Pemerintah Segera Terbitkan Regulasi Terkait Uji Kompetensi Notaris
Utama

Pemerintah Segera Terbitkan Regulasi Terkait Uji Kompetensi Notaris

Akan di-launching Agustus 2016 mendatang. Tujuannya untuk melahirkan notaris berkualitas, berdedikasi tinggi, berbudi pekerti luhur, bertanggungjawab dan bermartabat sesuai dengan jabatannya sebagai pejabat umum.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Menkumham Yasonna H Laoly. Foto: NNP
Menkumham Yasonna H Laoly. Foto: NNP
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjen AHU Kemenkumham) akan segera menerbitkan aturan terkait uji kompetensi notaris. Aturan tersebut rencananya akan mengatur uji kompetensi notaris yang akan dilakukan setiap lima tahun sekali termasuk uji kompetensi terhadap calon notaris yang akan dilakukan pengangkatan sebagai notaris.

Menkumham Yasonna H Laoly mengatakan, latar belakang munculnya kebijakan ini karena masih banyak ditemukan notaris yang kurang profesional dalam menjalankan jabatannya dan merugikan masyarakat selaku pengguna jasa notaris. Hal itu diketahui lantaran banyaknya complain yang masuk ke Ditjen AHU akibat perbuatan oknum notaris yang kurang profesional dalam memberikan jasa hukum sesuai dengan kewenangannya. “Akan dibuat peraturannya dalam waktu dekat,” katanya beberapa waktu lalu.

Latar belakang lain dibuatnya kebijakan uji kompetensi ini karena banyaknya perguruan tinggi yang membuka program Magister Kenotariatan (MKn) yang melahirkan calon-calon notaris dalam jumlah yang besar. Banyaknya lulusan MKn setiap periodenya, kata Yasonna, malah memunculkan kompetisi dan membuat rekan-rekan notaris berpraktik tanpa memperhatikan kode etik profesi yang diatur organisasi.

Hal ini pun sudah dibicarakan antara Ditjen AHU dengan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI). Kedua pihak sepakat, perlu ada kebijakan yang melahirkan notarus berkualitas, berdedikasi tinggi, berbudi pekerti luhur, bertanggungjawab dan bermartabat sesuai jabatannya sebagai pejabat umum.

“Uji kompetensi ini menjadi suatu yang harus kita lakukan. Seperti pengacara, harus lalui uji kompetensi sebelum jadi pengacara walaupun telah lulus dari kampus,” tambahnya.

Kepada hukumonline, Dirjen AHU Kemenkumham Freddy Harris menjelaskan bahwa arah pengaturan kebijakan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) tersebut salah satu poinnya akan fokus mengatur tentang standarisasi profesi, kurikulum, dan kuota mahasiswa. Ia menargetkan Permenkumham ini akan selesai Agustus 2016 mendatang.

“Lebih pengaturan ke program studi. Kita ingin program studi mengatur jumlah mahasiswa MKn karena kebutuhan dari kita (Ditjen AHU) sekian. Ada kuota yang harus diatur,” katanya.

Selama ini, Ditjen AHU melihat Kementerian Riset Tekonolgi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti)sangat mudah memberikan izin kepada perguruan tinggi atas permohonan pembukaan program MKn. Hal tersebut berdampak pada Ditjen AHU selaku user dimana jumlah lulusan MKn yang berprofesi notaris tidak sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan Ditjen AHU.

“Dulu memang ada pandangan lulusan MKn bisa bekerja dimana saja selain jadi notaris seperti di perusahaan. Tapi ternyata 90 persen siswa MKn mau jadi notaris. Dikti ngga diskusi sama kita, Ditjen AHU kan user-nya. Inikan bukan sekolah umum dimana orang bisa bekerja dimana saja. Makanya harus ke kita dong, ngga bisa main lepas gini aja,” paparnya.

Sebelumnya, sekira akhir tahun 2014, sempat ramai wacana Kemenristek Dikti untuk ‘mengeluarkan’ program MKn dari universitas dan mengembalikan program itu kepada pendidikan profesi. Hal tersebut diungkapkan oleh Prof Johannes Gunawan (saat itu sebagai Ketua Tim Revitalisasi Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum Dikti Kemenristek). Wacana ini mendapat respon positif dari PP INI kala itu.

Johannes mengusulkan bila wacana ini sulit diimplementasikan, setidaknya jalan keluar yang bisa dilakukan adalah calon notaris tidak perlu mengikuti pendidikan magister di tingkat strata-2. Melainkan, cukup lulus pada program sarjana strata-1 tetapi ditambahkan pendidikan selama satu tahun sebagai tambahan program kenotariatan. Bila program sarjana masuk ke level 6, maka kenotariatan bisa dimasukan ke level 7 dimana para mahasiswa menempuh pendidikan profesi selama satu tahun untuk mendapatkan ijazah sekaligus sertifikat profesi.

Satu hal penting, Johannes menyampaikan bahwa pendidikan profesi dan uji kompetensi seyogyanya diselenggarakan oleh organisasi profesi, yakni PP INI. Namun, jika belum dapat direalisasikan, ia mengusulkan agar PP INI ‘menitipkan’ sebagian kewenangan kepada perguruan tinggi tetapi tetap memberikan standar kurikulum dan kompetensi yang dibuat PP INI.

Terpisah, mantan Ketua Umum PP INI periode (2009-2012 & 2013-2016), Adrian Djuaini mengatakan bahwa permasalahan uji kompetensi notaris telah menjadi concern PP INI belakangan ini. Sebagai tindak lanjutnya, telah dibuat kesepakatan antara PP INI, Kemenkumham, dan Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Penyelenggara Program Pendidikan Magister Kenotariatan untuk mengatur uji kompetensi ini.

“Kita merasa sudah saatnya ada standarisasi mengenai kompetensi notaris. Karena dengan munculnya pendidikan notaris yang banyak, itu menghasilkan kompetensi yang berbeda. Sedangkan notaris adalah pejabat umum yang melaksanakan sebagian fungsi negara. Artinya dia harus punya skill, kompetensi yang baik,” ujar Adrian.

Lebih lanjut, uji kompetensi ini wajib dilakukan, baik nanti kepada calon notaris atau terhadap notaris yang telah berpraktik. Melalu uji kompetensi ini diharapkan dapat mengeliminir notaris ‘nakal’ dalam rangka dilakukan pembinaan secara lebih baik lagi. Uji kompetensi itu juga harus dilakukan dengan pendidikan tambahan bernama pendidikan profesi. Dimana lulusan-lulusan MKn dilakukan pensetaraan lewat pendidikan profesi. “Ini dikelola oleh organisasi (PP INI), “ katanya.

“Saya hanya meletakan dasar. Nanti yang akan meneruskan adalah pemimpin yang baru. Itu hal yang sangat penting dan harus jadi prioritas utama oleh pengurus yang akan datang,” ujarnya.

Notaris dan PPAT di Tangerang, Alwesius sepakat bila ada evaluasi setiap lima tahun terhadap profesi notaris sepanjang bertujuan untuk mempertahankan profesionalitas notaris. Namun, ia menilai terdapat sejumlah masalah terutama terkait syarat menjadi notaris jika dikaitkan dengan pendidikan yang dilakukan oleh program MKn di perguruan tinggi.

“Syarat jadi notaris itukan MKn. Sepanjang dia MKn, dia berhak jadi notaris. Di satu sisi UU Jabatan Notaris tentukan syarat MKn, tapi di sisi lain MKn itu kan akademik. Itu kewenangan Dikti. Jadi suka-suka mereka kan memberikan izin bagi semua universitas yang mau buka prodi,” kata Alwesius.

Atas dasar itu, notaris mestinya mendapat pendidikan keahlian. Dimana penting dipastikan apakah notaris sudah menguasai ilmu yang diperolehnya sebelum berpraktik nanti. Sehingga, pendidikan khusus sebagaimana diungkapkan Adrian sangat penting diwajibkan sebelum seorang notaris diangkat secara resmi.

“Notaris harusnya pendidikan keahlian. MKn kan gelar akademik, jadi sebagaian besar ilmunya teoritis bukan terapan, itu persoalan. Apalagi dikaitkan dengan mereka (program MKn) harus meluluskan. Kalau tidak lulus, terpengaruh ke akreditasi. Dan penyelenggaraan kampus diukur dengan nilai akreditasi agar bisa tinggi,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait