Pembentukan Kodam untuk 38 Provinsi Bertentangan dengan Reformasi TNI
Terbaru

Pembentukan Kodam untuk 38 Provinsi Bertentangan dengan Reformasi TNI

Wacana Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk melakukan pembentukan Kodam baru di 38 provinsi perlu untuk dipertanyakan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Diskusi bertema Kodam Baru Untuk Siapa?, Rabu (29/03/2023) kemarin. Foto: Istimewa
Diskusi bertema Kodam Baru Untuk Siapa?, Rabu (29/03/2023) kemarin. Foto: Istimewa

Pemerintah, melalui Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, menyetujui rencana pembentukan Kodam di 38 provinsi. Pembentukan itu sebagaimana usulan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurrachman yang telah disetujui Panglima TNI Laksamana Yudo Margono. Kalangan masyarakat sipil menyoroti rencana tersebut.

Direktur imparsial Gufron Mabruri, mengatakan tak sedikit pihak yang menolak pembangunan Kodam baru, termasuk masyarakat Papua. Gufron menjelaskan penolakan masyarakat bukan tanpa alasan, tapi didasari beberapa aspek seperti sejarah, politik, dan pertahanan. Pengalaman politik militer di tahun 1998 mengharuskan adanya restrukturisasi komando teritorial Angkatan Darat. Reformasi institusi TNI tidak dapat dikatakan selesai sepanjang restrukturisasi komando teritorial belum berjalan.

Rencana pembentukan Kodam ini menurut Gufron menunjukkan adanya persoalan terkait dinamika hubungan antara sipil dan militer sejak tahun 1998. Sipil merasa inferior ketika berhadapan dengan militer, atau karena ada kepentingan politik pragmatis para politisi sipil sehingga keinginan militer diakomodasi dalam kebijakan pemerintah.

Menurut Gufron, rencana pembentukan Kodam untuk 38 provinsi bertentangan dengan agenda reformasi TNI 1998 yang mengharuskan dilakukannya restrukturisaasi komando teritorial. “Komando teritorial dinilai kental muatan politik ketimbang kebutuhan untuk penguatan pertahanan negara dan sarat dengan kepentingan ekonomi-bisnis,” kata Gufron dalam diskusi bertema Kodam Baru Untuk Siapa?, Rabu (29/03/2023) kemarin.

Berkaitan dengan Papua, Gufron melihat ada paradigma aspek keamanan yang belum berubah, di mana penanganan keamanan di Papua lebih menekankan pendekatan kekuatan. Paradigma ini melihat keamanan sebagai akumulasi kekuatan, sehingga semakin besar kekuatan yang diakumulasikan, maka suatu wilayah dirasa akan semakin aman.

Pendekatan kekuatan itu berdampak pada penguatan postur komponen militer. Padahal menurut Gufron realitasnya tidak seperti itu, khususnya di Papua. Bukan keamanan yang dirasakan masyarakat Papua, melainkan ketidakamanan yang kian berlarut. Peningkatan postur TNI di Papua dengan pembentukan satuan tempur baru, justru malah menambah persoalan ketidakamanan masyarakat Papua.

Gufron mengimbau kalangan masyarakat sipil aktif merespon rencana pembentukan Kodam di 38 provinsi itu dalam konteks reformasi militer. Dia mengingatkan agar jangan sampai pembentukan Kodam dianggap sebagai sesuatu yang normal. Padahal sesuatu bermasalah dan dalam banyak hal mengganggu dinamika politik, demokrasi, HAM, dan lainnya.

Peneliti dan pengamat pertahanan BRIN Diandra Megaputri Mengko, mengatakan restrukturisasi militer memang dibutuhkan, di mana beberapa komponen militer seharusnya dikurangi, dan hanya diperkuat di wilayah tertentu saja yang sarat akan ancaman eksternal. Wacana Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk melakukan pembentukan Kodam baru di 38 provinsi perlu untuk dipertanyakan.

Menurut Diandra, Kemhan menilai TNI membutuhkan kolaborasi dengan pemerintah daerah. Hal itu bertentangan dengan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur komponen militer merupakan alat pertahanan negara, bukan alat pertahanan daerah. TNI merupakan suatu institusi berskala nasional, sehingga apabila TNI terpencar dan tidak terpusat akan melahirkan berbagai persoalan baru.

“Untuk melakukan restrukturisasi TNI, dibutuhkan kajian mengenai pandangan dinamika ancaman, agar TNI dapat berfokus pada tugas pokok dan fungsi yang sesuai dengan keahliannya,” usulnya.

Evaluasi rencana

Diandra menjelaskan, tidak ada postur ideal dari suatu komponen militer. Tapi setidaknya, ada 2 hal yang dapat dijadikan indikator dalam agenda perluasan komando teritorial. Pertama, menilai aspek ancaman militer. Kedua, mempertimbangkan wacana penataan komponen militer dengan memperhatikan aspek hubungan antara sipil dan militer.

Diandra melihat ada kekhawatiran rencana ini tidak berdampak pada pertahanan. Wacana pembentukan kodam baru ini dapat dipahami dari logika politik, tidak dari logika pertahanan. Sehingga dibutuhkan adanya dorongan publik untuk mengevaluasi rencana ini. “Selain itu, otoritas sipil juga perlu bertindak membaca ancaman sebagai bagian dari kontrol sipil untuk dijadikan masukan kepada pemerintah dan TNI,” imbuhnya.

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, mencatat dari segi penempatan aparat TNI di Papua tidak hanya terdiri dari aparat organik, tapi turut mencakup penempatan pasukan non-organik yang dilakukan hampir setiap bulan dengan jumlah mencapai ribuan. Riset YLBHI menemukan fakta bahwa terdapat kesamaan data antara penempatan pasukan dan pos-pos baru dengan wilayah pertambangan dan bisnis.

“Ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan besar, apakah penempatan pasukan ini merupakan bagian dari konflik agraria, konflik tambang, dan berbagai konflik lain yang terus membara di Papua?” urai Isnur.

Isnur juga menyoroti berbagai konflik berkepanjangan yang tidak sanggup untuk diselesaikan atau memang tidak mau diselesaikan. Hal tersebut berkorelasi dengan berbagai kasus besar yang menimpa masyarakat sipil, di mana aparat keamanan merupakan aktor kunci yang berada di belakangnya. Selain itu, banyak aparat di lapangan yang melakukan ‘insubordinasi’ dengan tugas-tugas di luar wilayah tugasnya yang telah ditentukan.

“Kondisi penempatan aparat militer di Papua sejauh ini telah banyak menimbulkan kerusakan dan ketegangan konflik. Sehingga penambahan Kodam justru akan semakin memperkeruh suasana,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait