Pemerintah Minta Revisi UU Cipta Kerja dan UU Pembentukan Peraturan Berjalan Paralel
Utama

Pemerintah Minta Revisi UU Cipta Kerja dan UU Pembentukan Peraturan Berjalan Paralel

Sementara Baleg DPR bakal terlebih dahulu merevisi UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES

Putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat mengamanatkan perbaikan UU Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun. Pemerintah sebagai pengusul didukung nampaknya bergerak cepat untuk menindaklanjuti amanat putusan MK agar memperbaiki UU 11/2020 dalam kurun waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan pada 25 November 2021 lalu.

Dalam rangka melaksanakan putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 atas uji formil UU 11/2020, pemerintah siap menindaklanjutinya,” ujar Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly, beberapa hari lalu di Komplek Gedung Parlemen.

Yasonna menegaskan pemerintah mulai bekerja menyiapkan segala sesuatunya dalam upaya memperbaiki UU 11/2020 sebagaimana amanat dalam putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 itu. Apalagi, revisi UU 11/2020 sudah masuk dalam daftar kumulatif terbuka Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022.

Dia menerangkan putusan MK yang mengamanatkan perbaikan atas pengujian UU secara materil maupun formil masuk dalam kumulatif terbuka. Pemerintah mengusulkan agar tak masuk dalam daftar prolegnas prioritas tahunan. “Tidak perlu dimasukan dalam daftar prolegnas prioritas tahunan. Tetapi kami mohon itu menjadi agenda prioritas kita awal tahun ini,” harapnya.

Selain memperbaiki UU 11/2020, pemerintah pun mendorong agar segera dilakukannya revisi terhadap UU No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bedanya, revisi terhadap UU 12/2011 masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2022. (Baca Juga: Problematik Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja)

Meski begitu, Yasonna meminta agar pembahasan antara revisi UU 11/2020 dan UU 12/2011 dapat berjalan bersamaan. Setidaknya selain menghemat waktu dan tenaga, pada 2023 memasuki tahun politik. Dia berjanji pemerintah bakal berkomitmen bersinergi dengan DPR dalam membahas revisi UU 12/2011 seefektif mungkin. Sebaliknya, Yasonna berharap DPR dapat melakukan hal serupa dalam pembahasan revisi UU 11/2020 sebagaimana perintah putusan MK.

“Pemerintah berharap perubahan atas UU 11/2020 dan perubahan UU 12/2011 dapat dibahas secara paralel pada masa kesempatan pertama masa sidang tahun 2022,” pintanya.

Sementara Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan pihaknya bakal konsentrasi dalam merevisi UU 11/2020 dan UU 12/2011. Apalagi pemerintah, DPR dan DPD sebagai pihak yang terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja hingga menjadi UU menyepakati segera menindaklanjuti putusan MK yang memberi waktu dua tahun.

Supratman melanjutkan putusan MK yang mengamanatkan melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja menjadi penting segera direspon cepat. Sebab, materi UU Cipta Kerja menyangkut 78 UU yang terdampak. Makanya pemerintah mendorong agar pembahasan kedua revisi UU tersebut dapat dilakukan sesegera mungkin di awal 2022.

Namun soal permintaan pemerintah agar pembahasan revisi UU 11/2020 dan revisi UU 12/2011 dilakukan secara paralel, Supratman punya pandangan lain. Menurutnya, Baleg bakal terlebih dahulu merevisi UU 12/2011. Kemudian melanjutkan dengan pembahasan revisi UU 11/2020 sebagaimana amanat putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020.

Politisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu belum dapat memastikan waktu selesainya pembahasan revisi UU 11/2020 ataupun revisi UU 12/2011. Dia beralasan khusus revisi UU 11/2020 perlu dilakukan pembahasan sedari awal proses penyusunan naskah akademik, hingga pembahasan pasal per pasal. Dengan begitu boleh dibilang proses penyusunan dan pembahasan dimulai seperti halnya pembuatan UU baru.

Tidak paralel

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Muhammad Nur Sholikin berpandangan, upaya menindaklanjuti putusan MK dengan merevisi UU 11/2020 dan UU 12/2011 semestinya tidak dilakukan secara paralel. Pemerintah dan DPR mesti memiliki cara pandang yang sama terlebih dahulu dengan menyelesaikan revisi UU 12/2011 terlebih dahulu sebelum tahapan revisi UU 11/2020.

Upaya menindaklanjuti putusan MK dengan revisi UU 12/2011 dan UU Cipta Kerja, seharusnya tidak dilakukan secara paralel,” sarannya.

Sholikin beralasan pembentuk UU dalam menyusun dan membuat UU 11/2020 menggunakan pendekatan omnibus law yang tidak dikenal dalam UU 12/2011. Sebaliknya, pembuatan UU mesti mengacu pada prosedur yang diatur dalam UU. Untuk itu, meski DPR mendahulukan revisi UU 12/2011 yang sebelumnya sudah diubah dengan UU 15/2019, pemerintah seharusnya tidak terburu-buru.

Pemerintah dan DPR semestinya cermat dan teliti dalam membahas prosedur pembentukan UU dengan pendekatan metode omnibus law. Selain itu, revisi UU 12/2011 mesti dipandang sebagai upaya pembenahan tata kelola regulasi secara lebih komprehensif. Karenanya, revisi UU 12/2011 harus mengatur materi lain yang diperlukan dalam upaya mendukung tata kelola regulasi yang baik.  

“Pemerintah dan DPR juga harus melibatkan partisipasi masyarakat yang luas dalam menyusun revisi UU 12/2011,” ujar Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) itu mengingatkan.

Sebagaimana diketahui, MK memutuskan mengabulkan sebagian pengujian formil UU Cipta Kerja. Dalam amar putusannya, MK menyatakan UU Cipta Kerja dinilai cacat formil dan inkonstitusional bersyarat dengan menentukan beberapa implikasi atas berlakunya UU tersebut. “Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian,” ucap Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 dari ruang sidang MK, Kamis (25/11/2021) lalu.

Dalam amar putusannya, MK menentukan lima hal atas keberlakuan UU Cipta Kerja. Pertama, menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.

Kedua, menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini. Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

Keempat, menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali. Kelima, menyatakan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Tags:

Berita Terkait