Pemerintah Diminta Terus Benahi Tata Kelola Program JKN
Berita

Pemerintah Diminta Terus Benahi Tata Kelola Program JKN

Program JKN ini harus terus berjalan karena terbukti sangat membantu masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan tanpa perlu takut memikirkan biaya.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kantor pelayanan BPJS Kesehatan. Foto: RZK
Kantor pelayanan BPJS Kesehatan. Foto: RZK

Pelaksanaan program JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Meski telah berjalan sejak 1 Januari 2014, pelaksanaan program JKN masih menghadapi banyak kendala dan tantangan. Sebagai upaya mendukung dan menjaga keberlanjutan program JKN, KPK telah menerbitkan rekomendasi kepada pihak terkait.

Lewat surat bernomor B/1625/LIT.05/01-15/03/2020 Ketua KPK Firli Bahuri melayangkan sejumlah rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo tertanggal 30 Maret 2020 itu. KPK merekomendasikan enam beberapa alternatif solusi yang diyakini dapat menutupi defisit BPJS Kesebeban yang mencapai Rp12,2 triliun pada 2018 tanpa harus menaikkan iuran.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan KPK sudah mengawal pelaksanaan JKN sejak 2014. Ada sejumlah rekomendasi yang sudah terkompilasi sejak 2014 sampai saat ini. Rekomendasi itu secara bertahap sudah berjalan dan sekarang diperlukan akselerasi.  

“Rekomendasi KPK ini 90 persen ditujukan untuk Kementerian Kesehatan karena ini terkait kewenangan untuk menerbitkan kebijakan. Kami sudah mengingatkan rekomendasi ini kepada Menteri Kesehatan, Terawan,” kata Pahala Nainggolan dalam diskusi secara daring, Kamis (18/6/2020). (Baca Juga: Tiga Kementerian Diingatkan Tindak Lanjuti Rekomendasi KPK Soal Defisit BPJS Kesehatan)        

Menteri Kesehatan periode 2014-2019 Nila Moeloek mengatakan JKN sudah berpotensi mengalami defisit sejak beroperasi 1 Januari 2014. Kendati menghadapi banyak tantangan, tapi program JKN terbukti sangat membantu masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan tanpa perlu takut memikirkan biaya.

“Kita mengetahui selama ini, apalagi sebelum JKN hadir bagaimana orang yang tidak punya asuransi dan tidak mampu ketika ingin mengakses layanan kesehatan,” ujarnya.

Nila menegaskan program JKN ini harus terus berjalan dan butuh dukungan banyak pihak. Menurutnya, pemerintah harus terus membenahi tata kelola program JKN termasuk melaksanakan rekomendasi KPK. Antara lain, menyesuaikan kelas RS sebagaimana harusnya, misalnya kelas D tidak perlu memiliki fasilitas seperti CT scan, RS tipe A harus memiliki dokter subspesialis dan lainnya. “Berbagai hal tersebut memang belum selesai dibenahi,” kata dia.

Salah satu pembenahan yang belum berhasil, menurut Nila yakni mengatur fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Tantangannya, karena FKTP sangat tergantung kebijakan pemerintah daerah. Salah satu pembenahan yang tergolong berhasil yaitu penggunaan e-catalouge yang meningkat 80 persen. “Memang pembenahan ini harus terus dilakukan secara bertahap dan konsisten,” katanya.

Seperti diketahui, dalam surat KPK kepada Presiden sebagaimana paparan yang disampaikan kepada publik, KPK merekomendasikan beberapa alternatif solusi yang diyakini dapat menutupi defisit BPJS Kesebeban yang mencapai Rp12,2 triliun pada 2018 tanpa harus menaikkan iuran.

Pertama, Kemenkes diminta mempercepat penyusunan PNPK (Pedoman Nasional Praktik Kedokteran) esensial dari target 80 jenis PNPK. Hingga Juli 2019 baru tercapai 32 PNPK. Ketiadaan PNPK akan mengakibatkan unnecessary treatment atau pengobatan yang tidak perlu. Misalnya, kasus klaim katarak 2018 dari total klaim sebesar Rp2 triliun, diestimasi unnecessary treatment maksimal Rp200 miliar. Di tahun 2018 terdapat kasus unnecessary bedah caesar dan fisioterapi.

Kedua, opsi pembatasan manfaat untuk penyakit katastropik akibat gaya hidup, seperti jantung, diabetes, kanker, stroke, dan gagal ginjal. Total klaim penyakit katastropik ini adalah sebesar 30 persen dari total klaim pada 2018 sebesar Rp94 triliun yaitu Rp28 triliun. Dengan diatur PNPK penyakit katastropik, maka potensi unnecessary treatment sebesar 5 sampai 10 persen atau sebesar Rp2,8 triliun dapat dikurangi.

Ketiga, KPK meminta pemerintah mengakselerasi skema koordinasi manfaat (Coordination of Benefit/CoB) dengan asuransi kesehatan swasta. Data Dewan Asuransi Indonesia menyatakan 1,7 persen penduduk Indonesia yang memiliki asuransi atau sekitar 4,5 juta orang atau sekitar 10 persen dari total peserta PPU (Pekerja Penerima Upah) nonpemerintah dan PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) yang berjumlah 45 juta peserta.

Total beban klaim PPU nonpemerintah dan PBPU tahun 2018 sebesar Rp34,5 triliun. Dengan asumsi besaran CoB seperti yang diterapkan di Jepang dan Korea Selatan yaitu 20-30 persen dapat mengalihkan beban klaim peserta PPU nonpemerintah dan PBPU sebesar Rp600 milar hingga R900 miliar kepada asuransi swasta. (Baca Juga: Tiga Kementerian Diingatkan Tindak Lanjuti Rekomendasi KPK Soal Defisit BPJS Kesehatan)

Keempat, KPK meminta Kemenkes mengimplementasikan co-payment 10 persen sesuai Permenkes Nomor 51 Tahun 2018. Dengan co-payment 10 persen dari total tagihan peserta mandiri sebesar Rp22 triliun di tahun 2018 akan terjadi penghematan sebesar Rp2,2 triliun. Praktik co-payment di Jepang dan Korea Selatan sebesar 20-30 persen. Jika best practice ini diterapkan, maka potensi penghematan yang didapatkan senilai Rp4-6 triliun.

Kelima, KPK mendorong pemerintah mengevaluasi penetapan kelas rumah sakit. Hasil piloting pada 2018 mendapatkan 4 dari 6 rumah sakit tidak sesuai kelas dan mengakibatkan pemborosan pembayaran klaim sebesar Rp33 miliar per tahun. Hasil tinjauan Kemenkes pada 2018, dari 7.000 rumah sakit, ditemukan 898 rumah sakit yang tidak sesuai kelas. Jika dilakukan perbaikan penetapan kelas terdapat estimasi penghematan beban jaminan BPJS Kesehatan sebesar Rp6,6 triliun.

Keenam, KPK mendorong pemerintah untuk menindaklanjuti verifikasi klaim untuk mengatasi fraud atau kecurangan di lapangan berupa administrasi atau pengembalian klaim, perdata atau pemutusan kontrak kerja sama, dan pidana.

Tags:

Berita Terkait