Pandangan Dua Profesor Hukum Terkait Maraknya Pinjol Ilegal
Terbaru

Pandangan Dua Profesor Hukum Terkait Maraknya Pinjol Ilegal

Perlu adanya penguatan regulasi di tengah marak kasus pinjaman online.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Berbagai kasus jeratan utang pinjaman online atau fintech peer to peer lending terus bermunculan. Mulai dari kasus penagihan melanggar hukum, penipuan hingga nasabah bunuh diri karena tidak sanggup bayar dialami masyarakat. Persoalan ini tidak lepas mudahnya fintech ilegal tersebut menawarkan layanannya kepada masyarakat. Meski terus diblokir pada aplikasi store namun dengan mudah fintech ilegal tersebut membuat kembali aplikasinya dengan nama baru.

Melihat kondisi seperti ini, pakar hukum Prof Yusril Ihza Mahendra menyampaikan kehadiran pinjol menandakan hukum selalu tertinggal dibandingkan bidang lain. Menurutnya, para pembuat kebijakan harus merancang regulasi fintech yang mampu menjawab persoalan di masa depan. Sebab, Yusril menjelaskan industri fintech terus berinovasi seiring perkembangan teknologi informasi.

Salah satu cara dalam penyusunan regulasi fintech yaitu melakukan studi pada negara-negara yang penggunaan fintechnya sudah berkembang.  “Jadi pada persoalan fintech ini harus belajar dari negara lain yang telah banyak pengalamannya seperti Singapura, Hongkong. Tentunya nanti akan banyak mengeluarkan peraturan tertulis walau aturan tersebut juga akan banyak diamandemen karena perubahannya yang luar biasa,” jelas Yusril dalam acara diskusi daring, Kamis (14/10).

Selain itu, dia juga mendorong penyusunan regulasi yang melindungi kepentingan masyarakat. Sebab, persoalan yang terjadi saat ini tidak lepas masih lemahnya perlindungan masyarakat tersebut. Salah satu contoh diperlukannya kehadiran Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. (Baca: Kapolri Perintahkan Jajaran Tindak Tegas Pinjol Ilegal)

“Kehadiran pinjaman online ini terdapat positif dan negatif. Mau tidak mau harus ada kepastian hukum, aspek perlindungan baik si pemberi pinjaman dan peminjam itu sendiri. Saya juga pernah dengar OJK mengenai banyaknya pegadaian fisik yang tidak terawasi. Pegadaian tersebut juga ada berbentuk online. Mau tidak mau aspek hukumnya juga harus dipikirkan dan pengawasannya oleh pemerintah,” jelas Yusril.

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan kehadiran pinjaman online sebenarnya memiliki dampak positif karena dapat menjangkau nasabah-nasabah yang tidak terakomodir pada industri jasa keuangan lain seperti perbankan. Sehubungan dengan maraknya kasus pinjaman online, Edward mengatakan faktor penyebabnya yaitu fintech ilegal. Sebab, regulator tidak dapat mengawasi kegiatan usaha fintech ilegal tersebut.

“Namun dalam perkembangannya ada yang “nakal”. Kalau tidak “nakal” dia sudah mendaftarkan diri di OJK dan ada ketentuan yang tidak memberatkan bagi peminjam, seandainya peminjam belum melunasi sudah pasti tidak bisa meminjam dari yang lain. Semuanya sudah terdata, kalau bicara legal tidak jadi soal, yang selalu jadi permasalahan adalah mereka yang tidak terdaftar dan tentukan persyaratan sendiri misal persyaratan sekian denda sekian. Ada pinjaman pokok Rp 3 juta jadi Rp 30 juta,” kata Edward.

Bahkan, dia mengatakan perjanjian dengan fintech ilegal tersebut dapat batal karena terjadi penyalahgunaan keadaan. “Dalam konteks keperdataan ini bisa batalkan perjanjian karena penyalahgunaan keadaan. Peminjam itu benar-benar butuh mungkin ada keluarga yang sakit dan kebutuhan lainnya, para pihak tidak punya kedudukan sejajar. Seperti tadi pinjaman berbunga-bunga dari Rp3 juta  jadi Rp30 juta. Sehingga itu jadi keadaan yang dapat batalkan perjanjian. Jika merujuk pada KUH Perdata itu dapat dibatalkan apabila terjadi kesesatan, penipuan, paksaan tetapi dalam perkembangan yurisprudensi ada yang disebut penyalahgunaan keadaan sebagai dapat membatalkan perjanjian,” jelas Edward.

Dia juga menekankan pentingnya pengaturan yang dapat mengantisipasi berbagai persoalan fintech ini. Selain permasalahan perdata, terjadi pelanggaran pidana seperti penyebaran data pribadi hingga ancaman kepada nasabah.

“Di sisi lain yang menimbulkan komplikasi hukum ketika debitur tidak mau kembalikan maka dia hadapi teror bahkan ada indikasi kuat menjurus pada pencemaran nama baik ini tidak boleh terjadi bahkan ini bukan ranah keperdataan maka pidana. Oleh karena itu, bagaimana pengaturan fintech kedepan perlu antisipasi ada aturan diperketat, badan hukum atau korporasi bukan badan hukum semua harus didaftarkan di OJK agar terdata, bisa diawasi. Ini juga menguntungkan bagi orang perorangan jika ada utang belum kembali ada jalan keluar bagaimana menyelesaikan masalah ini,” jelas Edward.

Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK, Anto Prabowo, menyampaikan pihaknya melalui Satgas Waspada Investasi telah mengambil langkah cepat dan tegas bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika menindak pinjaman online (pinjol) ilegal yang melanggar hukum. Sejak 2018 telah diblokir 3.516 aplikasi atau situs pinjol ilegal. 

“Masyarakat agar mewaspadai penawaran pinjaman melalui SMS/WhatsApp karena merupakan pinjol ilegal. OJK mengimbau masyarakat hanya menggunakan pinjaman online resmi yang terdaftar dan berizin OJK,” jelas Anto.

Tags:

Berita Terkait