Peraih Prima Adhyaksa Ini Lulus Cumlaude Program Doktoral FHUI
Terbaru

Peraih Prima Adhyaksa Ini Lulus Cumlaude Program Doktoral FHUI

Rudi berhasil mempertahankan disertasinya yang diberi judul Diskresi Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Antara Kepentinggan Hukum dan Kepentingan Umum.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 3 Menit
Dalam ujian terbuka Sidang Promosi Doktor FHUI, Rudi Pradisetia Sudirdja (tengah), berhasil mempertahankan disertasinya yang diberi judul Diskresi Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Antara Kepentinggan Hukum dan Kepentingan Umum. Foto: DAN
Dalam ujian terbuka Sidang Promosi Doktor FHUI, Rudi Pradisetia Sudirdja (tengah), berhasil mempertahankan disertasinya yang diberi judul Diskresi Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Antara Kepentinggan Hukum dan Kepentingan Umum. Foto: DAN

Dalam rezim Hukum Administrasi Negara, diskresi dimaknai sebagai jalan untuk mengatasi persoalan ketika undang-undang tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas. Dengan kata lain, untuk mencegah terjadinya stagnasi dalam proses pengambilan keputusan, pejabat administrasi negara memiliki kewenangan dalam bentuk diskresi. Setidaknya ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah mengatur demikian.

George C. Christie memberikan definisi diskresi sebagai sebuah pilihan dalam pengambilan keputusan. Sementara dalam konteks sistem peradilan pidana, David E. Aronson menyatakan diskresi meliputi tindakan menginterpretasikan undang-undang, penggunaan kewenangan dan pilihan tindakan dari penegak hukum. Karena itu, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan discretionary selama pelaksanaan proses peradilan pidana.

Dalam bidang penuntutan, Ronald F Wright menyebutkan bahwa diskresi penuntutan merupakan kewenangan jaksa dalam memilih dan menentukan penuntutan dari suatu kasus serta menentukan jenis, berat, atau lamanya sanksi yang akan dituntut.

Baca Juga:

Menurut Jeffery T. Ulmer, cakupan diskresi ini terdiri dari proses pendakwaan, proses menyaring perkara (apakah akan membawa ke pengadilan atau tidak), proses pengakuan bersalah termasuk di dalamnya pengurangan hukuman, tawar menawar, dan terakhir tentang rekomendasi sanksi.

Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Belanda, hingga Jepang telah menempatkan diskresi jaksa sebagai sesuatu yang penting dalam sistem peradilan pidana mereka. Sementara di tanah air, UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum mengatur pemaksanaan tentang diskresi.

Sistem Peradilan pidana Indonesia belum memiliki definisi tentang diskresi, syarat-syarat diskresi dalam sistem peradilan pidana, batasan-batasan diskresi dalam sistem peradilan pidana, letak diskresi dalam sistem peradilan pidana, kemungkinan diskresi dalam tahap pra-ajudikasi hingga purna-ajudikasi, bentuk-bentuk diskresi dalam sistem peradilan pidana, sub sistem peradilan pidana yang diberikan wewenang untuk mengambil tindakan diskresi, hubungan antara diskresi sub sistem yang satu dengan sub sistem yang lain, koreksi atas diskresi, pihak yang diberikan wewenang untuk mengawasi diskresi sub sistem SPP, serta bentuk pengujian apabila ada dugaan penyalahgunaan wewenang diskresi tersebut.

Sejumlah hal di atas diungkap dalam ujian terbuka Sidang Promosi Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) yang menghadirkan promovendus Kepala Sub Bagian Pengelolaan Data I Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung, Rudi Pradisetia Sudirdja. Dalam ujian terbuka tersebut, Rudi berhasil mempertahankan disertasinya yang diberi judul “Diskresi Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Antara Kepentinggan Hukum dan Kepentingan Umum”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait