Perang Satu Orang
Tajuk

Perang Satu Orang

Menghentikan perang adalah cara paling bermartabat. Menghentikan penderitaan bangsa manapun dari dampak perang adalah cara paling manusiawi.

RED
Bacaan 7 Menit
Perang Satu Orang
Hukumonline

Sejarah mencatat peristiwa “Siege of Leningrad” dengan tinta merah. Mungkin karena terjadinya di negara komunis, dunia merasa perlu mengingatnya dengan samar dan abai. Tetapi tidak bagi bangsa Rusia. Tidak juga bagi Putin yang waktu itu belum lahir, tetapi orang tuanya menjadi warga Leningrad yang sangat menderita karena pengepungan bala tentara Jerman dan sekutunya.

Leningrad, sejak 8 September 1941, dikepung selama hampir 900 hari. Pengepungan militer ini merupakan pengepungan suatu kota yang terlama, terkejam dan paling menghancurkan dalam sejarah perang modern. Korban dari perang dan akibat pengepungan Leningrad mencapai 700.000 sampai 1,5 juta orang dengan sekitar 1,1 sampai 1.3 juta orang korban warga sipil. Salah satunya adalah kakak kandung Putin.

Bayangan mengenai kesengsaraan, kekacauan, kehancuran, peperangan dan kematian yang meluluh-lantakkan Leningrad dicoba untuk divisualisasikan dalam film “Enemy at The Gate”. Film ini berfokus pada perburuan sampai mati antar wakil dua bangsa yang sedang berperang, yaitu seorang penembak jitu (sniper) belia Rusia, Vasily Zaitsev, dan direktur sekolah sniper Jerman, Erwin König.

Di sisi lain, digambarkan juga propaganda politik dan perang syaraf kedua balatentara. Kejadian sesungguhnya tentang Leningrad dan isinya tentu tidak bisa tergambar cukup jelas, apalagi Rusia di bawah Stalin waktu itu, informasi mendapat sensor sangat ketat. Yang pasti terjadi di Leningrad waktu itu adalah suatu tragedi paling berdarah dalam sejarah perang modern, suatu kekejaman dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dipertontonkan tanpa berkedip oleh kekuatan-kekuatan militer.

Siege of Leningrad juga sekaligus menjadi lambang kebangkitan bangsa Rusia untuk membalikkan posisi mereka dari yang terkepung, menjadi pemenang dari perang melawan Nazi Jerman. Dalam benak orang Rusia waktu itu, Jerman adalah “barat” yang ekspansif, dan Jerman adalah juga salah satu “tetangga” dekat Rusia, tetangga yang tidak bisa dipercaya. “Barat” waktu itu adalah juga pembawa panji-panji kolonialisme di hampir seluruh penjuru dunia. Di sisi lain, Leningrad adalah bekas ibukota, lambang Rusia, dan juga tempat asal mula bangkitnya revolusi rakyat Rusia terhadap kekuasaan monarki. Hal-hal ini melekat di banyak benak bangsa Rusia, tidak terkecuali Putin.

Baru-baru ini ada sejumlah artikel di media berusaha untuk membedah dan menganalisa isi kepala Putin, karena mereka ingin tahu apa sebenarnya alasan Putin memerintahkan bala tentaranya menyerbu Ukraina. Sebagian tulisan mengingatkan trauma yang menimpa keluarga Putin selama masa pengepungan Leningrad. Cerita orang tua dan keluarganya, dan jurnal serta catatan sejarah, dengan cermat dibaca oleh Putin, seorang mantan anggota KGB yang punya segala informasi dan daya analitik seorang intelijen. Kisah-kisah Leningrad dianggap sangat membekas batin Putin, yang mungkin menilai bahwa “barat” adalah tetangga dekat yang tidak bisa dipercaya. Pidato panjangnya tentang ketidak-percayaannya itu bisa dicermati dari banyak publikasi dan konten youtube.

Dokumen National Security Archive yang sudah terbuka untuk publik, menceritakan sejumlah jaminan yang diberikan pimpinan barat bahwa NATO tidak akan “satu inchi-pun bergerak ke Timur”, yang dapat mengganggu keamanan Rusia. Janji tidak tertulis itu dimulai dengan pernyataan terkenal Menlu AS waktu itu, James Baker, di hadapan pimpinan Rusia, Mikhail Gorbachev, pada pertemuan mereka tanggal 9 Februari 1990. Menurut berita, janji itu bukan hanya dinyatakan satu kali, tetapi sampai tiga kali, lebih dari 30 tahun yang lalu. Jaminan-jaminan serupa, dalam arsip resmi tersebut, diberikan atau diindikasikan juga oleh sejumlah pimpinan Barat lainnya waktu itu seperti H.W. Bush, Hans-Dietrich Genscher (Menlu Jerman Barat), Helmut Kohl, Robert Gates (Direktur CIA), Francois Mitterand, Margaret Thatcher, Douglas Hurd (Menlu Inggris), John Major dan Manfred Woerner (sekjen NATO) dalam berbagai pertemuan dengan pimpinan USSR waktu itu, Gorbachev.

Semua jaminan itu diberikan dalam konteks penyatuan Jerman Timur dengan Jerman Barat, semacam persyaratan diperolehnya persetujuan USSR, bahwa unifikasi Jerman tidak akan mengancam keamanan USSR, satu inci-pun. Walaupun tidak tertulis, tetapi mungkin Putin percaya dengan ekspresi “your word is your bond”. Putin menganggap Barat cidera janji dengan memperluas jaringan NATO ke Timur (Polandia, Hungaria, Republik Czech, Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Rumania, Slovakia, Slovenia, Albania, Kroasia, Montenegro, dan Macedonia Utara yang menjadi anggota). Belakangan, NATO mengakui aspirasi sejumlah negara untuk juga bergabung, yaitu Bosnia dan Herzegovina, Georgia dan Ukraina. Putin menganggap serbuannya ke Ukraina justified, karena merupakan tindakan bela diri tanah airnya, Mother of Russia. Ukraina menganggapnya agresi. Dunia pun terbelah. Sebagian besar mengutuknya. PBB-pun mengutuknya.

Walaupun perang dunia III secara militer tidak, atau belum pecah, perang dunia lainnya dalam bentuk lainnya sudah terjadi, dan kita yang hanya seekor pelanduk, terancam terinjak di tengah. Serbuan Rusia ke Ukraina direspons dengan kutukan dan boikot atau sanksi ekonomi, sosial, dan budaya dari berbagai penjuru. Sanksi ekonomi membuat rantai pasokan terganggu, bukan hanya di negara yang berperang, tetapi juga mereka yang tidak tahu menahu.

Kebijakan AS dan Eropa pada akhirnya tidak hanya menghukum Rusia dan rakyatnya yang tidak berdosa, tetapi secara tidak langsung juga menghukum Ukraina, rakyat Ukraina, dan rakyat AS dan Eropa sendiri, serta konsumen di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang sangat tergantung dari bahan-bahan impor, utamanya pangan dan energi. Rusia (20%) dan Ukraina (10%) adalah penghasil gandum terbesar dunia. Negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara adalah pengimpor terbesar. Perang ini menyebabkan petani Ukraina berhenti menanam, sebagian harus maju berperang. Pelabuhan-pelabuhan untuk tujuan ekspor ditutup atau hancur. Ketika perang terjadi di ladang-ladang, kota-kota, dan jalan-jalan di Ukraina, maka penduduk di Mesir, Lebanon, Tunisia, Yaman, dan banyak negara lain, turun ke jalan untuk mengantri gandum dan roti karena kelangkaannya mulai terasa.

Semakin lama perang terjadi, semakin tinggi ancaman pertahanan pangan dunia terjadi. Bahaya kelaparan sudah mulai membayang. Penduduk negara berkembang dan negara maju dengan penghasilan rendah juga terancam karena biaya pangan masih merupakan bagian yang besar dari pengeluaran belanja mereka. Rusia juga penghasil energi dunia yang sangat besar. Rusia menghasilkan 23% gas alam dunia, dan 40% dari kebutuhan Uni Eropa diimpor dari Rusia. Kelangkaan gas alam dari Rusia di pasar meningkatkan inflasi, dan tingginya inflasi meningkatkan harga pangan. Lagi-lagi yang menderita adalah rakyat dunia berpenghasilan rendah, di manapun mereka berada.

Pemimpin negara-negara maju yang memberikan sanksi sekarang repot menjelaskan kepada rakyatnya sendiri bahwa keputusan mereka tidak bisa semata dilihat dari kepentingan menjaga demokrasi dunia, tetapi juga harus dilihat bagaimana rakyatnya ikut menanggung keputusan-keputusan tersebut. Mungkin Putin tahu ini, dan memanfaatkannya dalam konflik ini. Karenanya perang harus diakhiri, bukan hanya untuk memberi kesempatan rakyat Ukraina menentukan apa yang terbaik buat Ukraina, bukan hanya untuk meyakinkan Rusia bahwa mereka cukup aman karena sejumlah tuntutannya atas netralitas Ukraina terpenuhi, tetapi juga buat semua rakyat di pelosok dunia yang terancam kelaparan dan menurun kualitas kehidupannya.

Setiap perang pasti dilandasi oleh alasan yang dicoba untuk dijustifikasi oleh pencetusnya. Alasan itu bisa untuk mendapatkan manfaat ekonomis, memperluas teritori, karena konflik agama, untuk balas dendam, kebangkitan paham nasionalisme, revolusi kemerdekaan, mempertahankan diri, maupun karena urusan sepak bola. Ya, sepakbola. Pada tahun 1969 terjadi perang singkat (La Guerra del Futbol) antara El Salvador dan Honduras gara-gara kerusuhan yang terjadi pada babak kualifikasi kejuaraan dunia FIFA. AS dan atau Barat tentu juga punya alasan sendiri kenapa mereka harus menyerang dan menduduki Granada, Palestina, Kuba, Korea, Vietnam, Irak, Libya, Afghanistan, Suriah, dan banyak negara lain. Belum lagi pendudukan dan penjajahan di masa kolonial. Indonesia di masa orde baru mungkin juga punya alasan menyerbu dan menduduki Timor Timur.

Pertanyaan besarnya, apakah penyerbuan, pendudukan, dan peperangan dan kekejaman yang terjadi selama perang bisa dijustifikasi dari sudut pandang hukum, hubungan internasional, perdamaian dunia, dan kemanusiaan? Hukum internasional, yang lebih banyak sisi tumpulnya, tidak cukup menjangkau masalah ini, karena kepentingan-kepentingan antara pihak yang berperang, yang sangat bisa lentur dan berbenturan. PBB sendiri sudah dianggap gagal menjaga perdamaian dunia. Gagal mencegah dan menindak Rusia dan AS yang justru lebih agresif dan invasif.

Hubungan internasional antar bangsa, juga sangat dipengaruhi oleh saling ketergantungan akan kebutuhan komoditas, rantai pasok, ekonomi, dan hubungan tradisional yang sudah terbangun untuk waktu yang lama. Secara ekonomi, politik, sosial dan budaya kita dekat dengan Timur semasa Orde Lama. Semasa Orde Baru, kita sangat dekat dengan Barat. Politik luar negeri bebas aktif kita sangat luwes untuk menyesuaikan dengan kebutuhan kita. Kemandirian politik yang kita mau tegakkan, tidak selalu sejalan dengan keinginan untuk menjadi mandiri, baik dari sisi ekonomi dan pertahanan, sehingga Barat dan Timur selalu berlomba untuk dekat, dan tidak memusuhi Indonesia.

Pada akhirnya, yang tersisa dari kenapa perang tidak seharusnya terjadi hanya masalah kemanusiaan, karena ukuran-ukuran lain tidak berlaku, bahkan ukuran keadilan. Ketika kita bertanya tentang apakah ada keadilan dalam perang Putin, pasti dia punya jawabannya. Juga ketika Barat menyerbu negara-negara yang berada ribuan kilometer dari tempat mereka memutuskan perang. Tetapi tidak ada yang bisa menjawab ketika ditanyakan apakah ada keadilan buat atau dari sisi kepentingan prajurit, korban, pengungsi, keluarga yang terpisah, dan rakyat Rusia, Ukraina, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan semua negara yang terdampak akibat perang.

Ketika hampir seluruh dunia melalui deklarasi PBB yang ompong, jalur diplomatik, dan media mengutuk Putin, hampir tidak ada yang mengutuk Barat yang memberi senjata, kebutuhan perang, dan logistik untuk tentara Ukraina, yang artinya memberi amunisi untuk meneruskan perang. Tidak juga ketika mereka melakukan embargo ekonomi, budaya, dan bahkan kegiatan olahraga yang tidak hanya membuat sengsara rakyat negara yang diembargo, tetapi juga rakyatnya sendiri dan rakyat di seluruh dunia karena barang dan jasa menjadi langka, mahal dan tidak terjangkau, interaksi sosial antar bangsa terhenti, dan permusuhan dilanjutkan di tingkat hubungan ekonomi, sosial dan budaya.

Kehidupan politik, kenegaraan dan hubungan internasional sudah semakin tidak sehat dengan standar ganda yang digunakan oleh para penguasa. Kekacauan, penderitaan dan kesengsaraan yang diakibatkan oleh perang mungkin diputuskan oleh hanya satu orang penguasa, atau satu kelompok kecil di lingkaran terdekat penguasa. Tidak ada rakyat yang menghendaki perang, karena merekalah selalu yang menjadi penderitanya. Konstitusi, sistem politik, pemerintahan dan hukum setiap negara mempunyai dasar, cara dan proses untuk menyatakan negara dalam keadaan perang terhadap negara lain. Tetapi selalu hanya ada satu atau sekelompok kecil orang yang menentukan keputusan untuk perang.

Menghentikan perang adalah cara paling bermartabat. Menghentikan penderitaan bangsa manapun dari dampak perang adalah cara paling manusiawi. Menghentikan satu atau sekelompok kecil orang dari kehausan akan kekuasaan dan pertunjukan kekerasan, baik mereka ada di Kremlin, White House, Downing Street dan tempat-tempat lain serupa adalah langkah paling masuk akal. Dan hanya mereka sendiri yang bisa melakukannya. Sisa dunia hanya bisa berharap dan berbuat sekedarnya untuk melindungi dan mengurangi penderitaan rakyatnya sendiri.

ATS, Ramadhan 2022 yang penuh kekerasan.

Tags:

Berita Terkait