Penundaan Pilkada 2020 Jalan Bijak di Tengah Pandemi Covid-19
Kolom

Penundaan Pilkada 2020 Jalan Bijak di Tengah Pandemi Covid-19

​​​​​​​Memberikan sebuah kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia yang lebih besar dalam mencegah semakin banyaknya yang terkena positif Covid-19.

Bacaan 7 Menit
Radian Syam. Foto: Istimewa
Radian Syam. Foto: Istimewa

Beberapa hari yang lalu kita diberitakan dengan peningkatan angka yang positif Covid-19. Selama Pandemi Covid-19 putra-putri terbaik bangsa sudah ada yang dinyatakan positif Covid-19 dan bahkan ada yang meninggal. Kita juga sempat dikejutkan beberapa hari terakhir ini dengan pemberitaan di mana Ketua KPU RI Saudara Arif Budiman, serta 2 anggota KPU RI yakni Pramono Ubaid Evi Novida Ginting dinyatakan Positif covid-19, di mana sebelumnya di bulan Juni 2020 anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalo juga pernah diberitakan positif Covid-19 (kini telah sembuh), serta Ketua KPU Kabupaten Musi Rawas Utara Agus Marianto yang dinyatakan positif Covid-19.

Ketua KPU RI pun sempat mengatakan ada 59 pasangan calon kepala daerah yang telah mendaftarkan diri ke KPU dinyatakan positif Covid-19 dari hasil swab. Jika kita juga melihat hasil perkembangan Pandemi Covid-19 yang melanda dunia telah menyebabkan ekonomi semua negara melambat dan/atau memproyeksikan penurunan pertumbuhan ekonominya akibat pandemi Covid-19, serta sudah ada negara yang telah menyatakan resesi.

Bahwa melihat dasar dari Pelaksanaan Pilkada Desember tahun ini adalah berawal saat Presiden dengan kewenangan yang telah diberikan UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22 ayat (1) mengeluarkan Perpu Nomor 2 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang-undang, yang kemudian disetujui oleh DPR RI sehingga menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020.

Pada Pasal 201A ayat (2) disebutkan, bahwa pemungutan suara serentak yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada bulan Desember 2O2O. Atas dasar itulah kemudian KPU telah mengeluarkan 3 (tiga) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yakni: (1) PKPU Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Tahapan, Program Dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020; (2) PKPU Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19); dan (3) PKPU Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Dengan telah diterbitkannya UU Nomor 6 Tahun 2020 dan PKPU Nomor 5 Tahun 2020 maka KPU melanjutkan dan/atau mengaktifkan kembali tahapan yang sempat tertunda karena adanya Pandemi Covid-19, di antaranya tahapan berupa verifikasi faktual pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur perseorangan, Bupati dan Wakil Bupati perseorangan, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota perseorangan, serta pendaftaran Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Penulis ingin kembali mencoba menyampaikan terdapat beberapa alasan kenapa perlu ditundanya pelaksanaan Pilkada tahun 2020. Terdapat 7 hal penting jika Pilkada diselenggarakan Desember 2020, yakni: (1) Bahwa akan berpotensi pada Perpanjangan Masa Tanggap Darurat Kesehatan. Hal ini dengan kondisi darurat kesehatan yang masih belum menentu. Tahapan akan aktif kembali di bulan Juni 2020, di mana kita melihat tahapan itu ada yang melibatkan ratusan dan/atau ribuan orang. Maka opsi ini sangat berisiko pada kualitas pelaksanaan pilkada serentak yang tidak maksimal dikarenakan tahapan yang sangat padat di mana setiap daerah memiliki karakter yang berbeda; (2) Harmonisasi Aturan. Pasca Perpu No. 2 Tahun 2020 terbit, KPU kemudian harus mengeluarkan PKPU dan Bawaslu Perbawaslu; (3) Penghitungan Hasil Rekapitulasi Suara (kurang lebih 30 hari); (4) Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi RI; (5) Kondisi Alam pada bulan Desember atau akhir tahun; (6) Bahwa persiapan SDM yang juga sangat penting; (7) Bahwa terkait anggaran yang juga membutuhkan waktu dalam pencairan sehingga akan berpotensi pada tidak maksimal dalam melakukan pemanfaatan anggaran.

Jika kemudian kita melihat kondisi saat ini maka apa yang menjadi hal penting yang telah disampaikan Penulis menjadi harus kembali diperhitungkan khususnya 2 hal yakni: pertama terkait covid-19 di mana adanya kenaikan bagi yang positif Covid-19 bahkan Penyelenggara Pemilu dan Pasangan Calon Kepala Daerah yang Positif Covid-19. Kedua, terkait harmonisasi aturan di mana kita ketahui lamanya proses terbentuknya PKPU khususnya PKPU Nomor 6 Tahun 2020 bahkan KPU RI mengeluarkan SE Nomor 20 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Di mana sebenarnya Surat Edaran tidak termasuk kategori peraturan perundang-undang dan/atau sebuah produk hukum yang mengikat semua pihak namun Surat Edaran hanya mengikat ke dalam (internal) dan sifatnya memperjelas peraturan yang mesti dijalankan. Sehingga Surat Edaran yang telah dikeluarkan KPU RI tersebut seakan Surat Edaran rasa PKPU.

Kita melihat sikap Pemerintah, DPR RI bersama KPU di mana tetap dengan menjalankan tahapan Pilkada, maka kemudian Penulis menduga potensi meningkatnya kasus Covid-19 semakin tidak terkendali. Atas hal itu maka Penulis menduga akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang mana jelas Konsep Hak Asasi Manusia telah diatur dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea ke-4; UUD NRI Tahun 1945 Pasal (1) ayat (2) menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, serta terdapat di antaranya: Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945: Perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.

Hak untuk hidup yang dijaminkan dalam Pasal 28A UUD NRI Tahun 1945, Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”, dan Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik (Diratifikasi dengan UU Nomor 12 Tahun 2005); Hak atas kesehatan yang pengaturan jaminannya ditetapkan dalam Pasal 28H UUD NRI 1945, Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Pasal 12 ayat (1) Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005), dan UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan; Hak atas rasa aman, menekankan kewajiban negara atau pemerintah untuk memberikan jaminan atas perlindungan diri, kehormatan, martabat, dan hak milik.

Kewajiban tersebut tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 29 dan Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Sehingga apabila Pilkada di bulan Desember 2020 tetap dipaksakan, maka hak asasi manusia yang mana menjadi unsur terpenting dalam sebuah negara akan dipertaruhkan yakni: hak atas hidup, hak atas sehat, dan hak rasa aman yang seharusnya dijamin oleh negara. Dalam hal ini pelaksanaan Pilkada di tengah Pandemi Covid-19 yaitu hak dasar warga negara yaitu hak sehat diduga akan terabaikan.

Namun yang terpenting menurut Penulis di mana Pemilu dapat disebut juga sebagai ”pasar politik” (political market), di mana tempat individu atau masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial (perjanjian masyarakat) antara peserta Pemilu (parpol) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah lebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi kampanye dan sebagainya guna meyakinkan pemilih sehingga pencoblosan dapat melakukan pilihannya terhadap salah satu parpol yang menjadi peserta pemilu untuk mewakilinya dalam badan legislatif maupun eksekutif, akan tidak dapat dijalankan dengan maksimal karena adanya batasan-batasan dalam melakukan kampanye di mana disebabkan adanya Protokol Kesehatan Covid-19 karena kita sadar dan/atau ketahui bahwa sebuah Pemilu pasti akan melibatkan banyak masyarakat dan hal ini yang dilarang dalam Protokol Covid-19 di mana harus menggunakan masker serta tidak boleh ada kerumunan orang harus jaga jarak (social distancing).

Dalam hal ini memang Pemilu yang berkala merupakan salah satu indikator dari sebuah negara dapat disebut sebagai negara demokratis, di mana  dengan Pemilu, rakyat dapat mengartikulasikan kepentingan. Namun sekali lagi Penulis lebih ingin memperhatikan bahwa Pemilu seharusnya dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip dan/atau kebebasan-kebebasan yang telah diatur oleh Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 di mana dikatakan Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali, sehingga kemudian pemilu dapat betul-betul melahirkan pemerintah yang memiliki legitimasi yang kuat, sekaligus rakyat yang dapat menyuarakan kepentingan mereka tanpa ada rasa ketakutan karena di tengah Pandemi Covid-19 serta adanya rasa aman bagi Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP), karena penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalisme dan akuntabilitas.

Akuntabiltas berarti setiap pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan kewenangannya kepada publik baik secara politik maupun secara hukum. Oleh sebab itu Penulis ingin menyebutkan bahwa Pemilu memiliki 3 hal yang sangat amat terpenting yang tidak dapat terpisahkan yakni: (1) Pemilih atau Rakyat; (2) Peserta Pemilu dan/atau Partai Politik; dan (3) Prosedural, Substansi Materi dan/atau Aturan hukum yang mengikat.

Setelah melihat apa telah disampaikan oleh Penulis dan juga adanya ruang yang telah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2020 Pasal 201A ayat (3), yakni: Dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A. Terlebih Presiden pun telah mengatakan Keselamatan Rakyat adalah hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex). Maka lebih baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah bersama seluruh elemen anak bangsa bersatu melawan pandemi Covid-19.

Maka langkah penundaan Pilkada di Desember 2020 merupakan langkah yang bijak dan/atau tepat di mana ditunda menjadi tahun 2021, karena akan memberikan sebuah kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia yang lebih besar dalam mencegah semakin banyaknya yang terkena positif Covid-19, serta mengurangi diduganya dampak dari kemudharatan (dampak yang kurang baik) atas pelaksanaan Pilkada di bulan Desember 2020.

Pemilu dan Politik sesuatu hal yang penting, namun kesehatan rakyat terlepas dari pandemi Covid-19 menjadi jauh lebih sangat amat penting, karena jika rakyat sehat maka akan tercipta pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan nilai-nilai luhur dari sebuah pemilu di mana nantinya akan terciptanya pemerintah yang sehat dan/atau bersih dengan sebuah legitimasi politik yang kuat dari rakyat. Salam Kedaulatan Rakyat!


*)Dr. Radian Syam, S.H., M.H, Pengajar HTN FH Universitas Trisakti

Tags:

Berita Terkait