Sedang Djoko S. Tjandra dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana putusan hakim tingkat pertama. Mahkamah Agung juga menolak permohonan kasasi jaksa. Kini, jaksa sudah resmi mengajukan permohonan PK baik pada perkara Syahril maupun Djoko.
Pada persidangan kedua permohonan PK Syahril di PN Jakarta Pusat, jaksa menyiapkan amunisi untuk membuktikan dalilnya, berupa putusan-putusan hakim dalah kasus tersebut, mulai dari tingkat pertama hingga Mahkamah Agung.
Jaksa Tidak Berwenang
Dalam sidang ketiga, Selasa (28/10) kemarin, giliran kuasa hukum Syahril yang mengajukan bantahan alias kontra memori peninjauan kembali. Menurut kuasa hukum – antara lain M. Assegaf dan Abdul Hakim Garuda Nusantara - jaksa tidak berhak mengajukan peninjauan kembali.
Abdul Hakim menjelaskan KUHAP hanya memberikan hak kepada terpidana dan ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali. Hal itu diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Secara filosofis, upaya peninjauan kembali bertujuan untuk melindungi hak azasi manusia terdakwa dari proses peradilan yang keliru.
Jaksa dalam memori peninjauan kembali menggunakan dasar hukum lain, yaitu Pasal 23 ayat (1) UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal itu menentukan terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada MA, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang
Kata ‘pihak yang bersangkutan' dalam pasal itu bisa diartikan sebagai jaksa. Apalagi Pasal 263 ayat (3) KUHAP menentukan terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali jika dakwaan dinyatakan terbukti namun tidak dijatuhi hukuman.
Namun dalil jaksa itu dibantah. Menurut tim kuasa hukum Syahril, Pasal 23 ayat (1) UU No. 4/2004 tidak bisa dijadikan dasar hukum mengajukan peninjauan kembali lantaran sifatnya numum (lex generalis). Sementara aturan mengenai peninjauan kembali diatur secara khusus dalam KUHAP, yaitu Pasal 263 ayat (1) KUHAP.