Negara Tanpa Pemerintahan
Tajuk

Negara Tanpa Pemerintahan

Pekan-pekan terakhir ini kita merasakan bahwa negara berjalan tanpa pemerintahan. Negara seperti roda yang dilepas dari tempat tinggi, bergulir sendiri menukik-nukik, terbentur-bentur, tanpa kepastian arah, kendali dan tujuan, dan tanpa satupun kita tahu bila, di mana, dan dalam kondisi apa akan berhenti.

ATS
Bacaan 2 Menit
Negara Tanpa Pemerintahan
Hukumonline

Negara mungkin berjalan dengan pemerintahan yang baik, birokrasi yang mapan tapi transparan, akuntabel, dan sistemik, seperti mesin yang terpelihara, walau tanpa pemimpin sekalipun. Tapi negara tidak punya ruh, nurani dan pencapaian visi tanpa leadership yang baik. Saat ini, negara kita tidak bermesin, tidak pula punya pemimpin yang baik.   

Dimulai dari wacana apakah perkara Akbar Tandjung adalah soal hukum atau politik, soal Tandjung atau soal Golkar, soal pribadi Tandjung atau soal akuntabilitas pemerintahan Habibie. Pasti tidak ada satupun pilihan yang enak untuk Tandjung, Golkar, bekas-bekas Orde Baru, pemerintahan Megawati, maupun parpol lain. Tidak juga bagi para pemimpin parpol yang berpotensi punya masalah yang sama dengan Tandjung dan Golkar.

Banyak orang merasa khawatir benar bahwa akhirnya kompromi politiklah yang nanti akan terjadi. Business as usual. Golkar tidak diutik-utik, Tandjung selesai karier politiknya dan tidak bermimpi punya kesempatan di tahun 2004, Yayasan Raudatul Jannah dan orang-orang yang terkait dengannya menghadapi pengadilan yang akan terlihat keras menghukum mereka. Mungkin ada suksesi di Golkar. Pendanaan parpol-parpol lain mungkin tidak akan diusut. Pemerintahan Mega tidak harus kehilangan dukungan kuat Golkar, kawan koalisinya yang didukung oleh roda birokrasi yang terdidik, bekerja tehnis, mampu menjalankan pemerintahan, tapi juga sebagian besar korup. Pemerintahan Mega juga boleh berharap mendapat dukungan parpol lain yang terselamatkan dari pengusutan serupa.

Jadi siapa pemerintah dalam kasus ini? Seharusnya Jaksa Agung, wakil negara dalam hal terjadi pelanggaran hukum, wakil masyarakat kalau ada kepentingan publik terinjak-injak. Dana non-budgeter adalah uang negara. Penggunaan dana non-budgeter bukan untuk kepentingan negara jelas pelanggaran kepentingan negara, dan tentunya kepentingan publik dan rasa keadilan masyarakat. Jumlah Rp40 miliar mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan korupsi keluarga dan kroni Soeharto, atau dana BLBI kepada para konglomerat. Tapi jumlah itu mungkin bisa membantu penyelesaian konflik Ambon, atau membangun rumah sakit di Aceh, atau membangun banyak sekolah dasar dan menengah di Papua. Jaksa Agung dalam kasus ini harusnya hanya punya kepemihakan terhadap negara, terhadap kepentingan umum, dan tidak memberi kesan lambat dan penuh keraguan seperti ditunjukkannya sampai saat ini. Bila mana Jaksa Agung tidak menjalankan fungsi dan perannya yang seharusnya, maka negara ini berjalan tanpa pemerintah.

Kalau Jaksa Agung tidak memposisikan peran dan fungsinya yang seharusnya, dan kalau parlemen lebih memposisikan diri sebagai kumpulan orpol yang punya kepentingan yang tinggi dalam kasus Tandjung ini, maka seharusnya yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Agung bertindak. Tidak dalam kapasitasnya sebagai penjaga gawang terakhir proses judisial, tetapi sebagai institusi yang dibebani tanggung jawab regulasi bahwa hukum dan keadilan ditegakkan dan berlaku untuk siapa saja. Caranya, dengan membuat pernyataan dan opini terbuka bahwa semua parpol tanpa kecuali harus transparan di dalam penerimaan dan pengelolaan dana politiknya, dimulai dari Golkar.

Akhirnya kalau benteng terakhir hukum dan keadilan tidak berfungsi, masyarakat sipil tentu harus tampil dengan mengorganisasi masyarakat luas untuk melakukan pengungkapan semua fakta dan informasi yang dimiliki oleh siapapun tentang praktek politik uang dan kaitannya dengan semua parpol dan pimpinan parpol, dan mendesak dengan kuat dan memonitor dengan ketat secara terus menerus Jaksa Agung untuk menggunakan fakta dan informasi tersebut untuk proses penyidikan dan  bila terbukti, penuntutan, tanpa kecuali. 

Contoh lain adalah masalah perpanjangan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham ("PKPS") yang kontroversial. Pada awal krisis, pemerintah mengambil kebijakan untuk duduk bersama-sama dengan para debitur besar dengan maksud untuk menyelamatkan aset negara dengan nilai sebaik mungkin dan dalam waktu secepat mungkin. Transaksi-transaksi yang dibuat secara kilat tersebut mengandung banyak kelemahan, terutama dari segi enforcement-nya dalam konteks dan kondisi hukum dan peradilan yang lemah dan korup. Ini dibaca secara salah oleh sejumlah pihak.

Tiba-tiba pihak Kejaksaan Agung menjadi ganas dan gembar gembor bahwa debitur besar akan disidik dan dituntut. Wakil rakyat juga tiba-tiba menjadi eksekutif, ikut serta dalam perhitungan kerugian dan pemulihan aset negara. Sementara, kelemahan-kelemahan transaksi tersebut digunakan oleh sejumlah debitur besar untuk tidak atau memperlambat penyelesaian pengembalian aset negara. Tentu saja tarik ulur ini menjadikan negosiasi dengan debitur besar menjadi macet. Contoh kasat matanya adalah kasus Bob Hasan. Orang yang dikirim ke pembuangan sudah pasti tidak akan bersedia untuk duduk sederajat menegosiasikan aset negara yang terkait dengannya.

Pemerintahan Mega dengan menteri-menteri ekonominya yang terkenal pandai, jujur, pragmatis, dan berwawasan luas berpandangan bahwa dalam kondisi ekstraordinari begini, penyelesaian pengembalian aset negara hanya bisa terjadi dengan cara-cara yang juga ekstraordinari, termasuk cara-cara kompromistis dengan debitur besar. Tindakan keras, termasuk tindakan hukum, hanya menjadikan semua jalan buntu, dan akhirnya negara hanya akan memperoleh aset-aset negara yang sudah dibumi-hanguskan.  Tindakan pragmatis tersebut mungkin perlu ada dalam semangat rekonstruksi darurat ekonomi negara. Tapi akan menimbulkan kecurigaan rakyat kalau dilakukan tidak secara transparan dan tidak dijelaskan dalam bahasa yang mudah dimengerti awam. Rakyat sudah terlalu lama menderita, dan tidak menolak untuk menderita sebentar lagi, tapi hanya bila semua jelas untuk mereka.

Oversight Committee BPPN sudah mengeluarkan "the ten commandment"- nya, yang memberikan pemihakan kepada publik bahwa perpanjangan PKPS hanya boleh berlaku untuk debitur beritikad baik dan punya prospek untuk pengembalian aset negara dengan nilai substansial dan dalam waktu yang terukur. Perpanjangan PKPS  kepada debitur yang beritikad buruk atau tidak punya prospek mengembalikan asset negara hanya akan memperpanjang derita rakyat dan mengusik rasa keadilan masyarakat. Mereka tidak patut menerima perlakuan istimewa itu.

Negara dalam hal ini mempunyai pemerintahan kalau debitur besar diperlakukan sesuai dengan itikad dan prospek mereka. Dan pada saat yang sama, debitur kecil mendapat perlakukan yang seimbang dengan besar kecilnya pinjaman dan kesalahan mereka. Pada saat yang sama juga, ekonomi perlu dihidupkan dengan kucuran dana murah kepada pengusaha kelas kecil menengah terutama yang berbasis masa depan yang lebih nyata, misalnya agribisnis, dengan menerapkan prinsip-prinsip kesempatan usaha yang setara, transparan dan bersaing wajar. Kita detik ini masih dijanjikan proses. Jadi selama itu tidak terjadi, negara berjalan tanpa pemerintahan. Buktinya, pemulihan aset negara masih gagal, privatisasi masih di awang-awang, kurs dollar masih tinggi, tapi ekonomi rakyat yang menghidupi bagian terbesar bangsa ini masih berjalan, sendirian.

Contoh ketiga, baru saja dan masih kita alami. Bencana banjir di Jakarta dan sekitarnya melumpuhkan Jakarta dari segala aspek. Pemerintah pusat dan daerah saling lempar tanggung jawab. Polisi dan militer dengan segala peralatannya yang biasanya canggih menghadapi demonstran, lambat bergerak. Pejabat rajin meninjau tanpa melakukan banyak bantuan dan terkesan keceh (main air seperti anak kecil) saja. Sementara rakyat terbenam, kedinginan, kehilangan harta dan nyawa, kelaparan, dan marah karena diterlantarkan.

Bencana banjir menunjukkan kegagalan pemerintah dalam perencanaan pencegahan banjir dan penanggulangan pada saat banjir terjadi. Belum lagi nantinya upaya-upaya untuk mengatasi masalah-masalah pasca banjir yang tak kurang peliknya. Sebaliknya, masyarakat sipil bergerak sendiri dengan solidaritas tinggi, bahu membahu, memberikan banyak dari milik mereka yang sedikit. Masyarakat melakukan self-healing, pengobatan sendiri, pengobatan alternatif, karena tahu "pemerintah tidak ada". Sekali lagi bukti negara kita ada tanpa pemerintahan. 

Di negara-negara maju, peran pemerintah makin mengecil. Dan itu wajar terjadi dengan pemerintahan yang bersih, parlemen yang kuat, peran swasta yang besar, masyarakat sipil yang dewasa dan berdaya, dan sistem check and balance yang bekerja baik. Di negara berkembang, apalagi terpuruk seperti kita, pemerintah masih harus menonjol perannya yang kuat, tetapi terkontrol dan wajib menjalankan good governance. Tetapi kita masih belum punya pemerintah. Kita juga belum punya pemimpin yang baik. Kita hanya wadah, tanpa mesin, tanpa ruh. Berjalan sendiri seperti zombie.

Tags: