Pemerintah Diminta Pertimbangkan Investasi Berbasis Green Pasca Pandemi
Berita

Pemerintah Diminta Pertimbangkan Investasi Berbasis Green Pasca Pandemi

Dibutuhkan kebijakan investasi yang mendukung isu green dan social protect.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

Para investor tersebut, lanjutnya, mulai mempertimbangkan apakah sebuah investasi layak didanai jika melanggar aturan lingkungan dan melanggar hak-hak sosial.

“Awal Januari tahun ini, ada banyak isu di diskusikan, hampir semua fund besar memasukkan isu dari green dan isu dari social protection, hak-hak orang dalam keputusan investment. Misalnya mereka mulai lihat apakah sebuah investment layak dibiayai kalau melanggar lingkungan. Fund itu mengarah ke green, tidak mau membiayai proyek kearah yang membahayakan environment. Kalau sumber biaya untuk environment lebih mahal, orang akan beralih ke suistanable development,” tegasnya.

Di Indonesia, lanjutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan persoalan ini. Chatib menyebut untuk menerapkan kebijakan investasi berbasis green butuh proses transisi dan peran dari government intervension atau threatment. Misalnya dengan cara mencabut subsidi BBM yang bersumber dari fosil fuel yang kemudian dana subsidi bisa digunakan untuk sektor-sektor yang mendukung isu green.

Fosil fuel itu tidak bisa terus di subsidi, mungkin saat harga minyak rendah pemerintah bisa  melepas subsisi dan uang bisa digunakan untuk sektor-sektor green. Misalnya mobil listrik. Kalah harga mobil listrik mahal, orang tidak bisa beli. Subsidi bisa diarahkan ke sana,” tegas mantan Kepala BKPM ini.

Sementara itu Deputi Penanganan Iklim Penanaman Modal BKPM, Yuliot menyebut bahwa realisasi investasi di masa pandemi mencapai 74 persen dari target. Dan nilai lebihnya, investasi terdistribusikan ke luar pulau Jawa.

Diakui Yuliot situasi pandemi memberikan mempengaruhi realiasi investasi karena adanya keterbatasan mobilisasi orang baik di dalam negeri maupun dari luar negeri. Hal ini juga kemudian menjadi penghambat realiasi investasi.

Pasalnya, untuk merealiasikan investasi, manajemen perusahaan baik itu direksi atau komisaris harus berada di Indonesia karena adanya pembatasan mobilisasi manusia. Situasi ini sekaligus menjadi penyebab utama perlambatan komitmen investasi.

Tags:

Berita Terkait