Pembentuk UU Akui Ketidaksempurnaan Produk KUHP Baru
Utama

Pembentuk UU Akui Ketidaksempurnaan Produk KUHP Baru

Tim Kementerian Hukum dan HAM bersama-sama tim DPR RI akan melakukan sosialisasi ke aparatur penegak hukum, masyarakat, sampai dengan kampus-kampus untuk menjelaskan konsep filosofi dan aspek lainnya dari KUHP baru. Selanjutnya, mempersilakan masyarakat untuk mengajukan uji materi ke MK.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Menkumham Yasonna H. Laoly dan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto dalam Konferensi Pers di Gedung Nusantara usai pengesahan RUU KUHP menjadi UU, Selasa (6/12/2022). Foto: FKF
Menkumham Yasonna H. Laoly dan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto dalam Konferensi Pers di Gedung Nusantara usai pengesahan RUU KUHP menjadi UU, Selasa (6/12/2022). Foto: FKF

DPR bersama Pemerintah telah resmi memberi persetujuan atas RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi UU. Jelas, hal ini mencetak sejarah dalam reformasi hukum pidana di Indonesia. Namun demikian, masih terdapat beberapa pasal yang disoroti sejumlah elemen masyarakat. Sebut saja seperti aturan hukum yang hidup di masyarakat, penyerangan harkat martabat presiden dan wakil presiden, tindak pidana kesusilaan, contempt of court, hingga tindak pidana khusus.

“Kami tidak pernah mengatakan ini pekerjaan sempurna, karena ini adalah produk dari manusia. Kalau ada yang memang merasa sangat mengganggu, kami persilahkan kawan-kawan menempuh jalur hukum dan tidak perlu berdemo. Kita berkeinginan baik, dikau juga berkeinginan baik,” ujar Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto dalam Konferensi Pers di Gedung Nusantara usai pengesahan RUU KUHP menjadi UU, Selasa (6/12/2022).

Sebagai kitab yang akan menjadi pijakan dalam penegakan hukum, ia mempersilahkan pihak-pihak yang masih belum sepakat dengan pasal-pasal KUHP baru ini untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Melihat sebuah bangsa bisa kita lihat dari Kitab UU Hukum Pidananya, itu kira-kira peradabannya ada di sana. Oleh karena itu, silahkan dicermati, dikritisi,” kata dia.

Baca Juga:

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly turut mengamini bahwa ‘tak ada gading yang tak retak’ dalam hal produk hukum yang hanya sebatas ciptaan manusia. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang sangat multikultur dan multietnis. Tentunya memerlukan akomodasi yang luas, namun ia mengaku tidak mungkin mengakomodasi menyeluruh aspirasi masyarakat hingga 100 persen.

“Tetapi perlu saya catat bahwa pemerintah tidak berkeinginan untuk membungkam kritik. Penyerangan harkat dan martabat tidak berarti kritik, (keduanya adalah) sesuatu yang berbeda. Mohon dibaca. Ketentuan lain yang menjadi perhatian tentang lembaga negara, sudah dibuat catatannya, dibuat penjelasannya. Kritik Dewan Pers, sudah dibuat penjelasannya untuk tidak digunakan secara sewenang-wenang oleh penegak hukum. Semua masukan masyarakat kami terima dengan baik,” ungkap Yasonna.

Ia melanjutkan disahkannya RUU KUHP menjadi UU merupakan suatu keputusan yang harus diambil dalam rapat paripurna. Mengingat tentunya Indonesia sebagai bangsa tidak lagi mau menggunakan produk kolonial Belanda terlalu lama. Terlebih, hukum pidana itu diberlakukan merupakan refleksi dari peradaban suatu bangsa.

Tags:

Berita Terkait