Peradi SAI dan RBA Tolak Pasal Advokat Curang dalam RUU KUHP
Utama

Peradi SAI dan RBA Tolak Pasal Advokat Curang dalam RUU KUHP

Pengaturan pasal advokat curang seharusnya cukup diatur dalam UU Advokat, seperti halnya UU Kepolisian dan UU Kejaksaan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES

Rumusan norma Pasal 282 dan Pasal 515 draf RUU KUHP terkait pemidanaan terhadap advokat yang berbuat curang dan manipulasi (tidak jujur) mendapat respons beragam dari kalangan sejumlah organisasi advokat. Ada yang menolak karena potensi dikriminalisasi, dan ada yang menyetujui pengaturan pemidanaan bagi advokat curang saat menjalankan profesnya.   

Pasal 282 RUU KUHP mengancam pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak kategori V (Rp500 juta) advokat yang menjalankan pekerjaannya secara curang. Seperti, mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien yang dapat merugikan kepentingan kliennya. Atau mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.

Sedangkan Pasal 515 RUU KUHP mengancam pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III bila memasukkan atau meminta memasukkan dalam surat gugatan atau permohonan cerai atau permohonan pailit, memberi keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat.  

Ketua Umum Peradi Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI), Juniver Girsang menilai rumusan Pasal 282 RUU KUHP tentang advokat curang ini melanggar UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, putusan MK, dan Kode Etik Advokat. Sebab, dalam beleid tersebut sudah diatur mengenai perilaku advokat yang dikaitkan dengan iktikad baik advokat setiap menjalankan profesinya.

“Kami menolak dengan tegas dan keras aturan RUU KUHP yang mengatur mengenai advokat curang, karena itu sudah diatur dalam UU Advokat dan putusan MK,” kata Juniver saat dihubungi Hukumonline, belum lama ini. (Baca Juga: Pasal Advokat Curang dalam RUU KUHP Perlu Dikaji Ulang)

Juniver menjelaskan dalam UU Advokat sudah diatur advokat tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana sepanjang bisa menjalankan profesinya dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai kode etik serta peraturan perundang-undangan. Selain itu, dalam putusan MK No. 26/PUU-XI/2013 dinyatakan Pasal 16 UU Advokat harus dimaknai bahwa advokat tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata selama menjalankan tugas dan profesinya dengan iktikad baik di dalam maupun di luar persidangan.    

Lebih lanjut dalam kode etik advokat, bila advokat melanggar tentu yang bergerak terlebih dahulu kode etik. Dewan Kehormatan yang memeriksa apakah ada pelanggaran etik yang dilakukan advokat? Setelah itu, bisa dilihat apakah perbuatan tersebut bisa dikatakan curang atau tidak. Perbuatan curang advokat dinilainya sangat bias, apakah pembuat UU ini paham atau tidak perbuatan curang ini? Seolah advokat saat menjalankan profesinya tidak bisa bergerak dan berkomunikasi karena dianggap mempengaruhi.

“Ini sudah melanggar UU Advokat, Konstitusi, dan kode etik. Karena itu, delik advokat curang dalam RUU KUHP harus dicabut karenap potensi mengakibatkan advokat tersandera dalam menjalani profesinya. Adanya aturan ini, advokat berpotensi dikriminalisasi,” katanya.

Ketua Umum Peradi Rumah Bersama Advokat (Peradii RBA) Luhut MP Pangaribuan menilai pasal pemidanaan bagi advokat curang, salah satu contoh bahwa RUU KUHP over kriminalisasi. Sebab, advokat curang sudah diatur dalam substansi UU lain yakni UU Advokat dan Kode Etik serta ada dalam pasal pidana umum lainnya. “Tidak perlu ada aturan advokat curang dalam RUU KUHP. RUU KUHP ini over kriminalisasi,” kata Luhut kepada Hukumonline.

Sebaiknya diatur dalam UU Advokat

Hal berbeda disampaikan Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI), Tjoetjoe Sandjaja Hernanto mendukung adanya pasal pemidanaan terhadap advokat curang. Dia mengakui memang ada asas imunitas dalam Pasal 16 UU Advokat dan putusan MK dimana advokat tidak dapat dituntut baik secara pidana dan perdata karena dia menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik.

“Tapi, kalau yang namanya curang, sudah pasti tidak ada iktikad baik kan,” kata Tjoetjoe kepada Hukumonline.

Menurutnya, aturan advokat curang ini sebaiknya diatur dengan kriteria yang harus detail Misalnya, sebelum advokat tersebut dilakukan pemeriksaan oleh penyidik ada baiknya diperiksa dulu oleh Dewan Kehormatan Advokat. “Pasal mengenai advokat curang ini jangan diatur dalam RUU KUHP, tetapi diatur dalam UU Advokat, seperti UU Kepolisian RI dan UU Kejaksaan RI,” ujarnya.

Mengapa harus diperiksa terlebih dahulu ke Dewan Kehormatan Advokat karena banyak advokat yang sudah bekerja dengan baik-baik, berarti tidak curang meski tetap dilaporkan ke polisi. “Tak jarang ketika perkaranya kalah, dianggap menipu klien, padahal kan yang memutus perkara bukan pengacara, tapi majelis hakim. Tapi ketika perkaranya kalah advokat dianggap menipu karena sudah bayar mahal tetapi kalah. Nah, ini celakanya nantinya klien dapat melaporkan ke polisi dengan alasan advokat curang,” ujarnya.

Menurutnya, harus ada tahapan yang diatur secara lebih rinci dan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu di Dewan Kehormatan Advokat agar advokat tidak mudah di kriminalisasi saat menjalankan profesinya. “Jadi, aturan ini harus diatur dalam UU Advokat, bukan RUU KUHP,” katanya.

Tags:

Berita Terkait