Pembatasan Kebebasan Berpendapat melalui Hak untuk Tersinggung-Menyinggung
Kolom

Pembatasan Kebebasan Berpendapat melalui Hak untuk Tersinggung-Menyinggung

Apakah sebegitu penting bagi individu atau kelompok masyarakat tertentu untuk merespons ujaran atau tulisan, terutama dengan rasa tersinggung dan marah?

Bacaan 6 Menit

Pembatasan yang muncul dalam kehidupan nyata

Namun yang lebih penting dan ini yang acap luput dari perhatian adalah pembatasan atau tepatnya pemberangusan-peniadaan terhadap kebebasan menyatakan pendapat (sebagai warga negara) ataupun kebebasan mimbar dan akademik (sebagai peneliti atau pengajar yang mengemban tridharma perguruan tinggi) ternyata muncul dari habitus masyarakat. 

Dapat kita cermati kebangkitan kembali politik identitas. Fenomena globalisasi tidak serta merta membuat manusia dari segala bangsa dan agama/kepercayaan merasa menjadi satu bagian dari umat manusia. Sebaliknya, yang terjadi adalah perbedaan ras-suku-agama-keyakinan, bahkan posisi-jabatan sosial-politik-profesi-gelar akademik, menjadi sangat penting dalam pengidentifikasian diri di tengah dunia yang begitu cepat berubah. Seiring dengan itu, adalah keyakinan bahwa mereka yang lain (berbeda) adalah ancaman. 

Pada saat sama, perkembangan sosial media digital memerdekakan individu, dan masyarakat dari siapapun (negara-pers atau perusahaan telekomunikasi) yang dahulu mampu menguasai arus informasi dan menentukan secara sepihak apa yang perlu-tidak perlu diketahui masyarakat.

Kebebasan dan anonimitas ketika mengekspresikan pandangan di dunia digital lagipula berbanding terbalik dengan keterkungkungan yang masih dirasakan di dunia nyata. Di dunia nyata (non-digital) percakapan masih dituntut dilakukan dengan santun dan cara bertutur-bersikap disesuaikan dengan status sosial ekonomi.

Dalam dunia yang serba anonim dan cenderung egalitarian, pengguna sosial media, bebas dan liar mengekspresikan dirinya, terlepas dari kungkungan kendali norma-etik yang menuntut sopan santun, unggah ungguh dan kepekaan tinggi justru terhadap apa yang tidak terkatakan. Kebebasan berekspresi bermetamorfosa menjadi hak di dunia virtual untuk menghina, merendahkan, melecehkan atau memberi komentar cepat tanpa empati.

Kombinasi dari itu semua (mungkin) memunculkan sekaligus kepekaan luar biasa terhadap pandangan-pendapat atau sekadar komentar lepas yang muncul atau dimunculkan secara liar tidak terkendali di media sosial elektronik. Dengan kata lain, penikmatan kebebasan berekspresi di dunia digital –mungkin juga dapat dimaknai sebagai the right to offend- sekaligus meningkatkan kepekaan, kemampuan dan kesiapan individu dan kelompok masyarakat untuk tersinggung dan segera bergerak membela diri terhadap suara kritis atau kecaman, ataupun sekadar pandangan-pendapat yang disampaikan dengan cara-cara yang kurang berkenan atau yang secara subyektif – terlepas dari motivasi penutur atau konteks kata-kalimat terucap - dirasakan menyinggung.

Apa yang dirasakan (emosi sesaat) – perasaan tersinggung-terhina- kemudian dikukuhkan sebagai fakta tidak terbantahkan bahwa yang bersangkutan telah dipermalukan. Perasaan dipermalukan yang diobjektivasi selanjutnya dimaknai sebagai ketidakadilan.

Tags:

Berita Terkait