Pembatasan Kebebasan Berpendapat melalui Hak untuk Tersinggung-Menyinggung
Kolom

Pembatasan Kebebasan Berpendapat melalui Hak untuk Tersinggung-Menyinggung

Apakah sebegitu penting bagi individu atau kelompok masyarakat tertentu untuk merespons ujaran atau tulisan, terutama dengan rasa tersinggung dan marah?

Bacaan 6 Menit

Dalam konteks penggambaran di atas, dapat dipahami mengapa orang yang tertangkap tangan korupsi masih dengan penuh keyakinan mengatakan tudingan dirinya korup dan keluarganya turut menikmati adalah political framing, pembunuhan karakter, fitnah, penghinaan sekaligus pencemaran nama baik.

Lantas berdasarkan apa yang dirasakan menggunakan peluang yang dibuka sistem peradilan pidana untuk menghukum dan membalas keras. Bahkan juga pejabat negara yang karena kedudukan dan kewenangannya secara otomatis, terpapar pada kritik-kecaman, beralasan ataupun tidak, bisa menunjukkan kemampuan tersinggung yang sangat tinggi. Mereka semua itu, pada prinsipnya, mewujudkan hak untuk tersinggung (the right to be offended) dan menuntut bantuan dan dukungan negara untuk membalas.

Apa akibat pemenuhan the right to offend and to be offended dalam masyarakat? Dalam keseluruhan proses yang digambarkan di atas, unsur terpenting dalam semua rumusan pidana yang disebut di awal, yaitu kesengajaan (niat dan kehendak) pelaku untuk melakukan perbuatan yang dilarang, tergeser bahkan hilang.

Apa yang menjadi titik tolak untuk menyatakan dakwaan terbukti –di hadapan polisi dan sistem peradilan pidana Indonesia- adalah fakta adanya orang atau kelompok orang yang “merasa” tersinggung-terhina-tercemar nama baiknya – atau dipermalukan. Lebih jauh lagi, seperti yang terjadi di Indonesia, sistem hukum pidana, termasuk pasal-pasal tersebut di dalam KUHP dan UU ITE, digunakan –dan dibaca-dipahami- bukan lagi untuk menjaga keadaban komunikasi, namun untuk mengekspresikan dan menyalurkan kemarahan dan kehendak menghukum orang yang ujaran atau tulisannya mempermalukan atau membuatnya kehilangan muka atau dalam konteks politik identitas, mengancam gambaran diri ideal.

Apa dampak yang dapat kita amati dalam praktik hukum Indonesia? De facto, penjaga gerbang dalam sistem peradilan pidana Indonesia, Kepolisian (yanmas dan reskrim), menghadapi limpahan laporan-aduan dari pelapor yang “merasa” dipermalukan oleh ucapan-ujaran-tulisan (di sosial media terbuka-tertutup atau terbuka bahkan juga karya-karya akademis). Dalam hal terlapor juga memutuskan untuk merasa terhina dan melaporkan, maka polisi seolah dipaksa menjadi penengah.

Pada saat sama, seringkali proses pelaporan ini dibarengi dengan mobilisasi massa. Kelompok masyarakat, dengan motivasi apapun, berunjuk rasa (damai ataupun tidak) dan acapkali menuntut permohonan maaf terbuka dari siapapun yang diyakini menghina-mencemarkan nama baik atau memfitnah, dan terakhir, menuntut pelaku, untuk mengundurkan diri.

Pertanyaan di sini adalah apakah sebegitu penting bagi individu atau kelompok masyarakat tertentu untuk merespons ujaran atau tulisan (yang bisa jadi disalahartikan atau dimaknai terlepas dari konteks), terutama dengan rasa tersinggung dan marah?

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait