Paradoks Sistem Presidensial Bisa Munculkan Otoritarianisme Bila Kekuasaan Tak Dibatasi
Berita

Paradoks Sistem Presidensial Bisa Munculkan Otoritarianisme Bila Kekuasaan Tak Dibatasi

Teori presidensialisme disebut tidak pernah mengajarkan bahwa jabatan presiden dan wapres merupakan jabatan terpisah. Terlebih lagi, jika jabatan wapres dianggap setara dengan menteri, sehingga dapat menjabat lebih dari dua periode masa jabatan.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Para pembicara (dari kiri) Akademisi Universitas Udayana Jimmy Usfunan, Akedemisi Pusat Kajian Hukum Demokrasi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Agus Riewanto, Ahli hukum Universitas Gajah Mada Oce Madril, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, Ahli hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggoro dan Ahli hukum Universitas Andalas Feri Amsari saat menyampaikan pandangannya dalam diskusi yang bertemakan Polemik Masa Jabatan Wapres. Jakarta, Senin (23/7). Foto: RES
Para pembicara (dari kiri) Akademisi Universitas Udayana Jimmy Usfunan, Akedemisi Pusat Kajian Hukum Demokrasi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Agus Riewanto, Ahli hukum Universitas Gajah Mada Oce Madril, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, Ahli hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggoro dan Ahli hukum Universitas Andalas Feri Amsari saat menyampaikan pandangannya dalam diskusi yang bertemakan Polemik Masa Jabatan Wapres. Jakarta, Senin (23/7). Foto: RES

Judicial review tentang masa jabatan wapres yang diajukan Partai Perindo yang melibatkan Jusuf Kallasebagai pihak terkait, telah memantik perdebatan hangat dari berbagai kalangan akademisi. Salah satunya perihal urgensi pembatasan kekuasaan dalam suatu sistem presidensialisme murni yang dianut Indonesia. Pasalnya, para peneliti dan pengamat menilai sistem presidensiil ini berbanding lurus dengan poros kekuasaan yang sangat kuat di tubuh eksekutif.

 

Peneliti FH UNS Surakarta, Agus Riewanto, menjelaskan secara filosofi Juan Linzmenyebut sistem presidensialisme ini berbahaya dalam teori The Perils of Presidentialism. Selain itu, Lipjhartmenyebut sistem presidensialisme sebagai sebuah paradoks. Mengapa disebut perilsdan paradoks,mengingat sistem presidensiil sangat membuka lebar munculnya kekuasaan yang otoriter?

 

“Karena kekuasaan pemerintah dalam sistem presidensiil itu identik seperti raja, itu sebabnya dalam teori-teori demokrasi dikatakan salah satu hal berbahaya dari sistem presidensialisme adalah absolutisme kekuasaan,” jelas Agus.

 

Lain halnya dengan sistem parlementer, tambah Agus, di mana dalam sistem parlementer kekuasaan itu dibagi-bagi secara konvensional antara partai pemenang di parlemen dengan kekuasaan perdana menteri, bahkan perdana menteri juga bertanggungjawab kepada parlemen. Sedangkan dalam konteks Presiden dan DPR di Indonesia, dijelaskan Agus dalam istilah Juan Linz itu disebut sebagai dual legitimacy.

 

“Artinya, presiden dan DPR sama-sama kuat, sama-sama dipilih oleh rakyat dan tidak bisa saling menjatuhkan satu sama lain,” terang Agus.

 

Padahal jika dikaji kembali Pasal 6 dan Pasal 7 UUD 1945 beserta turunannya, tambah Agus, sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem presidensial murni layaknya Amerika Serikat (AS), bukan pseudo presidensiil ataupun semi parlementer.

 

Dalam sistem presidensiil murni, sambung Agus, presiden dan wakil presiden adalah satu kesatuan jabatan, dipilih sebagai pasangan secara langsung oleh rakyat, tidak bisa saling menjatuhkan antara parlemen ataupun presiden serta untuk periodisasi jabatan presiden dan wapres yang fixed terms tergantung masing-masing negara (ada yang 4 atau 5 tahun dan lainnya).

 

“Jadi kalau kuasa hukum pak JK dalam JR pasal 169 UU pemilu terhadap Pasal 7 UUD menyebut ada perbedaan antara jabatan presiden dan wapres dan bahkan menganggap jabatan wapres setara dengan menteri, itu saya katakan keliru, karena teori presidensialisme tidak mengajarkan itu,” tukas Agus.

 

(Baca Juga: Judicial Review Masa Jabatan Wapres Dinilai Salah Alamat)

 

Bahkan di AS, kata Agus, untuk memperkuat kemurnian sistem presidensialisme yang mereka anut, maka wakil presiden diletakkan pada jabatan lain yakni berupa ketua senat ex-officio jika terjadi deadlock kekuasaan ketika program-program pemerintahan tidak berjalan karena permainan dengan kongres.

 

Peneliti PUKAT UGM, Oce Madril, mengamini bahwa cara berfikir pemaknaan jabatan Wapres bisa 3 periode atau tidak terbatas dapat berujung pada pola koruptif. Padahal pembatasan masa jabatan itu, kata Oce, adalah bagian dari akuntabilitas serta bagian dari pertanggungjawaban jabatan itu sendiri karena di situlah muncul kontrol dan evaluasi dari performance seorang presiden atau wapres dalam menjalankan pemerintahan. Perlawanan atas kekuasaan eksekutif yang koruptif, tanpa batas dan tanpa kontrol itulah yang disebut Oce merupakan ruh perjuangan reformasi 1998.

 

“Ruh dari reformasi 1998 itu adalah untuk melawan korupsi pada tataran excecutive heavy, dan perdebatan ini terbuka lagi di 2018 karena dipicu oleh JR masa jabatan wapres ke MK. Tentu ini hak warga negara mengajukan, tapi saya ingatkan bahwa ini juga akan membuka ruang terjadinya absolutisme di lembaga kepresidenan,” jabar Oce.

 

Oce juga mengkritisi anggapan Perindo bahwa jabatan Wapres dan presiden itu terpisah. setidaknya terdapat 3 fungsi wakil presiden yakni membantu presiden menjalankan tugas pemerintahan sehari-hari, menggantikan peran presiden saat berhalangan dan menggantikan peran presiden saat terjadi impeachment. Artinya, kata Oce, Wapres memiliki kekuasaan yang sangat besar karena ia berada pada ruang yang sama dengan presiden, sehingga memang keliru jika Perindo beranggapan bahwa jabatan Presiden dengan Wapres itu terpisah.

 

“Karena kalo Indonesia diperintah berdasarkan sistem presidensiil, maka jabatan presiden dan wapres ga boleh dipisah-pisah, mereka harus disebut lembaga kepresidenan” ujar Oce.

 

Peneliti FH Udayana Jimmy Usfunan juga menjelaskan filosofi pembatasan kekuasaan ini sebetulnya sudah berkembang bahkan jauh sebelum lord acton mengeluarkan pendapat “power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely”. 

 

Dulu sebelum masehi, kata Jimmy, Plato menyebut bahwa negara yang baik adalah negara yang dipimpin oleh aristokrat filsuf. Namun ketika kaum filsuf menjadi pemimpin, lanjut Jimmy, lama kelamaan mereka tidak lagi mementingkan rakyatnya, melainkan mementingkan kelompoknya.

 

“Artinya siapapun yang berkuasa, hukum harus diatur secara tegas dan diberi batasan, agar kecenderungan perubahan sifat yang bisa jadi sangat berbeda dari sebelumnya dapat terhindari,” ujar Jimmy.

 

Pegamat Perludem Titi Anggraini menilai bahwa JR ini merupakan bentuk ancaman demokrasi modern yang telah melahirkan sebuah fenomena baru, bukan lagi sekedar manipulasi suara ataupun kudeta melainkan mulai masuk kedalam tataran manipulasi demokrasi dengan melemahkan sistem dan memanipulasi aturan main dengan pendekatan-pendekatan yang konstitusional, termasuk didalamnya upaya memperluas kekuasaan yang dilakukan eksekutif untuk melanggengkan kekuasaan dengan menghilangkan pembatasan-pembatasan masa jabatan.

 

Menurut Titi, Batasan ini jelas diperlukan agar Pemilu sebagai pengatur sirkulasi elit tidak didominasi oleh pihak tertentu serta terhindar dari fanatisme figur dalam pengisian suatu jabatan kekuasaan. Titi juga menilai bahwa upaya JR Perindo terkait masa jabatan wapres merupakan upaya yang dapat melemahkan progresifitas demokrasi Indonesia, sehingga dapat melemahkan parpol sebagai pintu masuk terwujudnya suatu kaderisasi parpol yang demokratis.

 

“Pada dasarnya Pemilu sebagai instrumen demokrasi yang berfungsi sebagai pengatur sirkulasi elit membutuhkan adanya pembatasan kekuasaan yang dipilih melalui pemilu, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada lahirnya otoritarianisme,” kata Titi.

 

Tags:

Berita Terkait