Peran TNI/Polri di MPR Bisa Dipercepat
Berita

Peran TNI/Polri di MPR Bisa Dipercepat

Jakarta, hukumonline. Peran Fraksi TNI/Polri di MPR telah diputuskan hingga 2009. Namun, keberadaan fraksi ini di MPR bisa dipercepat karena masih banyak yang menentang TNI/Polri bercokol sebagai wakil rakyat.

Tri/APr
Bacaan 2 Menit
Peran TNI/Polri di MPR Bisa Dipercepat
Hukumonline

"Obrolan Merdeka" pada Sabtu (19/8), mendiskusikan hasil Sidang Tahunan 2000, khususnya yang berkaitan dengan peran politik TNI dan Polri di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan pemberian tugas teknis pemerintahan sehari-hari kepada Wapres dari Presiden.

Dalam diskusi tersebut berkembang bahwa peran politik TNI dan Polri itu dibatasi paling lambat 2009. Lukman Hakim, Sekretaris Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) menegaskan, mungkin saja sebelum 2009 peran politik TNI/Polri berakhir tanpa perlu mencabut Tap tersebut.

Lukman menambahkan, begitu juga nanti pada saat perubahan kedua amandemen UUD 1945, khususnya yang berkaitan dengan bab tentang MPR. Nanti mungkin saja MPR berbentuk bikameral yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sehingga praktis peran TNI dan Polri tidak ada.

Alasan ketidaksetujuan Lukman terhadap peran TNI dan Polri di parlemen adalah pertama, parlemen itu merupakan forum politik. "Kepentingan-kepentingan itu bermain dan sungguh berbahaya apabila ada kekuatan bersenjata masuk ke arena politik karena bisa menghancurkan demokrasi itu sendiri karena ada kekuatan memaksa tadi."

Kedua

, karena TNI dan Polri itu milik bangsa, sehingga apabila mempunyai fraksi sendiri akan berhadapan dengan fraksi-fraksi lain dari parpol yang merupakan representasi dari rakyat. "Nanti akan berhadapan antara TNI dan Polri dengan sipil," ujarnya.

Hak memilih dan dipilih

Berkaitan dengan ada tidaknya hak TNI dan Polri untuk memilih dan dipilih, Lukman menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi dari profesi TNI dan Polri itu sendiri. Konsekuensinya, jika TNI dan Polri ingin berpartisipasi aktif di arena politik harus melepaskan profesinya.

Lukman optimistis sebelum 2009 peran politik TNI dan Polri akan berakhir. Pasalnya, sekarang ini sudah ada kearifan dari elite-elite TNI dan Polri sendiri untuk secara ikhlas tidak duduk di MPR. Hal ini terutama karena telah adanya perubahan paradigma TNI dan Polri yang melakukan reposisi dan redefinisi peran TNI dan Polri.

Lukman juga menyoroti pemisahan tugas antara Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) yang sedianya dalam Sidang Tahunan akan dituangkan dalam suatu Tap MPR tersendiri. Lukman memandang, seharusnya masalah ini memang dibuatkan Tap tersendiri. Alasannya, ia melihat bahwa antara kekuatan Presiden dan Wapres berbeda. Keduanya dipilih langsung oleh MPR, walaupun untuk pemilihan Wapres harus dengan persetujuan Presiden.

Definisi "membantu Presiden" dalam UUD  45, Lukman tidak melihat adanya ruang lingkup tugas yang jelas baik dalam batang tubuh maupun penjelasan. Kewenangan MPR lah sebagai lembaga yang mengangkatnya untuk memberikan definisi terhadap tugas dan ruang lingkup Presiden dan Wapres, sehingga tidak dibuat sekarang ini dalam keputusan presiden.

Kabinet pelangi

Lukman sangat tidak setuju campur tangan partai politik (parpol) dalam pembentukan kabinet. Alasannya, hal itu merupakan hak prerogratif dari presiden dalam sistem kabinet presidensial. "Kita sudah punya pengalaman buruk 10 bulan kabinet pelangi Gus Dur yang sangat rapuh," katanya. Dengan kabinet seperti itu, tidak jelas komitmen menteri-menteri dari parpol, terhadap eksekutif ataukah terhadap partai politiknya?

Untuk ke depan, Lukman sangat setuju dengan Pemilihan Presiden secara Langsung (PPL) agar tidak terjadi anomali seperti sekarang ini. F-PPP mendukung PPL pada 2004. Pada pembahasan Sidang Tahunan, masalah ini belum tuntas karena waktu pembahasan hanya dua setengah hari, sehingga perubahan pasal-pasal yang mandiri saja yang dapat dilakukan. Sementara pembahasan PPL itu akan sangat berkaitan dengan bab-bab yang lain seperti tentang MPR, BPK, dan sebagainya.

Zulvan Lindan dari Fraksi PDIP mengatakan bahwa kompromi penentuan menteri 40% dari parpol dan 60% dari profesional, seperti usulan presiden, kalau bisa dibalik menjadi 60% dari parpol dan 40% dari profesional. "Namun kriterianya haruslah jelas seperti moralitas, integritas, dan profesionalitas," kata Zulvan.

Zulvan memandang 100% zaken kabinet sangat sulit terwujud karena saat ini kompromi-kompromi politik itu sangat menentukan. Dia menjelaskan, dengan kekuatan presiden yang hanya 11% di parlemen, sulit bagi presiden untuk mengukur kekuatannya di parlemen, sehingga kompromi politik dalam pembentukan kabinet sangat menentukan.

Walaupun secara konstitusinal sistem yang kita anut adalah sistem presidensial, di mana presiden mempunyai hak prerogatif, dalam faktanya kompromi-kompromi itu masih sangat menentukan. "Presiden tidak bisa mengindahkan hal itu, kecuali mempunyai kekuatan 45%, sehingga tinggal menggalang 10% suara lagi," ujarnya.

Tags: