Pemohon Jelaskan Diskriminasi dalam UU Pengampunan Pajak
Berita

Pemohon Jelaskan Diskriminasi dalam UU Pengampunan Pajak

Hakim minta pemohon memperjelas legal standing.

ASH
Bacaan 2 Menit
Para pemohon dan kuasa hukum pengujian UU Pengampunan Pajak. Foto: MK
Para pemohon dan kuasa hukum pengujian UU Pengampunan Pajak. Foto: MK
Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketuai Anwar Usman menggelar sidang perdana pengujian beberapa pasal UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Ada tiga pemohon yang disidangkan secara bersamaan yakni Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Samsul Hidayat, dan Abdul Kodir Jaelani (Pemohon I); Pengurus Yayasan Satu Keadilan (YSK) (Pemohon II); dan Leni Indrawati Dkk (Pemohon III).

Ketiga Pemohon ini menguji konstitusionalitas beberapa pasal “jantung” dalam UU Pengampunan Pajak ini. Pasal ‘jantung’ yang mereka maksud adalah Pasal 1 ayat (1) dan (7); Pasal 3 ayat (1); Pasal 4; Pasal 5; Pasal 11 ayat (2), (3), dan (5); Pasal 19; Pasal 21 ayat (1) dan (2), Pasal 21 ayat (2); Pasal 22; dan Pasal 23.

Inti alasan ketiga permohonan ini hampir serupa yakni pasal-pasal tersebut dinilai diskriminatif, merusak sistem perpajakan, potensial melegalkan praktik pencucian uang dan merusak sistem penegakkan hukum yang bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 1 ayat (1), (7) UU Pengampunan Pajak, misalnya. Ada kebijakan penghapusan (pengampunan) pajak terhutang dengan membayar uang tebusan yang besarnya bervariasi, sehingga pengemplang pajak terbebas dari sanksi administrasi dan pidana. Artinya, ada perlakuan khusus bagi wajib pajak yang melaporkan pengampunan pajak dengan uang tebusan tidak dikenakan tindakan hukum.

Pasal ini menggeser sistem perpajakan yang bersifat memaksa menjadi kompromis yang bertentangan dengan Pasal 23 A UUD 1945 dan bersifat diskriminasi antara warga negara yang taat pajak dan tidak taat pajak,” ujar kuasa hukum Pemohon I, Sugeng Teguh Santoso dalam sidang pendahuluan di ruang sidang MK, Rabu (27/7).

Sama halnya dengan Pemohon lain, UU Pengampunan Pajak ini dinilai melanggar prinsip keterbukaan informasi publik karena ada larangan membuka informasi atau membocorkan data pajak terhutang di Kementerian Keuangan. Pelanggarnya bisa diancam pidana. Mereka juga mempersoalkan hak kekebalan hukum (imunitas) Menteri Keuangan, pegawainya, atau pihak lain yang tidak dapat dituntut pidana atau perdata sepanjang menjalankan tugas dan kewenangan dalam proses pengampunan pajak ini.

Ada perlakuan istimewa terhadap pengemplang pajak ketika ada uang tebusan yang bertentangan prinsip persamaan di hadapan hukum. UU ini juga menafikan proses penegakkan hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 23 A UUD 1945,” lanjut kuasa hukum Pemohon III, Philipus Tarigan.

Karena itu, keinginan para Pemohon satu suara meminta MK membatalkan UU Pengampunan Pajak karena secara nyata bertentangan dengan UUD 1945. Atau beberapa pasal yang dimohonkan pengujian itu dimaknai secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat). Misalnya, frasa ‘penghapusan pajak’ beberapa pasal UU Pengampunan Pajak dibebaskan dari sanksi administrasi dan pidana perpajakan sepanjang mengungkap harta dan membayar uang tebusan.

“Menyatakan frasa ‘uang tebusan’ dalam Pasal 1 angka (7), Pasal 4, Pasal 5, UU Pengampunan Pajak bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 sepanjang dimaknai Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan pengampunan pajak,” demikian bunyi salah satu petitum permohonan. Sedangkan pasal-pasal di luar itu minta untuk dibatalkan.

Menanggapi permohonan, anggota Majelis Panel I Dewa Gede Palguna mempertanyakan legal standing (kedudukan hukum) para pemohon belum diuraikan secara jelas kedudukannya masing-masing. Sebab, bagian legal standing permohonan masih mencampuradukan badan hukum dan perorangan.

“Bagian legal standing, masih dicampur antara badan hukum dan perorangan. Seharusnya ini dipisah dan diuraikan masing-masing. Bagian ini juga harus menguraikan kerugian hak konstitusional baik sebagai badan hukum atau perorangan karena kerugian konstitusional mesti berbeda-beda. Ini harus dijelaskan masing-masing,” saran Palguna.

Di bagian lain, kata Palguna, setiap permohonan mesti menguraikan pertentangan norma yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal dalam UUD 1845. “Ini juga dijelaskan secara terpisah hingga pada kesimpulan norma yang diuji dianggap inkonstitusional,” lanjutnya.

Anggota Panel lain, Aswanto melanjutkan salah pemohon dalam Pemohon III ada yang berstatus pelajar. Namun, dalam permohonan tidak dijelaskan kerugian hak konstitusionalnya dengan berlakunya UU Pengampunan Pajak ini. “Apakah dia sebagai tax payer atau sudah memiliki NPWP? ini perlu diuraikan,” katanya.

“Dimana letak kerugian konstitusional para Pemohon juga harus dijelaskan karena ini berpengaruh terhadap legal standing?”

Selain itu, Aswanto meminta para Pemohon menguraikan dampak mudharat-nya berlakunya UU Pengampunan Pajak bagi masyarakat. Dia juga menyarankan akan lebih baik apabila permohonan ini memasukkan perbandingan di beberapa negara yang sudah menerapkan kebijakan tax amnesty ini, sehingga dapat dilihat kelemahan atau keuntungannya.
Tags:

Berita Terkait