Peradi Beri Masukan terhadap RUU Hukum Acara Perdata ke DPR
Pojok PERADI

Peradi Beri Masukan terhadap RUU Hukum Acara Perdata ke DPR

Peradi diundang untuk memberikan masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata kepada Komisi III DPR.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 3 Menit
Peradi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi III DPR RI. Foto: istimewa.
Peradi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi III DPR RI. Foto: istimewa.

Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) diundang untuk memberikan masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata kepada Komisi III DPR. Hal ini juga disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Adies Kadir ketika membuka Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan DPN Peradi di Komisi III DPR, Jakarta, Rabu (25/5) lalu.

 

“Tujuan kami mengundang Peradi untuk berdiskusi dan menerima masukan mengenai pasal-pasal krusial untuk dibahas Komisi III dan pemerintah,” kata Adies.

 

Ketua Dewan Kehormatan Daerah (DKD) DKI Jakarta yang juga Juru Bicara DPN Peradi dalam RDPU, Rivai Kusmanegara menyampaikan 45 masukan secara detail atas RUU KUHA Perdata. Dari 49 catatan masukan tersebut, terdapat hal penting. Pertama, panggilan sidang melalui juru sita dan delegasi Pengadilan Negeri (PN) agar diubah dengan pos tercatat dan tanpa delegasi; seperti yang berjalan di PTUN dan Pengadilan Agama.

 

‎Menurutnya, cara delegasi cenderung memperlama dan memperumit. Begitu pula penyampaian oleh juru sita yang berdampak pada besarnya biaya perkara—terutama di daerah-daerah yang wilayah hukum PN-nya meliputi beberapa kabupaten.

 

“Dalam pengamatan kami, cara pemanggilan dengan juru sita ini membaut biaya sangat mahal. Kalau di Jakarta, mendaftarkan perkara ini Rp5 juta, tapi Kalteng atau Papua itu mendaftarkan perkara bisa Rp25 juta,” ujar Rivai.

 

Mahalnya biaya tersebut karena luasnya wilayah hukum suatu PN yang membawahi empat kabupaten. Penyampaian secara langsung dan jauhnya jarak, membuat juru sita harus menyewa mobil dan menginap di hotel. Padahal, hari ini jasa PT Pos Indonesia sudah sangat baik. Berbeda dengan zaman lahirnya hukum acara warisan Belanda.

 

Kedua, pelelangan oleh PN selama ini kurang diminati masyarakat karena pemenang lelang masih harus mengeluarkan biaya pengosongan dengan kemungkinan gagal akibat gangguan di lapangan.

 

“Kami sarankan pengosongan dilakukan sebelum lelang agar objek yang dibeli clear, sehingga minat masyarakat meningkat,” Rivai menambahkan.

 

Hukumonline.com

Perwakilan Peradi dalam RDPU. Foto: istimewa. 

 

Ketiga, masukan untuk mengurangi tahapan upaya hukum, tidak seperti sekarang hingga empat tahap. Masyarakat lelah menunggu sengketa selesai dan berdampak pada biaya dan waktu. Banyak negara hanya mengenal satu kali upaya hukum; dan sebenarnya Indonesia sudah mengadopsinya dalam perkara PHI, kepailitan, HAKI, dan pembatalan KTUN lokal. Alasan Peninjauan Kembali (PK) juga disarankan untuk dibatasi karena novum dan pertentangan antarputusan.

 

Keempat, eksekusi sebaiknya dilakukan tanpa delegasi melalui PN lain. Selain lama dan rumit, jika terdapat perlawanan akan ditangani PN delegasi, sedang berkas perkara pokok berada di PN pemutus. Perubahan sistem eksekusi ini diharapkan dapat menaikan indeks EDB Indonesia.

 

“Kelima, e-court belum diakomodasi RUU ini dan model panggilan dengan penempelan pada papan pengumuman PN dan kantor bupati dapat digantikan dengan penayangan pada website PN,” katanya.

 

Atas masukan ini, Komisi III DPR termasuk para wakil dari fraksi-fraksi partai politik menyampaikan apresiasi dan meminta DPN Peradi yang dikomandani Ketua umum Prof. Dr. Otto Hasibuan S.H., M.M. terus mengikuti proses dan memberikan masukan dalam pembahasan RUU Hukum Acara Perdata. Ini salah satunya disampaikan oleh Anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan, I Wayan ‎Sudirta.

 

“Peradi menyambut baik tawaran pihak DPR karena stakeholder utama RUU Hukum Acara Perdata adalah advokat dan hakim, sehingga Peradi berkepentingan memajukan hukum acara perdata ini,” Rivai menjelaskan. 

 

Terlebih, lanjut dia, Undang-Undang Kitab Hukum Acara Perdata yang berlaku saat ini merupakan warisan kolonial. Menurutnya, sudah saatnya Indonesia memiliki undang-undang karya anak bangsa yang modern, mewujudkan fair trial, dan menjawab tantangan masa depan.

 

“Kami apresiasi karena RUU ini sudah kita nantikan sekian lama, akhirnya bisa bergulir. Tentunya bukan hanya menjawab persoalan-persoalan pada hari ini, tapi juga bagaimana memodernisasi peradilan, termasuk memudahkan peradilan kepada masyarakat,” ucapnya.

 

Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPN Peradi, Hermansyah Dulaimi menyampaikan, pihaknya sangat menunggu kesempatan ini karena sudah mendapat banyak pertanyaan soal KUHA Perdata yang tak lagi relevan. “Kita sudah 75 tahun merdeka, tapi sampai sekarang belum ada KUH Acara Perdata,” kata Hermansyah.

 

Dalam RDPU ini hadir juga sebagai perwakilan dari Peradi yaitu Shalih Mangara Sitompul, Viator Harlen Sinaga, Nikolas Simanjuntak, Onny Wastoni, dan Riri Purbasari Dewi.

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).

Tags: