Pemerintah Diminta Pertimbangkan Investasi Berbasis Green Pasca Pandemi
Berita

Pemerintah Diminta Pertimbangkan Investasi Berbasis Green Pasca Pandemi

Dibutuhkan kebijakan investasi yang mendukung isu green dan social protect.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Nyaris satu tahun sejak virus Corona ditemukan di China, seluruh negara di dunia masih disibukkan dengan penemuan dan pengadaan vaksin Covid-19. Pemulihan ekonomi dunia termasuk Indonesia, sangat bergantung kepada vaksin Covid-19. Sementara di Indonesia, vaksin Covid-19 akan mulai didistribusikan pada tahun 2021 mendatang.

Sejalan dengan keberadaan vaksin, pemulihan ekonomi Indonesia pun diprediksi akan dimulai pada 2021 mendatang. Pun demikian, sektor investasi disebut tidak akan mengalami kenaikan tajam pada tahun depan. Investasi akan kembali membaik setelah Indonesia melewati fase survival dan recovery, tepatnya pada tahun 2022.

Demikiaan pandangan dari Ekonom, Chatib Basri dalam sebuah webinar, Senin (9/11). “Kalau vaksin baru ada di tahun 2021, saya tidak yakin investasi swasta sudah naik tajam di 2021. Protokol masih inplace, setelah proses recovery mungkin itu adalah periode setelah ekonomi normal, perhitungan sederahana (ekonomi) akan mulai normal 2022, baru bisa bicara ekspansi investasi swasta dan lain-lain,” katanya.

Menurut Chatib, terdapat tiga periode pemulihan ekonomi pasca Covid-19. Pertama, periode survival, di mana setiap negara berada pada titik terendah ekonomi dan berupaya untuk tetap bertahan dalam situasi pandemi. Saat ini, Indonesia berada pada periode survival. (Baca Juga: Mau Beri Masukan Soal Aturan Turunan UU Cipta Kerja? Silakan Cek Portal ini)

Kedua, periode recovery. Recovery ekonomi baru akan berjalan setelah vaksin Covid-19 didistribusikan. Periode ini akan berjalan di tahun 2021 mendatang. Dan ketiga, periode normal, dimana pertumbuhan Covid-19 bisa ditekan dan aktivitas ekonomi kembali normal. Kondisi normal ini diprediksi akan tercapai di tahun 2022.

“Recovery hanya bisa dilakukan kalau pandemi bisa diatasi, kalau tidak bisa beraktivitas, ataupun aktivitas terbatas tidak mungkin investasi, investasi itu mungkin akan terjadi kalau pandemi teratasi,” imbuhnya.

Menjelang ekonomi Indonesia pulih pada 2022 mendatang, Chatib memberikan masukan terkait isu green investment dan social protection dalam keputusan investor untuk berinvestasi. Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) ini menyebut bahwa hampir semua fund besar memasukkan dua isu ini sebagai pertimbangan untuk menenamkan investasi.

Para investor tersebut, lanjutnya, mulai mempertimbangkan apakah sebuah investasi layak didanai jika melanggar aturan lingkungan dan melanggar hak-hak sosial.

“Awal Januari tahun ini, ada banyak isu di diskusikan, hampir semua fund besar memasukkan isu dari green dan isu dari social protection, hak-hak orang dalam keputusan investment. Misalnya mereka mulai lihat apakah sebuah investment layak dibiayai kalau melanggar lingkungan. Fund itu mengarah ke green, tidak mau membiayai proyek kearah yang membahayakan environment. Kalau sumber biaya untuk environment lebih mahal, orang akan beralih ke suistanable development,” tegasnya.

Di Indonesia, lanjutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan persoalan ini. Chatib menyebut untuk menerapkan kebijakan investasi berbasis green butuh proses transisi dan peran dari government intervension atau threatment. Misalnya dengan cara mencabut subsidi BBM yang bersumber dari fosil fuel yang kemudian dana subsidi bisa digunakan untuk sektor-sektor yang mendukung isu green.

Fosil fuel itu tidak bisa terus di subsidi, mungkin saat harga minyak rendah pemerintah bisa  melepas subsisi dan uang bisa digunakan untuk sektor-sektor green. Misalnya mobil listrik. Kalah harga mobil listrik mahal, orang tidak bisa beli. Subsidi bisa diarahkan ke sana,” tegas mantan Kepala BKPM ini.

Sementara itu Deputi Penanganan Iklim Penanaman Modal BKPM, Yuliot menyebut bahwa realisasi investasi di masa pandemi mencapai 74 persen dari target. Dan nilai lebihnya, investasi terdistribusikan ke luar pulau Jawa.

Diakui Yuliot situasi pandemi memberikan mempengaruhi realiasi investasi karena adanya keterbatasan mobilisasi orang baik di dalam negeri maupun dari luar negeri. Hal ini juga kemudian menjadi penghambat realiasi investasi.

Pasalnya, untuk merealiasikan investasi, manajemen perusahaan baik itu direksi atau komisaris harus berada di Indonesia karena adanya pembatasan mobilisasi manusia. Situasi ini sekaligus menjadi penyebab utama perlambatan komitmen investasi.

“Komitmen investasi tetap akan dilaksanakan oleh pelaku usaha, baik itu PMA dan PMDN. Tapi dengan pendemi ada keterbatasan, di mana pada awal pandemi pelaku usaha dari luar baik manajemen perusahaan apakah itu direksi komisaris perusahaan tidak bsa masuk ke Indonesia, untuk pelaksanaan investasi apabila manajemen perusahaan tidak bisa masuk ke Indonesia maka komitmen investasi akan terlambat,” jelasnya pada acara yang sama.

Untuk mengatasi hal tersebut, BKPM melakukan beberapa terobosan, seperti memberikan rekomendasi bagi perusahaan investasi tersebut untuk bisa masuk ke Indonesia guna merealisasikan komitmen investasi. Sejauh ini ada 6758 perusahaan yang menjalankan komitmen investasi, plus 11 ribu tenaga kerja asing, dan membuka lapangan kerja untuk tenaga kerja dalam negeri sebanyak 3 juta.

“Terhadap proyek mangkak, ada potensi Rp308 triliun, Rp400 triliun lebih sudah bisa di eksekusi, hambatan bisa diselesaikan dan fasilitasi dengan kementerian/lembaga. Investasi terhambat bisa diselesaikan, dan pergerakan kominten selalu dipantau,” ungkapnya.

Di sisi lain, Yuliot juga mengakui bahwa salah satu persoalan utama terkait investasi adalah tingginya nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di Indonesia. ICOR merupakan rasio antara investasi di tahun yang lalu dengan pertumbuhan output regional (PDRB). ICOR bisa menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. Semakin tinggi nilai ICOR semakin tidak efisien suatu negara untuk investasi.

Saat ini nilai ICOR Indonesia berada pada angka 6,8 persen. ICOR Indonesia sempat menyentuh angka 9,6 persen pasca krisis moneter 1998, lalu mengalami penurunan sampai angka 5,4 persen dan kembali meningkat ke angka 6,8 persen. Target pemerintah adalahh menurunkan angka ICOR dibawah 4 persen.

“Targetnya ICOR dibawah 4 persen. ICOR Indonesia kurang bagus, dengan adanya implementasi UU Ciptaker, pemerintah melakukan penyederhanaan perizinan, birokrasi dan perizinan berbasis risiko. Biaya pengadaan cukup tinggi juga ada perbaikan dengan UU Ciptaker, untuk perizinan lokasi berbasiskan RDTD dan tata ruang daerah ada percepatan drari sisi perizinan lokasi,” pungkasnya.

Dapatkan artikel bernas yang disajikan secara mendalam dan komprehensif mengenai putusan pengadilan penting, problematika isu dan tren hukum ekslusif yang berdampak pada perkembangan hukum dan bisnis, tanpa gangguan iklan hanya di Premium Stories. Klik di sini.

Tags:

Berita Terkait