Peran Pengurus dalam Restukturisasi Utang (I)
Kolom

Peran Pengurus dalam Restukturisasi Utang (I)

Berbeda dengan tugas seorang kurator dalam kepailitan, yang wewenang umumnya melakukan pengurusan dan atau pemberesan atas budel pailit (Pasal 12 ayat 1 UUK), seorang pengurus mempunyai tugas utama untuk menghantarkan debitur untuk mencapai kesepakatan dengan para krediturnya atas tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang utangnya kepada para kreditur (Pasal 212).

Bacaan 2 Menit

Karenanya dimungkinkan pula, bagi debitur berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pengurus untuk melakukan pinjaman dari pihak ketiga (Pasal 226 ayat (3) UUK). Bagaimana seorang pengurus dapat memberikan kewenangan kepada debitur untuk melakukan pinjaman, apabila yang bersangkutan tidak memiliki wawasan bidang keuangan dan bisnis.

Demikian halnya, ketentuan dalam Pasal 234-237 UUK menuntut kemampuan dan kecakapan seorang pengurus untuk dapat memberikan kepastian mengenai kelanjutan pelaksanaan suatu perjanjian timbal balik yang pada saat putusan PKPU ditetapkan belum atau baru sebagian dipenuhi. Dari ketentuan ketentuan tersebut di atas, sangat jelas bahwa untuk menjadi pengurus diperlukan "capability" bukan sekadar "petugas administrasi "ataupun "tukang catat".

Peran pengurus dalam restrukturisasi utang

Sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter regional, pengusaha pada umumnya bertumbangan. Hal ini disebabkan karena leverage yang begitu besar melebihi kapabilitas usahanya, baik perusahaan-perusahaan tertutup maupun perusahaan perusahaan terbuka. Untuk menghindari kebangkrutan ataupun menjaga reputasi (?), para pengusaha berlomba-lomba melakukan restrukturisasi atas utang utangnya, baik yang diperoleh dari lembaga keuangan dalam negeri maupun luar negeri, baik kepada lembaga keuangan maupun supplier-nya.

Untuk membantu para pengusaha melakukan restrukturisasi atas utang utangnya, Pemerintah Indonesia membentuk Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative) sebagai sarana mediasi antara para pengusaha dengan para krediturnya dalam melakukan upaya upaya restrukturisasi utang. Pembicaraan pembicaraan restrukturisasi utang yang ditawarkan oleh Prakarsa Jakarta bukan berdasarkan cara bilateral antara masing-masing kreditur dengan debitur, melainkan melalui suatu panitia perumus berdasarkan prinsip-prinsip negosiasi yang tidak mengikat secara hukum.

Kesepakatan antara para kreditur dengan debitur tidak didasarkan kepada keputusan mayoritas, tetapi berdasarkan kepada keputusan aklamasi. Menjadi pertanyaan, bagaimana jika antara mayoritas kreditur dengan debitur telah menyetujui suatu bentuk restrukturisasi utang, sementara sebagian kreditur lainnya tidak menyetujui. Apakah kreditur yang tidak menyetujui tersebut terikat kepada restrukturisasi utang yang telah disepakati, atau apakah ada jaminan bagi para kreditur mayoritas yang telah menyetujui restrukturisasi utang untuk terlaksana dengan baik tanpa adanya ancaman gugatan perdata ataupun permohonan pailit atas debitur bersangkutan.

Menyikapi hal tersebut di atas, penulis menawarkan solusi kepada para debitur untuk "memindahkan" forum negosiasi antara para kreditur dengan debitur dari Prakarsa Jakarta ke Pengadilan Niaga melalui mekanisme penundaan kewajiban pembayaran utang secara sukarela (voluntarily suspension of payment). Dasarnya adalah bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 270 UUK, perdamaian yang telah disahkan berlaku terhadap semua kreditur yang baginya berlaku penangguhan pembayaran.

Memang masih ada resiko bagi debitur untuk dinyatakan pailit, apabila para krediturnya tidak memberikan persetujuan PKPU Tetap atau menolak rencana perdamaian. Resiko yang sama juga tetap ada, sekalipun mayoritas kreditur telah menyetujui restrukturisasi utang melalui Prakarsa Jakarta. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan bagi kreditur yang tidak menyetujui untuk mengajukan gugatan perdata atau memohonkan pailit atas debitur.

Halaman Selanjutnya:
Tags: