Pemohon Minta Ada Peran Dewan Kehormatan Advokat
Uji Obstruction of Justice:

Pemohon Minta Ada Peran Dewan Kehormatan Advokat

Termasuk agar pemidanaan menghalang-halangi proses penyidikan tidak berlaku bagi advokat dan aparat penegak hukum lain. Majelis meminta Pemohon memperkuat dalil permohonannya.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi advokat: BAS
Ilustrasi advokat: BAS

Sidang perdana pengujian Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Pasal 221 ayat (1) angka (2) KUHP terkait pemidanaan menghalangi-halangi proses penyidikan (obstruction of justice) digelardi Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Pemohonnya, perkara No. 7/PUU-XVI/2018 diajukan seorang advokat, Khaerudin yang hanya memohon pengujian Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor. Sedangkan, perkara No. 8/PUU-XVI/2018 diajukan Barisan Advokat Bersatu (Baradu) yang diwakili pengurusnya, Hermansyah dan Ade Manansyah melalui kuasa hukumnya Victor Santoso Tandiasa yang menggugat Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor dan Pasal 221 KUHP.

 

Khaeruddin menilai Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor menimbulkan ketidakseragaman atau tolak ukur dan multitafsir ketika tugas profesi advokat (membela kliennya) dihadapkan pada dugaan melakukan tindakan mencegah, merintangi, menggagalkan upaya penyidikan sebagaimana termuat dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor.

 

“Seharusnya terlebih dahulu memperoleh keputusan dari Dewan Kehormatan Etik Profesi Advokat Ini agar tidak menimbulkan subjektif (suka atau tidak suka) aparat penegak hukum terhadap advokat,” kata Khaeruddin di Gedung MK, Jakarta, (5/2/2018). (Baca Juga: Akhirnya Advokat Ini Minta Tafsir Pasal Obstruction of Justice)

 

Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor menyebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi…….”

 

Dan, Pasal 221 ayat (1) angka (2) KUHP berbunyi Barangsiapa setelah melakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap…….”

 

Menurutnya, tidak ada aturan yang jelas baik di UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat maupun UU Pemberantasan Tipikor dalam hal terjadi dugaan melanggar pasal obstruction of justice yang khusus dilakukan oleh advokat. “(Aturan itu) menimbulkan tindakan sewenang-wenang para penegak hukum yang lain seperti polisi, jaksa, dan hakim untuk mengkriminalisasi profesi advokat yang bertugas membela klien,” tuturnya.

 

Kedua pasal tersebut dinilai potensi membelenggu profesi advokat ketika dianggap bertindak menghalangi, merintangi secara langsung maupun tidak langsung. Padahal, advokat memiliki hak imunitas atau perlindungan yang tidak bisa dituntut secara pidana ataupun perdata ketika membela kliennya di persidangan dan di luar persidangan selama dilakukan dengan itikad baik. “Ini sesuai bunyi putusan MK No. 26/PUU-XI/2013 lewat pengujian Pasal 16 UU Advokat,” ujarnya.  

 

Karena itu, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Pasal 21 Pemberantasan Tipikor bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib melalui dewan kehormatan profesi advokat terlebih dahulu.”

 

Termasuk penegak hukum lain

Sementara kuasa hukum Baradu, Victor Santoso Tandiasa menilai ini bukan semata-mata persoalan kasus Fredrich Yunadi, tetapi persoalan profesi yang perlu mendapat jaminan perlindungan sesuai Pasal 16 UU Advokat jo putusan MK No. 26/PUU-XI/2013 yang tidak dapat dituntut sepanjang memiliki itikad baik sesuai peraturan perundang-undangan dan kode etik. Sebab, itikad baik ini persoalan hukum juga, yang seharusnya mendapat penilaian Dewan Kehormatan profesi advokat.

 

“Kepolisian memang memiliki MoU dengan organisasi advokat terkait pemeriksaan advokat. Tetapi, KPK tidak memiliki MoU sama sekali, sehingga seringkali melangkahi UU. Artinya, oknum KPK dalam menjalankan tugasnya melompati batasan-batasan itu,” kata dia.

 

Menurutnya, jerat pemidanaan menghalang-halangi penyidikan dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor tidak hanya diterapkan bagi advokat, tetapi juga penegak hukum lain karena ada frasa “setiap orang” bisa dianggap menghalangi, mencegah, menggagalkan proses penyidikan. ‘Nah, dalam pasal ini juga belum dijelaskan secara maksimal,” katanya.

 

Karena itu, pemohon meminta agar Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor terhadap frasa “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung…..” dimaknai dikecualikan bagi advokat dan aparat penegak hukum lain yang sedang menjalankan tugas profesinya.  

 

Sedangkan, Pasal 221 ayat (1) angka 2 KUHP, khususnya frasa “barang siapa” dan frasa “untuk menghalang-halangi atau mempersukar” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk Advokat dan aparat penegak hukum lain yang sedang menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam dan/atau luar sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.”

 

Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel I Dewa Gede Palguna menilai format permohona sudah bagus. Namun, Mahkamah hanya ingin menekankan adanya hak imunitas advokat itu bukan murni hasil putusan MK, tetapi MK hanya memberi penegasan yang sudah ada dalam UU Advokat.  

 

“Apakah norma etik sama dengan proses hukum. Bukankah norma etik itu berbeda dengan hukum? Inikah dua hal yang terpisah, tetapi dalam pernyataan saudara merupakan hal yang saling berhubungan. Jika memang ingin diteruskan dengan argumentasi seperti ini harus lebih diperjelas lagi alasannya agar tidak dinyatakan obscuur,” saran I Dewa Gede Palguna.

 

Anggota Panel Aswanto menilai jika ingin meminta perlunya disebut adanya pemeriksaan Dewan Kehormatan terlebih dahulu terhadap advokat seharus dijelaskan sebelum dalam alasan-alasan permohonan. “Jangan seperti tiba-tiba dalam petitumnya meminta seperti itu.  Nanti ini diperbaiki lagi,” kata dia.

 

Aswanto meminta agar alasan permohonan soal etikad baik dijelaskan lagi karena sudah memegang kode etik dalam menjalankan tugas sejak awal? “Itu bisa atau tidak dikatakan memiliki etikat baik. Uraikan lebih jelas lagi apa itu etikat baik. Untuk Pasal 221 ayat (1) angka 2 KUHP, tolong diuraikan lagi positanya, sehingga berasalan bahwa Pasal 221 KUHP ini berkaitan dengan Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor,” pintanya.

 

Sementara anggota panel, Suhartoyo meminta dua permohonan ini agar dapat diperkuat argumentasinya. Misalnya, dengan cara memasukkan contoh-contoh kasus advokat selama ini yang tidak mendapat hak imunitas dan terdapat kesewenang-wenangan penegak hukum yang selama ini memprosesnya. “Ini saran saja,” katanya.

Tags:

Berita Terkait