Pelaksanaan Putusan Pengadilan Asing Melalui Gugatan Re-litigasi
Kolom

Pelaksanaan Putusan Pengadilan Asing Melalui Gugatan Re-litigasi

Minimnya ketentuan yang mengatur mengenai pelaksanaan putusan pengadilan asing melalui gugatan re-litigasi yang hanya diatur dalam Pasal 436 Rv menyebabkan adanya ketidakpastian hukum bagi para pelaku usaha untuk memperjuangkan haknya.

Bacaan 5 Menit
Kolase (ki-ka): Maria Ulfa dan Ryano Rahadian. Foto: Istimewa
Kolase (ki-ka): Maria Ulfa dan Ryano Rahadian. Foto: Istimewa

Berkembangnya transaksi perdagangan barang dan jasa lintas negara tentunya menciptakan suatu hubungan keperdataan antar subjek hukum pada dua negara atau lebih yang diatur dalam sebuah kontrak internasional. Kontrak internasional mengatur subjek hukum pada dua negara atau lebih yang masing-masing subjek hukum tunduk pada hukum yang berbeda sehingga hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam ranah Hukum Perdata Internasional (HPI) terlebih para pihak memiliki kebebasan dalam menentukan isi dari kontrak yang mereka sepakati sesuai dengan asas freedom of contract. Salah satu bentuk pelaksanaan dari asas kebebasan berkontrak dalam kontrak internasional adalah para pihak bebas menentukan pilihan hukum (choice of law) dan pilihan forum penyelesaian sengketa (choice of forum).

Kebebasan dalam menentukan pilihan hukum dan forum penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak internasional dapat menyebabkan permasalahan apabila hukum dan forum yang dipilih adalah hukum dan pengadilan salah satu pihak dalam kontrak. Sehingga apabila salah satu pihak dalam perjanjian melakukan wanprestasi dan pihak tersebut merupakan subjek hukum yang tunduk pada hukum yang berbeda dengan yang telah disepakati dalam kontrak, maka akan terjadi kendala pada proses eksekusi dalam penyelesaian sengketa jika pihak yang melakukan wanprestasi tidak memiliki iktikad baik (good faith) dalam menjalankan putusan Pengadilan.

Adanya batasan yurisdiksi suatu pengadilan yang hanya memiliki kekuatan eksekutorial pada wilayah hukum negara tersebut (judicial sovereignty) menimbulkan implikasi yuridis berupa putusan tersebut tidak dapat langsung dilaksanakan apabila pihak yang berkewajiban untuk melakukan pembayaran ganti rugi berada di luar yurisdiksi pengadilan yang berwenang untuk memutus perkara, terlebih jika diperlukan upaya paksa atas pemenuhan putusan pengadilan tersebut.

Baca juga:

Berbeda halnya dengan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia, di mana Indonesia telah meratifikasi Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York Convention) melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 sehingga Putusan Arbitrase Asing dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia setelah mendapatkan eksekuatur sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase).

Pelaksanaan putusan pengadilan asing tidak dapat dilaksanakan secara langsung (direct enforcement) sebagaimana lazimnya suatu putusan pengadilan domestik, dikarenakan sampai dengan saat ini Indonesia belum meratifikasi Convention on Recognition and Execution of Foreign Judgements in Civil and Commercial Matters (Konvensi Den Haag 1971) maupun perjanjian multilateral lainnya yang mengatur mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing. Hal ini tentunya menimbulkan ketidakpastian bagi para pelaku bisnis yang hendak memperjuangkan haknya dalam melakukan eksekusi putusan pengadilan asing.

Satu-satunya ketentuan yang mengatur mengenai eksekusi putusan pengadilan asing adalah Pasal 436 ayat (2) Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang pada pokoknya mengatur sebagai berikut:

  1. Kecuali ditentukan dalam Pasal 724 KUHD, dan lain-lain perundang-undangan, keputusan-keputusan yang diterbitkan oleh badan peradilan luar negeri tidak dapat dieksekusi (dilaksanakan) di Indonesia.
  2. Perkara-perkara sedemikian dapat diajukan lagi dan diputuskan di dalam badan peradilan di Indonesia.

Dari ketentuan Pasal 436 ayat (2) Rv tersebut, dapat diketahui bahwa suatu putusan pengadilan asing dapat diajukan kembali untuk kemudian diputuskan di Pengadilan Indonesia. Gugatan pengajuan kembali perkara yang telah diputus oleh pengadilan asing tersebut dikenal sebagai gugatan re-litigasi, yang secara harfiah diartikan sebagai suatu gugatan kembali atas perkara yang telah diputuskan sebelumnya pada pengadilan asing untuk kemudian diputuskan kembali oleh pengadilan di Indonesia. Pengajuan gugatan re-litigasi tersebut haruslah didasarkan oleh putusan pengadilan asing yang telah berkekuatan hukum tetap yang sebelumnya telah diputus oleh pengadilan asing yang bersangkutan.

Hal tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan apakah tindakan Hakim pada pengadilan di Indonesia yang memeriksa dan memutus kembali suatu sengketa yang telah diputus sebelumnya menyalahi prinsip nebis in idem atau tidak. Menurut hemat Penulis, ketentuan nebis in idem tidaklah berlaku atas suatu gugatan re-litigasi dikarenakan ketentuan dalam Pasal 436 ayat (2) Rv memberikan kewenangan bagi hakim untuk memeriksa dan memutus kembali suatu perkara yang sebelumnya telah diputuskan oleh pengadilan asing.

Kedudukan Putusan Pengadilan Asing Dalam Hukum Pembuktian

Suatu putusan pengadilan asing yang telah berkekuatan hukum tetap merupakan akta autentik atau bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1917 jo. Pasal 1870 KUHPerdata. Ketentuan tersebut juga sejalan dengan doktrin hukum Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan, Edisi kedua, Juni 2005, halaman 718, yang menjelaskan penerapan Pasal 1917 jo. Pasal 1870 KUHPerdata dalam memandang kekuatan pembuktian suatu putusan asing, selengkapnya sebagai berikut: “bahwa suatu putusan hakim asing adalah sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.”

Dengan demikian maka putusan pengadilan asing dapat digunakan sebagai dasar yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna untuk mengajukan gugatan baru atau re-litigasi di pengadilan di Indonesia dengan menjadikan putusan pengadilan asing tersebut sebagai bukti autentik atas peristiwa yang termuat di dalam putusan pengadilan asing sepanjang menurut hukum Indonesia apa yang termuat dalam putusan pengadilan asing tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

Tata Cara Pengajuan Gugatan Re-litigasi

Gugatan Re-litigasi diajukan di Pengadilan Negeri di wilayah domisili hukum pihak tergugat, dengan menjadikan putusan pengadilan asing sebagai dasar pengajuan gugatannya, dan dengan lebih dahulu menguraikan atau memberikan penjelasan umum tentang duduk perkara dan permasalahan yang menjadi sengketa serta memuat petitum yang meminta agar pengadilan negeri yang bersangkutan menjatuhkan hukuman kepada tergugat yang telah terbukti melakukan wanprestasi untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan amar putusan pengadilan asing sebagai bukti autentik adanya wanprestasi dan kewajiban yang belum diselesaikan oleh tergugat.

Perlu diperhatikan dikarenakan Indonesia tidak memiliki perjanjian internasional dengan negara manapun terkait pelaksanaan dan pengakuan putusan pengadilan asing, maka petitum pada gugatan re-litigasi yang dimintakan tidak dapat meminta agar Pengadilan Indonesia memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan pengadilan asing. Melainkan petitum harus dibuat agar pengadilan di Indonesia memutuskan kembali peristiwa sebagaimana telah diuraikan dalam gugatan re-litigasi dengan menggunakan putusan pengadilan asing sebagai bukti autentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

Setelah adanya amar putusan dari pengadilan di Indonesia yang menghukum pihak tergugat untuk melaksanakan hal tertentu, maka atas pemenuhan kewajiban tersebut dapat dimintakan upaya paksa sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Perdata Indonesia termasuk meminta bantuan pengadilan untuk melakukan sita eksekusi apabila tergugat tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.

Ketidakpastian Hukum

Minimnya ketentuan yang mengatur mengenai pelaksanaan putusan pengadilan asing melalui gugatan re-litigasi yang hanya diatur dalam Pasal 436 Rv menyebabkan adanya ketidakpastian hukum bagi para pelaku usaha untuk memperjuangkan haknya. Terlebih lagi, pilihan hukum dan forum penyelesaian sengketa tersebut sebelumnya telah disetujui dan disepakati oleh kedua pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam praktiknya diperlukan suatu pedoman bagi praktisi untuk mengajukan gugatan re-litigasi termasuk pedoman bagi para hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara re-litigasi yang sebelumnya telah diputus oleh pengadilan asing.

*)Ryano Rahadian, S.H. & Maria Ulfa, S.H., keduanya advokat di Jakarta.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait