Pemerintah Target UU Hukum Perdata Internasional Rampung di 2022
Utama

Pemerintah Target UU Hukum Perdata Internasional Rampung di 2022

Harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan klasik seputar HPI serta melindungi dan memberikan kepastian hukum terhadap hak-hak keperdataan dari subjek hukum di Indonesia.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah menargetkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional (RUU HPI) rampung di tahun 2022. Hal ini disampaikan oleh Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, Tudiono, dalam diskusi daring tentang RUU HPI dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Kamis (6/8).

Menurut Tudiono, sejak pertama kali penyusunan konsep dan RUU HPI dilakukan oleh kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Teuku M. Radhie dengan ketua tim Prof. Sudargo Gautama pada tahun 1980, progres pembentukan RUU HPI terus mengalami dinamika.

Dinamika ini seperti yang digambarkan Tudiono, di mana pada tahun 1997, draft RUU HPI mengalami revisi. Setelah sekian lama baru di tahun 2013 hingga 2014 penyusunan Naskah Akademik RUU HPI dilakukan dengan diketuai oleh Prof. Supancana. Empat tahun kemudian, yakni ditahun 2018 dilakukan penyempurnaan kajian untuk mendukung NA RUU HPI.

Saat ini RUU HPI telah masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional 2020 – 2024 lewat pengesahan Keputusan DPR Nomor 46/DPRRI/I/2019-2020, pada Desember 2019. “Tahun 2020 penyiapan draft rancangan dan penyempurnaan Naskah Akademik RUU HPI,” ujar Tudiono yang juga merupakan Ketua Tim Pembahasan RUU HPI kemenkumham.

Menurut Tudiono, berdasarkan timeline yang direncanakan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, tahun 2020 merupakan saat di mana naskah akademik RUU HPI dirampungkan. Kemudian di 2021 RUU HPI akan masuk pada tahap penyusunan dan pembahasan sehingga ditargetkan pada 2022 RUU ini telah disahkan dan diundangkan dalam lembaran negara. (Baca Juga: RUU Hubungan Perdata Internasional Diusulkan Gunakan Metode Omnibus Law)

Menurut Tudiono, RUU HPI saat ini sudah sangat dibutuhkan mengingat aktifitas bisnis antar negara saat ini terjadi sangat masif. Karena itu kehadiran RUU HPI diharapkan mampu memberikan kepastian hukum dan melindungi kepentingan nasional dalam menentukan yurisdiksi hukum dan pengadilan yang menyelesaikan perkara-perkara transnasional.

UU HPI juga diharapkan mampu mendukung berbagai aktivitas virtual dan digital yang bersifat borderless; melengkapi peraturan perundang-undangan sektoral yang mengatur transaksi-transaksi transnasional, salah satunya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, UU Kepailitan, UU Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen. UU HPI juga diharapkan dapat meningkatkan transaksi komersial dan kepercayaan investor untuk melakukan investasi di Indonesia sehingga dapat menunjang pertumbuhan ekonomi.

Terkait hal ini, Tudiono menyampaikan grafik perkembangan transaksi elektronik di Indonesia. Perdagangan elektronik ritel di Indonesia diperkirakan tumbuh 133,5% menjadi US$16,5 miliyar atau sekitar Rp 219 triliun pada 2022 dari tahun 2017. Karena itu dengan adanya UU HPI, transaksi elektronik ini diharapkan terus mengalami kenaikan karena adanya kepastian hukum bagi pelaku usaha maupun konsumen.

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Perencana di Direktorat Hukum dan Regulasi Bappenas, Tanti Dian Ruhama, yang menyampaikan pembangunan substansi hukum perdata merupakan salah satu prioritas nasional. Menurut Tanti, arah reformasi hukum kedepan berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan iklim kemudahan berusaha. “Peningkatan kepercayaan dunia internasional untuk menjalin hubungan ekonomi dengan Indonesia,” ungkap Tanti di kesempatan yang sama.

Substansi HPI

Kemudian, Tiga hal penting yang akan diatur dalam RUU Hukum Perdata Internasional, menurut Tudiono, antara lain terkait Badan Peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan perkara-perkara hukum yang mengandung unsur asing (choice of jurisdiction); hukum mana yang harus diberlakukan untuk mengatur dan menyelesaikan persoalan (choice of law); dan sejauh mana pengadilan harus memperhatikan dan mengakui putusan pengadilan asing (recognition and enforchment of foreign legal judgments).

Terkait ini, Partner Assegaf Hamzah & Partners, Eri Hertiawan, menjelaskan untuk menentukan apakah suatu perkara hukum dapat dikategorikan sebagai persoalan HPI, maka titik-titik taut primer perlu diperhatikan. Titik taut primer adalah fakta yang menunjukan bahwa terdapat lebih dari satu aturan/sistem hukum dalam suatu perkara hukum.

“Apabila dalam suatu perkara hukum terdapat titik-titik taut primer, maka perkara tersebut dapat dikualifikasikan sebagai persoalan HPI,” terang Eri.

Untuk menentukan aturan/sistem hukum mana yang berlaku, maka kita perlu melihat kaidah HPI dari forum (lex fori) dimana perkara hukum tersebut dilangsungkan. Lex fori akan menunjuk aturan/sitem hukum negara mana yang harus diberlakukan. Selanjutnya, untuk menyelesaikan perkara hukum terkait, perlu melihat hukum substantif/material dari negara yang ditunjuk tersebut (lex causae).

Eri mengungkapkan tentang adanya permasalah dalam praktik terkait HPI. Dalam eksekusi putusan oengadilan asing dan pilihan hukum, masih terdapat permasalah eksekusi putusan asing yang harus secara tegas diatur dalam hukum positif di Indonesia.

Eri mengungkapkan, dalam praktiknya meskipun para pihak telah menyepakati pilihan hukum/forum penyelesaian sengketa asing dalam kontrak, namun masih saja terdapat pihak yang tidak puas dan berusahan mengajukan gugatan di Indonesia dengan dasar gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

“Permasalahan tersebut idealnya dapat juga terselesaikan dengan UU HPI serta peraturan-peraturan pendukung lainnya seperti Perma dan Sema,” ujar Eri.

Untuk itu RUU HPI harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan klasik seputar HPI serta melindungi dan memberikan kepastian hukum terhadap hak-hak keperdataan dari subjek hukum di Indonesia. Menurut salah satu pendiri Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Arief Tanukarya Surowidjojo, sejumlah problem terkait HPI telah dirasakan oleh Indonesia terutama sejal terjadi liberalisasi ekonomi dan dibukanya pasal modal.  

Arief menilai, sampai saat ini pertanyaan tentang HPI masih nyaris sama walupun dengan dinamika yang sudah berbeda dengan perubahan geopolitik, sosial, dan ekonomi. “Ketika saya dan teman-teman advokat berhadapan dengan investor nasional maupun asing, seringkali ada pertanyaan tentang governing law satu transaksi investasi bisnis. Hukum apa yang sebainya dipilih. Artinya jika kontrak tidak mengatur maka prinsip-prinsip HPI lah yang akan berlaku,” terang Arief.

Tidak hanya itu, pertanyaan berikut yang muncul setelag itu adalah melalui forum apa potensi perselisihan akan diselesaikan serta pertanyaan apakah setelah dipilih arbitrase atau pengadilan, aturan apa yang akan dipakai. Karena itu menurut Arief, perlu ada kesesuaian antara yurisdiksi dengan pilihan hukum yang di pakai para pihak.

Tags:

Berita Terkait