Penerapan Qanun Jinayah Dinilai Langgar HAM dan KUHP
Terbaru

Penerapan Qanun Jinayah Dinilai Langgar HAM dan KUHP

Pemerintah pusat (Kemendagri) diminta meninjau ulang peraturan Qanun Jinayah di Aceh karena penerapan cenderung merugikan perempuan atau anak korban kekerasan seksual.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Menurutnya, aturan itu sangat merugikan kaum perempuan sebagai korban kasus pemerkosaan atau zina. Atas dasar itu, banyak pihak meminta pemerintah pusat (Kemendagri, red) meninjau ulang peraturan (qanun, red) di Aceh. Bahkan sejumlah warga Aceh sendiri sebenarnya merasa skeptis dan tidak setuju atas pemberlakuan qanun jinayah ini yang dinilai diskriminatif.

Dia melihat banyak kalangan menilai hukum jinayah tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hukum jinayah ini hanya diberlakukan bagi segelintir orang. Berbeda halnya dengan pejabat yang secara jelas tertangkap basah sedang melakukan perbuatan asusila. Malahan oknum pejabat tersebut lolos dari jerat hukum.

“Karena itu, ada baiknya pemerintah perlu mengkaji ulang peraturan yang ada di Aceh supaya tidak lagi terjadi kecaman-kecaman dari pihak luar serta kekhususan siapa saja yang patut dijatuhi hukuman,” katanya.

Aktivis Perempuan Aceh, Suraiya Kamaruzzaman mengatakan berdasarkan data yang dikantonginya, sejak Januari hingga Maret 2021 kekerasan terhadap perempuan berjumlah 7 kasus. Sedangkan kekerasan seksual terhadap anak berjumlah 14 kasus. Sedangkan pelecehan seksual terhadap perempuan berjumlah 6 kasus. Sedangkan kekerasan seksual terhadap anak berjumlah 46 kasus.

Dia menilai penerapan Peraturan Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah tidak lebih baik bila dibandingkan UU No.17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penerapan UU Perlindungan Anak lebih keras sanksi hukumannya ketimbang qanun jinayah. Untuk itu, dia mendorong agar jerat ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan seksual menggunakan UU 17/2016.

“Kenapa penting menggunakan UU Perlindungan Anak, karena ada penambahan hukuman 1/3 bagi orang-orang terdekat,” kata Suraiya. (Baca Juga: Qanun Hukum Jinayah, Kitab Pidana ala Serambi Mekkah)

Apalagi, Qanun Jinayah tidak mengatur hak anak atas perlindungan dari kejahatan seksual. Kemudian, tidak mengatur hak restitusi bagi korban (karena belum ada aturan pelaksana, red). Selanjutnya, tidak mengatur pemberatan/penambahan bagi pelaku yang notabene orang-orang terdekat korban. Karenanya, perlu mendorong dilakukan revisi terhadap qanun jinayah, khususnya pasal pelecehan dan perkosaan serta pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Ketua Pusat Studi Islam Perempuan dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Muthmainnah menilai beragam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh menjadi bukti qanun yang diterapkan belum menimbulkan efek jera. Apalagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual minim dukungan di Indonesia.  

Dia sempat mendengar terdapat 8 orang perempuan korban kekerasan seksual terkena hukuman cambuk lantaran dinilai melakukan perzinahan. Padahal, penerapan qanun jinayah juga harus dilakukan secara hahti-hati. Begitu pula aparat penegak hukum mesti paham betul bagaimana penerapan qanun jinayah. “Kasus-kasus di Aceh ini menjadi momentum kita untuk refleksi, supaya korban perempuan dan anak bisa mendapat perlindungan yang memadai,” katanya.

Tags:

Berita Terkait