Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi Dinilai Makin Menyempit
Terbaru

Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi Dinilai Makin Menyempit

Padahal, secara normatif banyak pengaturan soal peran serta publik secara bermakna, tapi praktiknya masih terdapat jarak antara pembentuk kebijakan dan UU dengan masyarakat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia itu melanjutkan kendati secara normatif mengatur peran dan keterlibatan masyarakat, tapi praktiknya pembentuk UU minim memberi ruang itu seolah masih terdapat jarak antara pembentuk UU dengan masyarakat. Menurutnya, selama ini publik seringkali dibuat “kejutan” saat pembahasan sebuah RUU yang dalam hitungan pekan, RUU-nya telah disetujui DPR dan pemerintah. Padahal, materinya masih membutuhkan pendalaman dengan melibatkan peran serta masyarakat.

Tapi Sholikin optimis, masih terdapat ruang lain untuk menyampaikan hak untuk dilibatkan secara individu/kelompok yang terdampak dari sebuah kebijakan; hak meminta pertanggungjawaban dan mempertanyakan atas kewajiban pembentuk UU; dan hak atas informasi. Dia mengakui ruang yang diberikan pembentuk UU memang dibatasi. Bahkan, terdapat syarat dalam perubahan UU 12/2011, terdapat syarat pemberian partisipasi hanya dari masyarakat yang terdampak.

“Jadi ada beberapa hal kesan mempersempit ruang, tapi kalau diihat kekuatan masyarakat menjadi semakin punya momen dengan praktik partisipasi yang ada saat ini dengan kekuatan digital dan teknologi. Model-model seperti itu harus dikedepankan,” sarannya.

Krisis demokrasi

Kepala Regional ActionAid Asia, Jagat Patnaik, mengatakan kelompok masyarakat mesti diberikan ruang dalam mengekspresikan pendapatnya. Tapi nyaris di berbagai belahan dunia, terdapat pembatasan individu ataupun hak kolektif masyarakat. Baginya keadilan konsekuensi adanya strata kekuasaan di dalam politik negara. Perlu disadari pendapat masyarakat seharusnya didengar para pembentuk kebijakan.

“Banyak dari kita yang menyaksikan di berbagai penjuru dunia, bukan hanya di Indonesia dan India, bagaimana ruang masyarakat sipil semakin menyempit sekarang. Ada yang ditangkap dan dipenjara, karena para aktivis mencoba menyuarakan pendapat mereka,” ujarnya.

Sementara Sherpa C20 Presidensi Indonesia, Ah Maftuchan berpandangan dalam era digital peluang mendapat akses informasi dan memperkuat peran masyarakat sipil menjadi amat penting terutama dalam pembentukan dan pengembangan kebijakan. Tapi faktanya masyarakat sipil sebagai representasi demokrasi masih mengalami banyak kendala.

“Semakin jelas dan menjadi tren dalam hal pelibatan civil society organization dan kelompok rentan lain dalam pembuatan kebijakan,” kata dia.

Baginya, perlunya memastikan adanya perlindungan terhadap civil society organization. Sebab civil society organization harus memiliki ruang mengkondisikan kebebasan berpendapat dan berkumpul. Tapi sayangnya, kata Ah Maftuchan, demokrasi di banyak negara sedang mengalami krisis dan transisi bergerak mundur.

“Sebagai civil society organization kita memiliki aset dan pengalaman, kapital sosial, dan jaringan kerja sama. Dan aset ini harus dijaga dan dikembangkan untuk mempromosikan demokrasi dan menjaga demokrasi di dalam dan luar negeri,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait