Peneliti Beberkan 6 Temuan dalam Kasus Kekerasan Anak
Terbaru

Peneliti Beberkan 6 Temuan dalam Kasus Kekerasan Anak

Salah satunya, 2 persen pengguna internet berusia 12-17 tahun (anak) di Indonesia menjadi sasaran eksploitasi dan pelecehan seksual secara daring.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Perkembangan teknologi daring memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat. Informasi global mudah diakses melalui teknologi daring. Tapi perkembangan tersebut perlu diantisipasi karena ranah daring dapat dimanfaatkan pihak tertentu untuk melakukan kejahatan, seperti kekerasan dan eksploitasi seksual kepada anak. Hasil riset yang dilakukan Ecpat, Unicef, dan Interpol menunjukan sedikitnya 6 temuan yang perlu dicermati berbagai pihak terkait kekerasan dan eksploitasi seksual anak di ranah daring.

Peneliti Unicef, Marie Nodzenski, menjelaskan temuan pertama dari riset itu yakni tahun 2021 sedikitnya ada 2 persen pengguna internet berusia 12-17 tahun di Indonesia menjadi sasaran eksploitasi dan pelecehan seksual secara daring. Sebesar 1 persen anak yang disurvei menyebut pelaku menawarkan uang atau hadiah sebagai imbalan atas gambar atau video seksual; menawarkan uang atau hadiah secara daring untuk terlibat dalam tindakan seksual; diancam atau diperas secara daring untuk terlibat dalam aktivitas seksual; gambar seksual mereka dibagikan ke orang lain tanpa persetujuan; dan menerima uang atau hadiah dengan imbalan gambar atau video seksual.

“Secara umum Indonesia punya proporsi kasus kekerasan dan eksploitasi seksual kepada anak secara daring terendah dari yang kami survei di Asia Pasifik. Ini karena minimnya kasus yang dilaporkan,” kata Marie dalam peluncuran Laporan Nasional Riset Disrupting Harm Indonesia, Kamis (29/9/2022).

Temuan kedua, pelaku paling banyak adalah orang yang sudah dikenal anak. Pelaku yang tidak dikenal anak ada sekitar sepertiga kasus. Marie menyebut orang yang dikenal anak menduduki porsi pelaku jauh lebih besar dibanding orang asing. Teman atau kenalan yang berusia dewasa adalah yang paling mungkin melakukan bentuk-bentuk kekerasan. Kemudian teman sebaya di bawah 18 tahun atau anggota keluarga.

“Orang-orang yang sebelumnya tidak dikenal anak terlibat pada tingkat lebih rendah (satu dari 3 kasus),” urai Marie.

Langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah temuan kedua ini antara lain memanfaatkan program nasional yang ada untuk melibatkan masyarakat, termasuk anak-anak, pengasuh, guru, dan lainnya dalam membangun kesadaran tentang risiko pelecehan seksual dan bagaimana teknologi dapat berperan.

Temuan ketiga, anak-anak mengalami eksploitasi dan pelecehan seksual daring terutama melalui layanan daring seperti whatsapp, facebook, dan facebook messenger. Berbagai layanan itu menurut Marie yang paling populer digunakan di Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan sebagai solusi antara lain meningkatkan kolaborasi penegakan hukum dengan platform media sosial secara global. Membuat mekanisme pelaporan formal dalam platform tersebut secara jelas dan dapat diakses anak-anak.

Melanjutkan pemaparan Marie, Peneliti Ecpat Internasional, Rangsima Deswade, menjelaskan temuan keempat yakni anak-anak yang menjadi sasaran kekerasan dan eksploitasi seksual anak di ranah daring cenderung menceritakan kepada orang-orang dalam jaringan interpersonal mereka. Terutama teman dan saudara. Saluran bantuan dan polisi hampir tidak pernah mereka pilih untuk mencari bantuan.

“Sebanyak 17-56 persen anak-anak tidak memberi tahu siapapun. Paling banyak diceritakan teman atau saudara daripada pengasuh atau orang dewasa yang dipercaya. Hanya satu anak melaporkan ke polisi dan satu anak melapor ke saluran bantuan,” paparnya.

Temuan kelima dari riset tersebut yaitu kekerasan dan eksploitasi seksual anak di ranah daring secara umum telah diakui pemerintah sebagai ancaman. Tapi upaya pemerintah untuk mengatasinya harus lebih serius lagi, antara lain dengan meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum, peradilan yang profesional, dan dukungan terhadap pekerja sosial. Penyediaan akses terhadap peradilan yang ramah anak dan layanan dukungan kepada korban tergolong minim.

Temuan keenam, meskipun sudah ada regulasi, kebijakan, dan standar terkait kekerasan dan pelecehan seksual anak di ranah daring, Rangsima meminta tindak lanjut untuk mampu menjerat tindak kejahatan tersebut. Setidaknya ada 4 tindakan yang belum tegas ketentuan pidanannya yakni sengaja menghadiri pertunjukan pornografi yang melibatkan anak-anak; pemerasan seksual daring; online grooming; dan siaran langsung pelecehan seksual anak.

Tags:

Berita Terkait