen jelas memiliki dampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. Artinya, bila diletakkan dalam basis argumentasi sistem pemilihan proporsional yang dianut, jumlah suara yang diperoleh partai politik peserta pemilu (berapapun suara yang diperoleh, red) selaras dengan kursi yang diraih di parlemen agar hasil pemilu (tetap) menjadi proporsional. Hal ini dimaksudkan agar dalam sistem pemilu proporsional semestinya meminimalisir suara yang terbuang agar hasil pemilu tidak terkategori menjadi tidak proporsional atau disproporsional.

Dalam konteks keterpenuhan prinsip proporsionalitas itu, misalnya pada Pemilu 2004 suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18 persen dari suara sah secara nasional. Begitu pula dalam Pemilu 2019, terdapat 13.595.842 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 9,7 persen suara sah secara nasional. Meski pada Pemilu 2014 hanya terdapat 2.964.975 suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 2,4 persen dari suara sah secara nasional, namun secara faktual jumlah partai politik di DPR lebih banyak dibandingkan hasil Pemilu 2009 dan Pemilu 2019 yaitu 10 (fraksi, red) partai politik.

Menurut Mahkamah, bentangan empirik tersebut menegaskan telah terjadi disproporsional antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR selama diterapkannya ambang batas parlemen dalam pemilu anggota DPR. Fakta ini membuktikan hak konstitusional pemilih yang telah digunakan pemilih dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan alasan penyederhanaan partai politik demi menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dengan ditopang lembaga perwakilan yang efektif.

“Padahal prinsip demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, namun kebijakan ambang batas parlemen telah ternyata mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen,” tegas Saldi.

Mahkamah mengakui sesuai pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUUVII/2009, kewenangan pembentuk undang-undang dalam menentukan ambang batas parlemen termasuk besaran atau persentase dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Namun secara faktual prinsip-prinsip tersebut telah tercederai karena berakibat banyak suara pemilih yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi di DPR, sehingga menciptakan disproporsionalitas sistem pemilu proporsional yang dianut.

Tags:

Berita Terkait