Pemblokiran Aplikasi Medsos, Pemerintah Diminta Taati Aturan Main
Berita

Pemblokiran Aplikasi Medsos, Pemerintah Diminta Taati Aturan Main

Aturan pelaksana mesti dibuat terlebih dahulu sebelum memblokir medsos.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi risiko hukum penggunaan media sosial. BAS
Ilustrasi risiko hukum penggunaan media sosial. BAS

Ancaman pemerintahan Joko Widodo yang bakal memblokir aplikasi berbasis elektronik  semestinya terlebih dahulu membuat aturan pelaksana terkait pemblokiran sebuah aplikasi. Hal itu pula menjadi banyak sorotan dari berbagai kalangan, tak terkecuali kalangan parlemen. Pasalnya isu pemblokiran kerap menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat ketimbang penyelesaian secara tuntas.

Anggota Komisi I DPR Sukamta menilai perangkat aturan mamaksa pemblokiran medsos pun tak kunjung dibuat. Sebut saja kasus Google, Facebook dan Twitter hingga kini masih tetap dapat beroperasi kendatipun ditenggarai kerap mangkir dari kewajiban pajaknya. “Termasuk isu pemblokiran terhadap Telegram yang dianggap tidak membuat filter terhadap konten berbau radikalisme,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Senin (17/7/2017).

Padahal, UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik  (ITE) telah menjelaskan secara gamblang. Merujuk Pasal 40 ayat (2a), (2b), dan (6) tertera jelas perihal mekanisme pemerintah dalam penanganan medsos. Ayat (2a) menyebutkan, “Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Sedangkan ayat (2b) menyebutkan, “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum”. Kemudian ayat (6) menyebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (21, ayat (2a1, ayat (2b), dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah”.

Ia menilai ketiadaan aturan teknis (Peraturan Pemerintah) bakal menimbulkan persoalan. Terlebih, mekanisme cara kerja pemblokiran belum adanya pedoman secara baku. Pemblokiran dapat dilakukan sepanjang telah didahului adanya pembinaan. Sepanjang tetap ‘membandel’, maka pemblokiran menjadi jalan terakhir. Sukamta meminta pemerintah  jangan asal main blokir medsos. Sebab tindakan asal blokir dapat mengancam kehidupan demokrasi. Baca Juga: Fatwa MUI tentang Medsos Selaras dengan UU ITE

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menilai isu pemblokiran media sosial asing mestinya menjadi momentum dalam pengembangan industri teknologi industri nasional. Dengan begitu, Indonesia tidak bergantung terhadap aplikasi percakapan milik asing. Misalnya negara Tiongkok yang memiliki aturan ketat.  “Di sisi yang lain mendorong industri teknologi industri maju pesat,” lanjutnya.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan pemblokiran aplikasi media sosial Telegram  berawal dari hasil temuan Polri. Densus Anti Teroris berhasil menemukan 17 kasus terkait penggunaan aplikasi telegram. Berbeda dengan telepon, pesan pendek di telepon genggam yang dapat disadap, aplikasi telegram memang tak dapat dilakukan penyadapan.

Alhasil, para pelaku aksi teroris pun menggunakan saluran komunikasi yang aman dalam melakukan percakapan. Sepanjang dua tahun terakhir, ada 17 kasus terorisme, terakhir bom Thamrin yang diwarnai pelaku dengan pencakapan menggunakan aplikasi Telegram. Menariknya, aplikasi Telegram dapat membuat super grup hingga 10 ribu yang dapat dilakukan secara privat. Bahkan dapat masuk ke kelompok lain tanpa diketahu admin grup.

“Sehingga tidak bisa disadap di tengah, dan account bisa tersembunyi. Tidak ketahuan nomornya tapi bisa menggunakan user name,” ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi III DPR. Baca Juga: Inilah Aturan dan Etika Bermedia Sosial, “Gadgetmu Harimaumu”

Menjadi berbahaya, ketika percakapan para pelaku teroris mengajarkan merakit bom, tempat ledakan bom, hingga doktrin radikal. Nah kepolisian pun telah meminta Kemenkominfo agar memberikan akses ke Polri. Sebab hal tersebut berkaitan dengan keamanan negara. Namun begitu, Polri tak ingin menutup Telegram.

“Nah yang kita minta kepada Telegram bukan ditutup sebenarnya, tolong kami diberi akses kalau sudah menyangkut urusan terorisme, keamanan negara, kami diberi akses untuk tahu siapa  itu yang memerintahkan untuk ngebom, siapa itu yang menyebarkan paham radikal. Jadi kita hanya minta diberi akses untuk penanganan terorisme. Tetapi nggak dilayani, ditanggapi,” keluhnya.

Menurutnya bila pihak Telegram tetap kekeuh tak memberikan akses, maka pemerintah akan menutupnya. Namun, akhirnya pihak Telegram pun melunak. Pasalnya Telegram menjadi profit oriented sebagai perusahaan dan pasar besar lantaran penggunanya berjumlah jutaan. Kabar terakhir, kata Tito, pihak Telegram telah membangun komunikasi dengan Kemenkominfo.

“Kalau mau dibuka lagi fine, tapi kita boleh diberikan akses kalau sudah ada data kaitannya dengan terorisme, radikal, dan yang mengajari cara membuat bom, siapa mereka itu? Kalau mereka sudah deal dengan kita, Menkominfo, saya pikir fine,” katanya.
Tags:

Berita Terkait