Penggunaan Instrumen Hukum untuk Kepentingan Politik Dominan di 2019
Berita

Penggunaan Instrumen Hukum untuk Kepentingan Politik Dominan di 2019

Terkonsolidasinya kepentingan para pemegang kursi kekuasaan yang didominasi para elite partai politik.

Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Penggunaan Instrumen Hukum untuk Kepentingan Politik Dominan di 2019
Hukumonline

Penggunaan instrumen hukum untuk kepentingan politik jangka pendek menjadi warna yang mendominasi berjalannya pemerintahan sepanjang 2019. Ini terjadi lantaran tahun 2019 yang merupakan tahun politik, tapi juga menjadi momentum transisi bagi beberapa lembaga negara. Tidak hanya di cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, sejumlah lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi, mengalami pergantian komposisi kepemimpinan di tahun ini.

 

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memiliki sejumlah catatan terkait pembenahan hukum sepanjang tahun 2019. Pada aspek penegakan hukum, menurut Peneliti PSHK Fajri Nursyamsi, akhir periode pertama Pemerintahan Joko Widodo menunjukkan pelaksanaan penegakan hukum yang tidak optimal dan tidak tepat sasaran. Dalam sejumlah kasus, penegakan hukum terkesan menjadi alat politik kekuasaan, misalnya dalam hal penggunaan pasal makar terhadap anggota masyarakat yang berbeda sikap dengan pemerintah.

 

Sebaliknya, sejumlah perkara lama yang menjadi utang untuk dituntaskan sejak awal periode pemerintahan justru terus dihadapkan pada ketidakpastian. Beberapa tunggakan kasus itu, antara lain, yaitu pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib, penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, hingga berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

 

“Penggunaan perangkat hukum untuk membendung kebebasan berpendapat juga terjadi dalam sejumlah peristiwa selama 2019,” ujar Fajri saat menyampaikan Catatan Akhir Tahun PSHK, Kamis (19/12), di Kampus Sekolah Tinggi Hukum Jentera.

 

Gejala pembungkaman kebebasan berpendapat juga kembali terlihat ketika Menko Polhukam Wiranto, pada Mei 2019, membentuk Tim Asistensi Hukum yang ditugaskan meneliti ucapan, tindakan, dan pemikiran tokoh-tokoh terntentu yang dianggap melanggar hukum.

 

Fajri menilai, keberadaan Tim Asistensi Hukum yang dibentuk dalam rangka menyikapi situasi pasca-Pemilu 2019, itu bukan saja tidak didasarkan pada pertimbangan hukum yang kuat, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian hukum, melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum, serta bertentangan dengan prinsip kebebasan pers.

 

Kemudian, Fajri juga meyebutkan atmosfer negatif terjadi pula pada aspek pemberantasan korupsi. Rentetan situasi terjadi bagi gerakan antikorupsi dan lembaga KPK muncul terutama menjelang akhir periode jabatan Presiden Jokowi dan Dewan Perwakilan Rakyat 2014–2019 lalu. Hal ini terlihat dari komposisi Panitia Seleksi Komisioner KPK yang kontroversial karena diisi oleh sejumlah nama yang diindikasikan dekat dengan institusi kepolisian.

 

“Kemudian, sejumlah nama yang tidak memiliki rekam jejak positif dalam upaya pemberantasan korupsi justru dipilih sebagai Komisioner KPK,” ujarnya.

 

Baca:

 

Dua peristiwa itu menimbulkan keraguan publik terhadap keberpihakan Presiden Jokowi dalam upaya pemberantasan korupsi. Musibah bagi KPK ditambah dengan disahkannya revisi UU KPK yang dibahas dalam tempo sangat singkat dengan proses yang tidak melibatkan publik.

 

Fajri menilai, sejumlah ketentuan yang justru melemahkan KPK disetujui bulat oleh DPR bersama presiden. Rangkaian kejadian tersebut menambah rapor merah Presiden Jokowi dalam pemberantasan korupsi, selain tak kunjung tuntasnya pengungkapan kasus teror yang menimpa Novel Baswedan dan sejumlah pegawai KPK lainnya.

 

Selain itu terdapat indikasi untuk melanggengkan kekuasaan ditampakkan oleh lembaga legislatif. Melalui perubahan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3, partai-partai politik yang menjelma fraksi di DPR menyepakati pembagian kursi pimpinan MPR untuk periode 2019-2024 sebanyak 10 orang, terdiri dari 9 kursi untuk perwakilan 9 fraksi di DPR dan 1 kursi untuk perwakilan dari DPD.

 

Menurut Fajri, ambisi bagi-bagi kursi pimpinan ini bukan hal baru karena telah dimulai sejak tahun lalu ketika UU Nomor 17 Tahun 2014 yang menentukan 5 kursi pimpinan MPR diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2018 yang menambahkan jumlah pimpinan MPR menjadi 8 orang.

 

Sementara dari sisi kinerja, Fajri menilai, tak ada kemajuan signifikan yang ditunjukkan selama DPR menjalankan tahun terakhir periode jabatannya. Secara kuantitas, target penuntasan 55 RUU yang tercantum di dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2019 hanya terpenuhi sebanyak 12 RUU atau 21,8%. Secara keseluruhan dalam kurun waktu 5 tahun, dari 189 RUU yang ditargetkan sepanjang 2014–2019, hanya 35 RUU atau 18% yang berhasil diselesaikan. Dari aspek kualitas pun tak lebih baik karena sejumlah RUU bermasalah justru hadir di pengujung akhir masa kerja DPR, salah satunya adalah RUU KPK yang disetujui menjadi UU di tengah gelombang penolakan masyarakat secara nasional.

 

Berbagai fenomena tersebut memunculkan satu benang merah. Fajri menyebutkan, semakin terkonsolidasinya kepentingan para pemegang kursi kekuasaan yang didominasi para elite partai politik. Konsolidasi kepentingan itu dilakukan seolah sejalan dengan ketentuan yang berlaku karena semua proses dilakukan dalam bentuk pengambilan kebijakan ataupun pembentukan peraturan perundang-undangan yang absah secara hukum.

 

Namun di sisi lain, pelibatan publik amat minim dalam setiap proses itu. Akibatnya, posisi masyarakat yang sesungguhnya menjadi pemangku kepentingan utama dalam setiap pengambilan kebijakan dan pembentukan peraturan, justru semakin lemah dan terpinggirkan. “Pada tataran yang tidak sekadar normatif, kondisi itu jelas telah menyimpang dari prinsip-prinsip negara hukum,” terang Fajri.

 

Cabang kekuasaan kehakiman pun menurut Fajri belum sepenuhnya dapat menjadi tumpuan harapan untuk membersihkan perangkat negara dari segelintir elite yang sekadar ingin menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya. Sepanjang 2019, setidaknya dua putusan yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dinilai tidak menguntungkan perjuangan pemberantasan korupsi.

 

Keduanya yaitu putusan lepas atas terdakwa kasus BLBI, Syafruddin Arsyad Tumenggung, dan putusan bebas atas terdakwa kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1, Sofyan Basir. Kualitas putusan-putusan pengadilan yang dinilai belum mencerminkan rasa keadilan masyarakat tersebut seakan menjadi noda bagi dunia peradilan yang sesungguhnya cukup diwarnai sejumlah terobosan positif dalam beberapa tahun terakhir.

 

Baca:

 

Untuk itu, Fajri menyebutkan, PSHK mengeluarkan sejumlah rekomendasi menghadapi 2020. Pertama, konsolidasi gerakan masyarakat sipil perlu diperkuat sebagai upaya untuk mengontrol setiap kebijakan pemerintah. Kedua, Pemerintah dan DPR harus membuka seluas-luasnya ruang partisipasi publik dalam setiap pembentukan peraturan dan kebijakan. Ketiga, pembangunan sektor ekonomi harus senantiasa berjalan dengan berbasis pada nila-nilai perlindungan hak asasi manusia, antikorupsi, dan pelestarian lingkungan.

 

Keempat, proses pembentukan kebijakan dan peraturan serta pembangunan di berbagai sektor bebas dari pengistimewaan kelompok pemilik modal karena hal itu berpotensi menciptakan segregasi yang semakin dalam di tengah masyarakat dan kelima, Pemerintah harus meninggalkan pendekatan represif dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum.

 

Sebelumnya, Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul mengakui realisasi produk legislasi yang dihasilkan DPR periode 2014-2019 jauh dari target. Namun, capaian legislasi DPR tidak melulu berdasarkan daftar Prolegnas jangka panjang ataupun prioritas. “Pembuatan RUU juga dapat diusulkan berdasarkan amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK),” katanya.

 

Menurutnya, adanya RUU kumulatif terbuka membuka peluang masuknya RUU di luar Prolegnas. Sebut saja, Revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang masuk Prolegnas di pertengahan jalan, hingga akhirnya disahkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 seraya kerja legislasi berdasarkan daftar Prolegnas pun tetap berjalan.

 

Dia berharap berlakunya UU Nomor 15 Tahun 2019 menjadi pemicu bagi DPR dalam meningkatkan kerja legislasi dalam pembahasan RUU yang belum rampung di periode sebelumnya (carry over). “Seharusnya pemetaan terhadap setiap komisi diharapkan dapat merampungkan 2 sampai 3 RUU,” katanya.

Tags:

Berita Terkait