Pemerintah Diminta Terbitkan Terjemahan Resmi KUHP dalam Bahasa Indonesia
Utama

Pemerintah Diminta Terbitkan Terjemahan Resmi KUHP dalam Bahasa Indonesia

Penggugat juga meminta majelis memutuskan perintah penundaan untuk mengesahkan RKHUP.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Buku KUHP R Soesilo. Foto: SGP
Buku KUHP R Soesilo. Foto: SGP

Tiga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat melayangkan gugatan kepada Presiden RI (Tergugat I), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Tergugat II) dan DPR RI, Ketua DPR RI (Tergugat III) ke PN Jakarta Pusat. Alasannya, para Tergugat dianggap lalai karena tidak membuat terjemahan resmi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbahasa Indonesia.

 

Dalam ringkasan gugatannya, para Penggugat menyatakan Pemerintah bersama DPR sudah sejak sangat lama hendak memperbaharui KUHP. Ambisi itu semakin terlihat dengan target diselesaikannya pembahasan RKUHP pada Agustus 2018. Padahal, ada sejumlah persoalan/catatan dalam RKHUP yang menimbulkan protes dari masyarakat.

 

Para Penggugat yang menamakan diri sebagai Tim Advokasi KUHP Berbahasa Indonesia Resmi menemukan fakta bahwa selama ini KUHP saja tidak mempunyai terjemahan resmi. Sedangkan KUHP yang beredar selama ini diterjemahkan oleh beberapa Ahli Pidana seperti R. Soesilo, Prof Moeljatno, Prof Andi Hamzah, BPHN, dan sejumlah ahli lainnya. Baca Juga: Tim Perumus RKUHP Bantah Lemahkan Kewenangan KPK

 

“Dengan adanya perbedaan KUHP hasil terjemahan dari para pakar hukum di atas, konsekuensinya akan memiliki penafsiran yang berbeda antara satu pakar dengan pakar lainnya. Dengan demikian, bagaimana kita dapat memiliki kepastian dan keselarasan hukum, khususnya penerapan hukum pidana yang bersifat sangat materil,” kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur (Penggugat I) usai mendaftarkan gugatan di PN Jakarta Pusat, Jumat (8/5/2018).

 

Padahal, sejak disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara telah mengamanatkan kepada Para Tergugat bahwa setiap peraturan perundang-undangan wajib menggunakan bahasa Indonesia. Sementara RKUHP yang saat ini dibahas dan disusun oleh Para Tergugat juga tidak memiliki cantolan KUHP yang memiliki terjemahan resmi bahasa Indonesia yang dilegitimasi oleh Para Tergugat.

 

“Adanya fakta ini Para Penggugat menilai Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak dipatuhinya UU Nomor 24 tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,” terang Isnur.

 

Tim Advokasi telah memberikan peringatan hukum (somasi) secara tertulis melalui surat tertanggal 11 Maret 2018, namun Para Tergugat tidak merespon. Kemudian Tim Advokasi juga mengirimkan somasi/peringatan hukum terakhir secara tertulis melalui surat tertanggal 28 Maret 2018, tetapi juga tidak ada respon, hingga akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan.

 

Kedudukan hukum

M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata (hal.111-136), mengatakan yang bertindak sebagai penggugat harus orang yang benar-benar memiliki kedudukan dan kapasitas yang tepat menurut hukum. Keliru dan salah bertindak sebagai penggugat mengakibatkan gugatan mengandung cacat formil.

 

Dalam gugatan ini, para Penggugat menjelaskan kedudukan mereka yaitu sebagai badan hukum yang kerap bersentuhan dan berhubungan langsung dengan penerapan KUHP. Penerapan itu sendiri telah terjadi di dalam fase/tahap penyidikan, penuntutan hingga sidang  pengadilan. Padahal hingga saat ini KUHP masih belum memiliki terjemahan resmi bahasa Indonesia dari Para Tergugat sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 24/2009. 

 

“Atas alasan inilah Para Penggugat telah dirugikan karena aparat penegak hukum hingga saat ini tidak memiliki pemahaman dan penafsiran yang seragam mengenai KUHP. Para Penggugat menilai Para Tergugat telah lalai dengan tidak memberikan terjemahan resmi KUHP.

 

Berdasarkan hal tersebut maka Para Tergugat dianggap terbukti melakukan suatu kelalaian yang mengakibatkan Para Penggugat mengalami kerugian immaterial yakni tidak adanya kepastian hukum pidana materil dari tahap penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan persidangan.

 

Kerugian immateril yang paling nyata adalah kebingungan Para Penggugat ketika mendampingi pencari keadilan yang tengah menghadapi perkara pidana. Dampak dari kondisi tersebut adalah hak pencari keadilan untuk mendapatkan proses hukum yang adil menjadi terabaikan oleh karena kelalain Para Tergugat.

 

Petitum dalam provisi Penggugat meminta agar majelis hakim memerintahkan untuk menunda pembahasan RKUHP. Sedangkan dalam pokok perkara menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan lalai tidak membuat terjemahan resmi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbahasa Indonesia resmi.

 

Kemudian memerintahkan Para Tergugat untuk membuat Terjemahan resmi bahasa Indonesia dalam KUHP. Dan terakhir meminta kepada Para Tergugat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri untuk menyatakan permohonan maaf melalui 5 media cetak nasional selama beberapa hari berturut-turut.

Tags:

Berita Terkait