Pakar: Konsep Teori Heuristika Hukum Lompatan Berpikir Futuristik
Utama

Pakar: Konsep Teori Heuristika Hukum Lompatan Berpikir Futuristik

Konsep heuristika hukum perlu disosialisasikan dan dibedah melalui forum-forum diskusi ilmiah di kalangan akademisi agar konsep teori ini bisa diuji eksistensinya karena sesuatu yang baru di Indonesia.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Margarito menilai konsep heuristika hukum perlu disosialisasikan dan dibedah melalui forum-forum diskusi ilmiah di kalangan akademisi agar konsep teori ini bisa diuji eksistensinya karena sesuatu yang baru di Indonesia. Margarito melanjutkan pengujian konsep ini dalam rangka menjawab problem-problem penegakan hukum, khususnya di lembaga peradilan.

"Sebagai sebuah gagasan sudah tentu pasti terjadi pro-kontra, namun pro-kontra hal wajar di kalangan akademisi. Pro-kontra tentu dapat menambah dinamika dan dialektika untuk memperkaya intelektual seiring lahirnya konsep heuristika hukum," kata Margarito.

Gagasan pendekatan konsep heuristika hukum ini merupakan buah pikir Ketua MA selama kurang lebih 36 tahun menggeluti profesi Hakim. Bagi Syarifuddin, Hakim memegang peranan penting menyelaraskan hukum dan keadilan berupa menafsirkan aturan; membentuk kaidah baru dalam sebuah norma; mendorong gerak pembaruan hukum sebagai representasi proses kreatif mengadili dan memutus perkara. Menjatuhkan pidana menjadi titik kulminasi dari pergulatan nurani dan kerja kreatif Hakim menegakan hukum dan keadilan.

Ada problematika klasik dalam pemberantasan korupsi yang belum mendapat jawaban secara tuntas dalam dunia akademis dan praktik. Misalnya, pemberantasan korupsi tidak dapat dipahami dan diatasi hanya dengan mengandalkan peraturan dan penegakannya oleh aparat. Dibutuhkan upaya kolektif, mulai dari legislasi yang pro pemberantasan korupsi; penciptaan budaya kerja yang nirkorupsi; pemahaman masyarakat untuk turut mengawasi perilaku dan kinerja aparatur negara; serta sinergi antar penegak hukum.

Persoalan mendasar penegakan hukum itu terletak pada dua hal. Pertama, keadilan substantif, yang salah satunya rentang pemidanaan sangat lebar (disparitas pemidanaan) pada perkara-perkara yang memiliki permasalahan hukum yang sama yang menimbulkan ketidakadilan. Kedua, keadilan prosedural yaitu adanya hambatan memperoleh akses keadilan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam proses peradilan.

Menurutnya, terbitnya Perma No. 1 Tahun 2020 ini lompatan berpikir dalam upaya mengatasi kendala-kendala dalam penanganan perkara pidana korupsi demi terwujudnya keadilan prosedural dan keadilan substantif itu. Lompatan berpikir ini tidak terjadi serta merta, tetapi melalui proses dialektika cukup panjang dan telaah pelbagai norma dan doktrin hukum yang berkembang.

Dialektika ini diibaratkan sebagai proses heuristik yang memadukan berbagai aspek hukum dan nonhukum (faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, psikologi, dan agama) dalam penormaan hukum, sehingga dapat dihasilkan produk legislasi (dalam hal ini Perma No. 1 Tahun 2020, red) yang dapat menjawab kebutuhan berhukum saat ini.

Ada beberapa alasan mengapa Perma Nomor 1 Tahun 2020 merupakan implementasi dari pendekatan heuristika hukum. Pertama, sebagian kecil putusan yang ada menunjukkan adanya disparitas pemidanaan dalam perkara tipikor. Terbitnya Perma Nomor 1 Tahun 2020 merupakan penormaan dari pandangan agar setiap penjatuhan pidana dilakukan dengan memperhatikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan. Penormaan inilah yang dimaksud heuristika hukum.

Kedua, Perma Nomor 1 Tahun 2020 memberi kerangka kerja yang memudahkan para hakim mengadili perkara tipikor, sehingga dapat menetapkan berat ringannya pemidanaan (paling berat, berat, sedang, ringan) berdasar pertimbangan yang lengkap (terbukti tidaknya unsur pidana; kerugian keuangan negara; tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan; rentang pemidanaan, serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan). Kerangka kerja ini yang dimaksud sebagai penegakan dalam perspektif heuristika hukum.   

Ketiga, Perma Nomor 1 Tahun 2020 menentukan standardisasi pemidanaan (paling berat, berat, sedang, ringan, dan paling ringan) dan ini dapat menjadi pedoman bagi hakim dalam memutus perkara. Meskipun demikian, hakim tetap memiliki kewenangan dan kemandirian untuk dapat menentukan berat ringannya pidana menurut hati nuraninya jika apa yang termuat dalam pedoman tersebut belum mengakomodir fakta penting lain yang terungkap di persidangan. Ini merupakan pembaruan dalam perspektif heuristika hukum.

Tags:

Berita Terkait