Pemerintah Bantah Lemahkan KPK dengan RKUHAP dan RKUHP
Berita

Pemerintah Bantah Lemahkan KPK dengan RKUHAP dan RKUHP

Karena sudah dibahas puluhan tahun sebelum KPK berdiri.

RFQ/ANT
Bacaan 2 Menit
Muladi diapit Andi Hamzah dan Amir Syamsuddin. Foto : SGP
Muladi diapit Andi Hamzah dan Amir Syamsuddin. Foto : SGP

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menyatakan tak ada niat pemerintah melemahkan kewenangan KPK dengan RKUHAP dan RKUHP. Pernyataan itu dia sampaikan dalam rapat kerja antara pemerintah dengan Komisi III. Agenda rapat adalah penyerahan Daftar Invetarisir Masalah (DIM) Senin (7/10).

Amir menyatakan, pembahasan draf revisi KUHAP dan KUHP sudah berjalan puluhan tahun. Termasuk usulan kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan (hakim komisaris) sudah masuk jauh-jauh hari dalam penyusunan draf RKUHAP oleh tim perumus. Jadi, tidak ada niat pemerintah sekarang ini melemahkan satu lembaga penegak hukum.

“Seakan-akan tujuan disahkannya RUU ini untuk melumpuhkan lembaga hukum tertentu. Padahal sama sekali tidak,” ujarnya.

Ketua tim perumus RKUHP Muladi juga membenarkan pernyataan Amirterkait penyusunan RKUHAP dan RKUHP yang telah disusun sejak 30 tahun lalu. Ia menegaskan RKUHAP dan RKUHP merupakan karya monumentaluntuk menghapus KUHAP dan KUHP yang berlaku saat ini sebagai warisan kolonial. “Mengenai masalah RUU ini akan menggembosi pentil KPK, itu tidak benar,” tegasnya.

Muladi menegaskan, RKUHAP dan RKUHP disusun untuk mengintegrasikan penegakan hukum, baik dari segi hukum formil dan materil. “Semua lembaga yang menyangkut penyidikan tetap berjalan, bahkan diintegrasikan,” ujarnya.

Publik memang mengkhawatirkan pengaturan mengenai kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan dalam RKUHAP. Yaitu memberikan kewenangan luar biasa untuk menentukan lanjut atau tidaknya penuntutan, penyitaan, dan penyadapan dalam suatu sistem pidana, termasuk kasus korupsi.

Akan kekhawatiran itu, Ketua Tim Perumus RKUHAP Andi Hamzah menyatakan ketentuan penyadapan memang perlu diaturguna menghindari penggunaan secara sewenang-wenang. Meskipun dalam pemberantasan korupsi perlu digunakan upaya penegakan hukum secara luar biasa, termasuk penyadapan.

Anggota tim perumus RKUHAP Teuku Nasrullah meyakinkan tak ada niatan tim penyusun menghapus kewenangan KPK. Dia menyatakan penyusunan RKUHAP dan RKUHP dilakukan secara ilmiah. Termasuk melakukan studi banding ke berbagai negara

Anggota Komisi III Ahmad Yani menyatakan DPR kerap dituding masyarakat berupaya menggembosi kewenangan KPK. Terutama kala DPR melontarkan ide untuk merevisi UU KPK karena beberapa pasal dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Niat DPR untuk memperbaiki justru dinilai masyarakat untuk menggembosi kewenangan KPK. Semisal, penyadapan diharuskan meminta izin ketua pengadilan negeri setempat. Rencana ini dinilai publik membatasi KPK dalam membongkar kasus korupsi. Karena begitu kuat penolakan dari masyarakat, rencana untuk revisi pun dibatalkan.

Tapi, publik kembali menduga DPR memasukkan rencana sama dalam RKUHAP. Padahal, lanjut Yani, RKUHAP maupun RKUHP adalah usulan pemerintah. Karena itu, dia meminta pemerintah menjelaskan pada publik, DPR tidak mencoba memasukkan pasal-pasal yang dipermasalahkan publik dalam RKUHAP dan RKUHP.

Korupsi Bukan Pidana Biasa
Kejahatan korupsi di Indonesia belum saatnya dimasukkan ke dalam RKUHP, karena akan menjadi kejahatan biasa, kata pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada Eddy OS Hiarej.

"Dengan situasi darurat korupsi seperti saat ini apakah hanya menjadikannya sebagai kejahatan biasa. Mungkin seratus tahun lagi baru boleh, kalau situasi penegakan hukum di Indonesia sudah sesuai rel-nya," kata Eddy di Yogyakarta, Rabu (9/10).

Menurut dia, apabila kejahatan korupsi masuk ke RKUHP, maka kejahatan korupsi tidak lagi tergolong kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Tapi, menjadi sama dengan kejahatan biasa lainnya yang diatur KUHP.

"Logikanya nanti kalau masuk KUHP, kejahatan korupsi akan setara dengan orang mencuri ayam," katanya.

Dengan dimasukkannya kejahatan korupsi ke dalam KUHP, kata Eddy, akan mengancam eksistensi KPK. Karena keberadaan lembaga ini cenderung tidak lagi diperlukan.

Hal itu, menurut dia, karena kejahatan korupsi yang sesuai "rule of law" yang sebelumnya masuk ke pidana khusus, akan menjadi pidana umum. Sehingga, penegakan hukumnya cukup hanya bersandar pada KUHAP. "Kalau misalnya, akhirnya penegakan hukumnya bersandar ke KUHAP, maka KPK dibubarkan saja," katanya.

Di sisi lain, menurut Edy, justru saat ini International Law Commission (ILC) sedang membahas kemungkinan korupsi menjadi kejahatan pidana internasional, karena telah dianggap merusak berbagai aspek kehidupan. ILC menyebutkan kejahatan korupsi dianggap telah merusak tujuh aspek utama kehidupan, yakni merusak pasar, demokrasi, aturan hukum, pembangunan berkelanjutan, kualitas hidup, serta hak asasi manusia.

"Pelanggaran seluruh aspek tersebut menurut saya telah sesuai dengan kondisi di Indonesia. Sehingga, justru cocok apabila dimasukkan kedalam kejahatan internasional," katanya.

Tags:

Berita Terkait