MTI: ‘Hidupkan’ Kepmenhub 35/2003 dalam Revisi Aturan Transportasi Online
Utama

MTI: ‘Hidupkan’ Kepmenhub 35/2003 dalam Revisi Aturan Transportasi Online

Seluruh ketentuan dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor KM.35 Tahun 2003 dapat dimasukkan kembali dalam revisi dan ditambahkan ketentuan baru khususnya terkait transportasi berbasis online berupa pengaturan tarif dan kuota.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pengendara transportasi berbasis aplikasi. Foto: BAS
Ilustrasi pengendara transportasi berbasis aplikasi. Foto: BAS
Pemerintah tengah merevisi aturan yang menjadi payung hukum bagi penyedia transportasi berbasis online pasca sejumlah pasal dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek dibatalkan Mahkamah Agung (MA).

Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Darmaningtyas, mengatakan bahwa Hak Uji Materiil (HUM) atas Permenhub PM.26 membawa konsekuensi yakni keberadaan penyedia angkutan berbasis online menjadi tidak memiliki dasar hukum. Secara de jure, memang masih memiliki payung hukum setidaknya sampai akhir Oktober 2017 nanti. Namun, secara de facto, regulator tidak bisa melakukan penegakan ketentuan tersebut.

“Permenhub PM.26 masih berlaku sampai Oktober, tapi secara sosiologis, aparat Dishub (Dinas Perhubungan) atau Kepolisian tidak akan mau menegakan aturan yang sudah selesai,” kata Tyas kepada hukumonline, beberapa waktu lalu.

Dibatalkannya 14 Pasal Permenhub PM.26, pada intinya berangkat dari dua perdebatan, yakni soal tarif dan kuota. Jika mengacu dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, memang dua hal tersebut tidak berbunyi tegas akan tetapi dalam praktiknya dua hal tersebut menjadi standar dalam modelling transportation dan dipakai seluruh regulator di dunia dalam menetapkan kebijakan transportasinya.

Yang di luar dugaan, kata Tyas, adalah pertimbangan MA yang mengacu pada UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam mengambil putusan. Menurut Tyas, sebetulnya berbicara transportasi maka cukup hanya mengacu pada peraturan perundang-undangan terkait seperti UU Nomor 22 Tahun 2009 serta aturan turunannya yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.

“Saya agak aneh dengan putusan karena itu UU Lalu Lintas. Maka harusnya konsideran UU Lalu Lintas tapi malah UU UMKM. Saya kira itu putusan yang aneh, kalau konsisten itu soal lalu lintas, maka harus UU Lalu Lintas,” kata Tyas.

Sekadar mengingatkan, sebelumnya enam pengemudi angkutan sewa khusus (taksi online) memohonkan HUM terhadap sejumlah pasal dalam Permenhub Nomor PM.26. Dalam putusannya, MA menyatakan 14 pasal bertentangan dengan UU UMKM dan UU LLAJ. MA juga memerintahkan Kemenhub mencabut 14 pasal tersebut dari Permenhub Nomor PM.26 Tahun 2017 sehingga sebagian pasal dalam aturan tersebut hilang.
Putusan Mahkamah Agung
  1. Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon: 1. SUTARNO, 2. ENDRU VALIANTO NUGROHO, 3. LIE HERMAN SUSANTO, 4. IWANTO, 5. IR. JOHANES BAYU SARWO AJI, 6. ANTONIUS HANDOYO tersebut;
  2. Menyatakan Pasal 5 ayat (1) huruf e, Pasal 19 ayat (2) huruf f dan ayat (3) huruf e, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 huruf a, Pasal 30 huruf b, Pasal 35 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3, Pasal 36 ayat (4) huruf c, Pasal 37 ayat (4) huruf c, Pasal 38 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3, Pasal 43 ayat (3) huruf b angka 1 sub huruf b, Pasal 44 ayat (10) huruf a angka 2 dan ayat (11) huruf a angka 2, Pasal 51 ayat (3), dan Pasal 66 ayat (4) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu:
    • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; serta
    • Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
  3. Menyatakan Pasal 5 ayat (1) huruf e, Pasal 19 ayat (2) huruf f dan ayat (3) huruf e, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 huruf a, Pasal 30 huruf b, Pasal 35 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3, Pasal 36 ayat (4) huruf c, Pasal 37 ayat (4) huruf c, Pasal 38 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3, Pasal 43 ayat (3) huruf b angka 1 sub huruf b, Pasal 44 ayat (10) huruf a angka 2 dan ayat (11) huruf a angka 2, Pasal 51 ayat (3), dan Pasal 66 ayat (4) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  4. Memerintahkan kepada Menteri Perhubungan Republik Indonesia untuk mencabut Pasal 5 ayat (1) huruf e, Pasal 19 ayat (2) huruf f dan ayat (3) huruf e, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 huruf a, Pasal 30 huruf b, Pasal 35 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3, Pasal 36 ayat (4) huruf c, Pasal 37 ayat (4) huruf c, Pasal 38 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3, Pasal 43 ayat (3) huruf b angka 1 sub huruf b, Pasal 44 ayat (10) huruf a angka 2 dan ayat (11) huruf a angka 2, Pasal 51 ayat (3), dan Pasal 66 ayat (4) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM.26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek;
  5. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara;
  6. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah);
Sumber: Putusan Mahkamah Agung Nomor 37 P/Hum/2017 Tentang Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil Terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor Pm.26 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.

Dikatakan Tyas, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan segera melakukan revisi peraturan yang mengakomodir kedua pihak, transportasi online dan konvensional. Ia mengusulkan, pemerintah bisa ‘menghidupkan’ kembali ketentuan yang sebelumnya telah dicabut yakni Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor KM.35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum. Pemerintah dapat mengadopsi ketentuan tersebut ditambah dengan poin-poin pengaturan baru untuk mengakomodir tranporstasi berbasis online.

(Baca Juga: Ini Poin-poin Penting Revisi Permenhub Angkutan Sewa Daring)

“Lebih baik revisi KM 35 (Kepmenhub) disesuaikan dengan UU No.22 Tahun 2009 lalu pengaturan online dimasukan di situ, sehingga PM 26 bisa dikubur semua diganti dengan KM 35 yang direvisi,” kata Tyas mengusulkan.

Lebih lanjut, revisi tersebut nantinya dapat berupa Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) namun mayoritas substansi berasal dari Kepmenhub Nomor KM.35. Usulan Tyas, dalam aturan terbaru nanti dapat diatur lebih rinci salah satunya soal kuota meskipun tidak tegas-tegas disebut dalam aturan itu sebagai ‘kuota’. Ambil contoh saja misalnya, kata Tyas, koridor 1 Bus Way tentu menggunakan perhitungan demand and supply dalam perencanaan pengadaan awak bus dan melihat berapa permintaan penumpang per harinya.

Selain itu, dalam revisi itu juga harus ditambahkan soal penegasan, sekalipun penyedia transportasi tersebut mengklaim sebagai perusahaan digital, namun karena melakukan tugas dan fungsi layaknya perusahaan transportasi maka tetap tunduk pada aturan terkait transportasi. “Kalau mereka berperan sebagai angkutan umum, harus tunduk sebagai angkutan. De facto mereka bergerak seperti angkutan umum, menerima bayar, rekrut pengemudi, itu kan peran-peran pengemudi. Maka itu harus tunduk dengan UU LLAJ,” kata Tyas.

Hal senada disampaikan Sekretaris Jenderal Organisasi Angkutan Darat (Organda), Ateng Haryono. Namun, pendapat Ateng justru meminta agar pengaturan antara transportasi online dan konvensional agar tidak dijadikan dalam satu peraturan. Pasalnya, selama ini penegakan aturan terhadap mitra transportasi online seringkali sulit karena mereka berdalih sebagai perusahaan digital. Ateng sependapat dengan Tyas, sepanjang masih menjalankan fungsi sebagai tranportasi, maka harus tunduk dengan ketentuan UU Nomor 22 Tahun 2009.

“Yang penting adalah platform online harus diatur. Karena sesungguhnya di antara mereka bersaing dengan keras yang akhirnya satu bisa termanfaatkan di antara mitra dan bisa jadi rugi. Jangan sampai mereka bertempur, aturan ini jadi sesuatu yang menata dan mampu menata. Masyarakat jadi dirugikan, masyarakat merasa di-ninabobo-kan dengan promo dll. Maka platform harus diatur dan harus taat aturan. Kalau ini hanya berjalan bagi mitra online, itu yang tidak pas. Contoh, berapa banyak mitra yang engage dan comply, Saya kira, platform wajib diatur dan ditata dan wajib mengikuti aturan,” kata Ateng.

Terkait dengan batalnya sejumlah pasal dalam Permenhub PM.26, Ateng sendiri dalam posisi bertanya-tanya kenapa beberapa pasal yang mengatur cukup teknis transportasi online malah dicabut seperti terkait argometer, tarif, dan kuota. Terlepas dari hal tersebut, pihaknya sangat mendorong Kemenhub agar segera menyelesaikan perbaikan Permenhub Nomor PM.26 Tahun 2017 sekaligus ditambah sejumlah subtansi pengaturan baru yang sebelumnya tidak diakomodir dalam aturan tersebut.

(Baca Juga: Aturan Taksi Online Dibatalkan MA, Kemenhub Siap Taat Azas Hukum)

Pertama, kepentingan konsumen mulai dari kendaraan harus diuji, tanda khusus, dan pengemudi harus ikut aturan. Kedua, ada jaminan negara tidak dirugikan misalnya dari segi pajak atau non pajak yang di negara itu dijamin. Ketiga, masalah persaingan usaha, isu mendasar level of playing field harus setara. Lalu, menghindari UU Nomor 5 Tahun 1999 terkait predatory pricing,” kata Ateng.

Pengamat Informasi, Komunikasi, dan Teknologi, Heru Sutadi berpendapat, jangan sampai Permenhub hasil revisi tersebut nantinya menjadi objek gugatan baru oleh berbagai pihak. Karena itu, Heru usul agar melihat secara jeli karakteristik industri khususnya transortasi berbasis online seperti persoalan tarif apakah akan diatur batas atas atau batas bawah. Bila nantinya diatur tarif batas bawah, di satu sisi konsumen akan dirugikan karena tarif relatif menjadi lebih mahal sehingga formula mengenai tarif harus sangat diperhatikan.

“Ini perlu formulasi baru. Saya khawatir kalau Permen ini dibuat sama, maka akan muncul gugatan baru kalau dimasukan pasal yang dicabut dihidupkan kembali. Kalau perlu diskusi langsung seperti soal argo dan tarif diperhatikan, mereka (Mahkamah Agung) harus tahu juga,” kata Heru.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koperasi Jasa Trans Usaha Bersama (Uber), Musa Emyus sebelumnya mengatakan siap membantu pemerintah dalam menyusun revisi dan perbaikan Permenhub Nomor PM.26 Tahun 2017. Pihaknya akan menyampaikan usulan berupa naskah akademik yang membandingkan substansi Permenhub Nomor PM.26 Tahun 2017 dengan putusan MA. Kata Musa, keputusan tetap berada di Kemenhub sementara pihaknya hanya berupaya membantu membuatkan naksah akademis versi transportasi online.

“Usulan kita hanya sampaikan lewat email. Terakhir masukan kemarin (16 Oktober 2017) jam 12 siang,” kata Musa kepada hukumonline, Selasa (17/10).

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek, Bambang Prihartono mengatakan, Kemenhub mengapresiasi putusan tersebut dalam arti akan patuh dengan segala konsekuensinya. Sebagaimana diketahui, Kemenhub punya waktu sampai akhir Oktober 2017 untuk merampungkan revisi aturan tersebut. Tim perancang aturan juga telah menggandeng sejumlah pakar hukum termasuk lawyer agar perbaikan regulasi tersebut nantinya tidak kembali dipersoalkan oleh berbagai pihak.

“Kami sudah berkomunikasi dengan Organda dan pihak penyedia aplikasi online. Kita jaga semangat yang sudah dibangun. Saya kira, ada PM (peraturan menteri) atau tidak, kami tetap bersinergi karena dua-duanya harus tumbuh, tidak ada mematikan. Kami Badan Pengelola (BPTJ) punya kepentingan buat itu, mereka ini adalah mitra strategis,” kata Bambang beberapa waktu lalu.

Bambang menyebutkan, revisi atau perbaikan aturan tersebut dipastikan tidak mematikan salah satu ‘pemain’, baik itu tranportasi berbasis online ataupun konvensional. Makanya, masukan dari kedua pihak menjadi perhatian yang akan ditampung dalam revisi. Terkait dengan usulan dari MTI, Bambang tidak menutup mata hal tersebut akan dipertimbangkan untuk diadopsi atau dibahas oleh tim perancang. Apapun masukan, sepanjang itu baik maka akan diadopsi dalam revisi tersebut.

“Prinsipnya baik online dan kovensional mereka happy dengan regulasi. Kami ingin industri maju, itu semangat pertama. Kedua, kami ingin keselamatan penumpang. Sesuai 9 pilar BPTJ. Ketiga, kita harus jamin nasib driver, maka di kuota kita cantumkan UMR (Upah Minimum Regional), jangan sampai driver di bawah UMR,” kata Bambang.
Tags:

Berita Terkait