Pemerintah Perlu Publikasikan Naskah Akhir UU Cipta Kerja
Berita

Pemerintah Perlu Publikasikan Naskah Akhir UU Cipta Kerja

Agar tidak menimbulkan salah tafsir atau salah pendapat.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit

Praktisi hukum ketenagakerjaan, Umar Kasim, juga menyampaikan pandangannya, salah satunya tentang Tenaga Kerja Asing (TKA), menurutnya Dalam Pasal 42 ayat (2) dinyatakan, bahwa pemberi kerja orang perorangan, dilarang mempekerjakan TKA. Pasal ini tidak tepat bagi “pemberi kerja TKA” (sponsor) yang bentuk entitasnya “bukan badan hukum” (entity). Karena bentuk usaha dimaksud, tanggung-jawabnya adalah tanggung-jawab perorangan, sehingga seseorang dapat diminta bertanggung-jawab secara tanggung-renteng (hoofdelijkeheid aansprakklijke), baik dari “inbreng”, dan bahkan sampai kepada harta pribadi.

Seharusnya, klausula dimaksud, merujuk pada maksud UU Penempatan Tenaga Asing (UU No.3 Tahun 1958), khususnya penjelasan Pasal 1, bahwa Tenaga Asing yang dilarang adalah: Tenaga Asing (TKA) yang bertindak sebagai swa-pekerja (vrije-beroepen), atau istilah sekarang “tenaga kerja mandiri” (self-employee, sole preprietorship)”.

Artinya, menurut Umar, TKA tidak boleh bekerja sebagai tenaga kerja mandiri. Walaupun faktanya, banyak TKA yang (misalnya) membuka praktek dokter secara pribadi (yang melayani TKA dari negara asalanya). Hal itu terjadi karena tafsir klausula dalam Pasal 42 ayat (2) tersebut, hanya melarang orang pribadi (naturlijke-persoon) mempekerjakan TKA.

Padahal maksudnya (secara histories), adalah TKA tidak boleh bekerja kecuali hanya pada suatu entitas perusahaan (business entity) atau korporasi, baik badan hukum (rechts-persoon) maupun bukan badan hukum (entity).   Dalam Pasal 42 ayat (3) dinyatakan, bahwa kewajiban pemberi kerja (sponsor-TKA) untuk memiliki rencana penggunaan TKA atau “RPTKA” (dan tentunya termasuk notifikasi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing-“IMTA”), tidak berlaku bagi Direksi atau Komisaris dengan kepemilikan saham tertentu, atau pemegang saham sesuai peraturan per-UU.

Ketentuan tersebut tidak tepat untuk multy national company (MNC), karena kepemilikan saham suatu perusahaan asing, terutama group (holding company) pada subsidiary atau sister company, pastinya bukan saham perorangan dan tidak sebagai pemegang saham pribadi (direct share holders), akan tetapi kepemilikan saham perusahaan group pada Trans National Company (TNC).

Persoalannya, Apakah seseorang TKA dimaksud juga akan dibebaskan dari -memiliki- RPTKA (dan notifikasi IMTA) apabila yang mewakili dan bertindak untuk dan atas nama holding co. atau sister co. (atau sebagai “kuasa pemegang saham”) yang diangkat menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris di perusahaan sponsor yang mempekerjakan TKA dimaksud (dan tercantum dalam akta pendirian atau akta perubahan-nya).

Kalau redaksinya seperti dalam Pasal 42 ayat (3) huruf a tersebut, tentu tidak bisa. Akan tetapi jika dilihat fakta hukumnya, dia (TKA tersebut) juga adalah “pemegang saham”, atau “kuasa pemegang saham”. Dengan demikian, pasal tersebut tentu akan mempersulit bagi investor dalam bentuk perusahaan TNC / MNC. Sebagai contoh, kepemilikan saham Toyota Indonesia, pasti bukan kepemilikan pribadi (personal ownership), akan tetapi kepemilikan Toyota holding di Jepang atau di berbagai negara.Oleh karena itu, disarankan dalam PP-nya nanti agar dijelaskan klausula dimaksud.

Tags:

Berita Terkait