Tak Ada Alasan Menolak FCTC
Berita

Tak Ada Alasan Menolak FCTC

Framework Convention on Tobacco Control diyakini tidak berdampak buruk terhadap industri tembakau dan rokok.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Dina Kania dari WHO Indonesia (Kiri) dan Kartono Mohamad dari Komnas Pengendalian Tembakau (kanan) dalam acara diskusi publik di Jakarta, Kamis (19/6). Foto: RES
Dina Kania dari WHO Indonesia (Kiri) dan Kartono Mohamad dari Komnas Pengendalian Tembakau (kanan) dalam acara diskusi publik di Jakarta, Kamis (19/6). Foto: RES
Hingga kini pemerintah belum meratifikasi Konvensi Internasional Pengendalian Tembakau, lazim disebut Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Pihak yang menolak berdalih konvensi ini  akan berdampak negatif terhadap industri tembakau di Indonesia, termasuk petani tembakau dan pabrik rokok.

National Professional Officer for Tobacco Free Initiative World Health Organization(WHO), Dina Kania, mengatakan FCTC merespon epidemik tembakau yang terjadi secara global. Ini mendorong berbagai negara menciptakan instrumen hukum guna mengendalikan epidemik tembakau. Dina mencatat sampai saat ini 178 negara sudah meratifikasi FCTC dan 8 negara belum meratifikasi termasuk Indonesia. Pada intinya, FCTC melindungi generasi saat ini dan mendatang dari dampak buruk tembakau. FCTC tidak hanya mengatasi masalah kesehatan tapi juga eknomi dan sosial.

FCTC, kata Dina, mengatur dua kelompok kebijakan yaitu pengendalian permintaan dan penawaran (deman and supply) tembakau. Pengendalian permintaan tembakau seperti harga dan cukai rokok. Kemudian perlindungan dari bahaya asap rokok, kemasan dan label, edukasi serta program berhenti merokok. “Dalam FCTC tidak ada pasal yang melarang pertanian tembakau dan industri rokok,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (19/6).

FCTC mengatur pemberantasan perdagangan ilegal. Sebab banyak rokok ilegal beredar di pasaran seperti rokok yang tidak punya cukai. Sehingga tidak berkontribusi terhadap pemasukan negara. FCTC juga mengatur pelarangan penjualan rokok oleh dan kepada anak, serta dukungan terhadap petani tembakau.

Menurut Dina sudah saatnya bagi Indonesia untuk mengadopsi FCTC. Apalagi regulasi nasional sudah mengatur sejumlah ketentuan yang terdapat dalam FCTC. Misalnya, ketentuan untuk menampilkan gambar peringatan terhadap bahaya kesehatan pada bungkus rokok. Selain itu, sudah ada upaya melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok dengan cara menetapkan kawasan dilarang merokok.

Dina berpendapat FCTC menghormati kedaulatan nasional. Sehingga fleksibel terhadap konstitusi dan peraturan yang berlaku di dalam negeri. Misalnya, peringatan kesehatan bergambar sebagaimana ada dalam FCTC mengamanatkan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan hukum yang berlaku di tingkat nasional. Begitu pula dengan iklan rokok. “Sebenarnya kita tidak perlu takut mengaksesi FCTC,” ujarnya.

Menurut Dina Indonesia penting untuk mengadopsi FCTC karena populasi perokok di Indonesia termasuk terbesar di dunia. Ironisnya, kebanyakan perokok di negara berkembang seperti Indonesia adalah masyarakat kelompok ekonomi lemah. Sekalipun Indonesia telah memiliki regulasi yang berupaya mengendalikan tembakau seperti PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, tapi ia menilai FCTC penting untuk diaksesi.

Sebab, Dina menandaskan, dampak buruk rokok tidak selalu berasal dari dalam negeri, tapi juga global. Seperti perdagangan tembakau dan ekspansi perusahaan rokok luar negeri yang lintas negara. Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan regulasi yang lebih dari sekadar PP. “FCTC itu untuk mengatasi liberalisasi perdagangan, pemasaran global dan investasi asing lalu mobilitas sosial, itu tidak ada dalam PP No.109 Tahun 2012,” paparnya.

Selama ini pihak yang menolak FCTC menurut Dina menganggap konvensi itu akan mematikan petani tembakau. Faktanya, di negara penghasil tembakau tertinggi di dunia sudah meratifikasi FCTC dan tidak berdampak buruk terhadap petani tembakau. Seperti China, produksi tembakaunya 38 persen dari produksi dunia. Setelah meratifikasi FCTC produksi tembakau meningkat jadi 42,8 persen.

Berkaitan dengan pekerja di industri rokok, Dina menyebut 8 negara produsen rokok terbesar di dunia telah menjadi negara pihak dalam FCTC. Seperti China pada tahun 2000 mampu memproduksi 1,6 juta batang rokok. Setelah mengaksesi FCTC produksinya pada tahun 2009 meningkat jadi 2,3 juta batang. Sedangkan, di China pada tahun 2000 jumlah pekerja di industri rokok mencapai 270 ribu pekerja dan tahun 2012 meningkat menjadi 297 ribu pekerja. “Jadi tidak ada kaitannya FCTC dengan penurunan buruh rokok dan  petani tembakau,” urainya.

Kemudian, Dina juga mendengar ada yang menganggap FCTC berbenturan dengan perdagangan internasional. Padahal dalam klausul perdagangan internasional (WTO) cukup fleksibel dan tidak bertentangan dengan FCTC.

Begitu juga dengan pandangan yang menyebut FCTC sarat kepentingan asing. Menurut Dina, justru perusahaan rokok asing bebas masuk ke Indonesia sekalipun FCTC belum diaksesi. “Justru ketika kita tidak punya peraturan kuat tentang tembakau, perusahaan luar mudah masuk ke Indonesia merebut pasar yang ada,” tandasnya.

Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, mengatakan masalah tembakau atau rokok adalah kontroversi yang tidak pernah habis dibahas. Sebab, menyangkut banyak kepentingan besar dan melibatkan banyak pihak. Apalagi, industri rokok banyak mempengaruhi media lewat iklan, mendukung penyelenggaraan beragam kegiatan pendidikan, seni dan olahraga. Ironisnya, perokok terbesar berasal dari masyarakat berpenghasilan rendah. Akibatnya, kebutuhan untuk rokok menjadi hal yang utama setelah makan. “Itu jauh mengalahkan kebutuhan pendidikan dan kesehatan,” ucapnya.

Nasib serupa juga dialami petani tembakau. Menurut Imam pekerja industri rokok dan petani tembakau tidak mendapat penghasilan yang layak. Bahkan BPS melansir petani tembakau penghasilannya paling rendah kedua. Mengacu hal tersebut Imam menilai industri tembakau atau rokok hanya menguntungkan pemilik industri rokok ketimbang petani tembakau dan pekerja. “Pemilik industri rokok yang menjadi orang terkaya di indonesia,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait