MUI Dukung Ratifikasi FCTC
Berita

MUI Dukung Ratifikasi FCTC

Karena produk tembakau seperti rokok berbahaya untuk kesehatan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Majelis Ulama Indonesia mendesak pemerintah segera meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan, MUI menilai konvensi internasional yang mengendalikan peredaran produk tembakau itu penting diratifikasi. Sebab, produk tembakau seperti rokok berbahaya bagi kesehatan.

Amirsyah mencatat zat racun yang terkandung dalam rokok menjadi penyebab kematian 239 ribu rakyat Indonesia per tahun. MUI selalu berupaya untuk mengingatkan masyarakat atas bahaya rokok. Selaras itu MUI telah membentuk kelompok kerja (pokja) yang terdiri dari berbagai organisasi untuk membahas pentingnya ratifikasi FCTC oleh pemerintah.

“Sikap kami sangat jelas, mendukung pemerintah untuk segera meratifikasi FCTC,” kata Amirsyah dalam jumpa pers di kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Jakarta, Kamis (09/10).

Jika ratifikasi itu tidak dilakukan Amirsyah menilai rakyat Indonesia akan terus menjadi korban dari dampak negatif produk tembakau. Padahal, konstitusi sudah jelas mengamanatkan pemerintah untuk melindungi seluruh rakyatnya. “Kami mendorong DPR baru untuk meneruskan pembahasan ratifikasi FCTC,” tukasnya.

Amirsyah melihat ratifikasi FCTC sudah lama disodorkan Kementerian Kesehatan, tapi pembahasannya mandeg. Ini menunjukkan pemerintah lebih melindungi industri tembakau daripada kesehatan rakyat.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni’am Sholeh, menegaskan masyarakat menginginkan peredaran tembakau dikendalikan. Salah satu tuntutan itu tercermin dari hasil pembahasan dalam forum yang dihadiri oleh seribu ulama dan elemen masyarakat lainnya di Padang Panjang pada 2009. Forum itu sepakat aktifitas rokok masuk kategori terlarang.

Kesimpulan itu disepakati setelah dilakukan pembahasan terkait dampak produk tembakau terhadap aspek sosial dan ekonomi. Kemudian secara hukum Islam, pelarangan aktifitas rokok itu digolongkan dalam dua hal yaitu haram dan makruh. Aktifitas merokok yang dilakukan diarea publik dikategorikan haram. Begitu pula jika perempuan dan anak-anak yang merokok. “FCTC harus diratifikasi sehingga ada pengendalian terhadap produk tembakau. Apalagi negara sudah mengakui itu sebagai zat adiktif,” urai Asrorun.

Selain meratifikasi FCTC, perlu juga dilakukan upaya untuk mendorong pengendalian produk tembakau ditingkat akar rumput. Terutama di lembaga pendidikan. Misalnya, saat ini ada pesantren yang menerapkan kawasan bebas rokok. Serta memberi peringatan keras terhadap guru yang merokok. Bahkan, ada satu pesantren yang tidak merekrut guru yang perokok. Dengan begitu diharapkan kultur merokok dapat dikikis.

Dewan Penasehat Komnas Pengendalian Tembakau, Kartono Muhammad, menjelaskan sampai saat ini ada 10 negara yang belum meratifikasi FCTC, diantaranya Indonesia. Kemudian dari 57 negara anggota OKI, hanya Indonesia yang belum meratifikasi FCTC.

Mengingat bahaya rokok, Kartono heran kenapa pemerintah belum meratifikasi FCTC. Apalagi, di forum internasional, pemerintah terkesan tidak punya malu karena sering diingatkan negara lain untuk meratifikasi FCTC. Itu terjadi dalam sidang OKI, WHO dan Ekosob di New York. “Pemerintah lebih berpihak kepada pemodal (industri rokok,-red) ketimbang rakyatnya sendiri,” paparnya.

Tidak Merugikan Ekonomi
Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau, Hakim Sorimuda Pohan, melihat industri rokok kerap mengkalim jika FCTC diratifikasi maka terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Pohan berpendapat itu terjadi bukan karena ratifikasi FCTC, tapi sudah rencana awal industri rokok untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya.

Pada prinsipnya, perusahaan rokok tidak mau mengeluarkan biaya yang besar untuk ongkos pekerja. Oleh karenanya, pabrik rokok berencana untuk mengalihkan produksi sigaret kretek tangan menjadi mesin. Sehingga, memangkas secara signifikan jumlah pekerja karena peran mereka sudah diganti mesin. Dengan menggunakan mesin maka pabrik rokok hanya menyerap 0,2 persen pekerja.

Kapitalisme industri rokok menurut Pohan juga menurunkan produksi daun tembakau lokal. Itu dapat dilihat dalam sepuluh tahun terakhir jumlah lahan tembakau di Indonesia turun drastis. Namun, produksi rokok naik tujuh kali lipat. Meningkatnya produksi rokok itu selaras dengan peningkatan impor daun tembakau.

Tingginya produksi rokok itu bagi Pohan merupakan keberhasilan industri menciptakan pasar baru di Indonesia. Sehingga, perokok baru bukan saja berasal dari kalangan dewasa dan remaja, tapi juga balita. “Mereka berhasil melahirkan baby smoker (bayi perokok) di Indonesia,”
ujarnya.

Bahkan, Pohan melihat fenomena bayi perokok diangkat media internasional. Dengan begitu masyarakat internasional menilai peradaban di Indonesia sangat tertinggal karena tidak mampu melindungi anak-anak dari bahaya rokok. Untuk menuntaskan masalah itu maka pemerintah wajib meratifikasi FCTC. “Kalau kita mau dianggap sebagai bangsa beradab maka harus meratifikasi FCTC,” tegasnya.

Peneliti lembaga demografi Universitas Indonesia (LDUI), Abdillah Ahsan, mengatakan selama ini ada pihak yang berpendapat FCTC akan berdampak pada penurunan ekonomi, peningkatan pengangguran dan kemiskinan. Namun, dari hasil penelitian yang dilakukannya setahun lalu, menunjukan kesimpulan yang berbeda.

Dari 20 negara yang sudah meratifikasi FCTC, sebagian besar kondisi perekonomiannya cenderung lebih baik. Itu terlihat dari meningkatnya PDB, menurunnya jumlah pengangguran dan kemiskinan. Bahkan, produksi tembakau di berbagai negara itu ikut naik. Kesimpulannya, ratifikasi FCTC tidak berdampak negatif terhadap ekonomi dan perlindungan terhadap petani tembakau. “Dari 20 negara itu 16 di antaranya tingkat kemiskinan menurun karena kondisi ekonominya membaik,” pungkas Abdillah.
Tags:

Berita Terkait