Perebutan Kata Karena Ketidakjelasan Kriteria
Belinda Rosalina, S.H., LL.M (*)

Perebutan Kata Karena Ketidakjelasan Kriteria

Sejak lama dunia bisnis memang membutuhkan nama sebagai tanda pengenalnya dan kemudian berkembang pada tendensi konsumen atas mutu atau kualitas produk atau layanan suatu usaha.

Bacaan 2 Menit
Perebutan Kata Karena Ketidakjelasan Kriteria
Hukumonline

 

Hal ini juga pernah dibuktikan sendiri oleh pengalaman teman penulis ketika hendak mendaftarkan suatu merek di Ditjen HKI. Ternyata merek tersebut telah didaftarkan sebelumnya pada kelas merek yang sama juga. Oleh salah seorang di bagian pendaftaran merek disarankan untuk melakukan sedikit modifikasi, sehingga nama tersebut akhirnya lolos dan akhirnya melengganglah sertifikat merek ke tangan sang klien teman tadi.

 

Modifikasi dan kombinasi kata inilah yang dalam prakteknya membuahkan berbagai sengketa merek. Padahal berkenaan dengan penggunaan kata kombinasi ini sendiri, di lingkungan Departemen Hukum dan HAM berlaku suatu larangan berkenaan dengan modifikasi dan kombinasi merek.

 

Ismail Saleh semasa menjabat Menteri Kehakiman pernah menggariskan melalui Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. JHB 1/1/9 tanggal 20 Mei 1973 tentang Merek Kombinasi, bahwa agar tidak didaftar oleh Direktorat Merek (ditolak) apabila kombinasi kata yang salah satu unsur dari perkataan tersebut sudah didaftar oleh orang lain lebih dahulu. Tapi begitulah, sesuai kata orang, ganti menteri ganti kebijakan.

 

Tak heran jika kemudian lahir berbagai sengketa dari penggunaan kombinasi merek ini, bahkan untuk merek yang telah mendunia sekalipun seperti dalam kasus merek GIANNI VERSACE dengan DANATELLA VERSACE (No. 17/Merek/2003/PN. Niaga Jkt. Pst.), dimana dalam hal ini terdapat persamaan pada pokoknya yaitu kata VERSACE. Contoh lainnya adalah merek VERSUS dengan V2 VERSI VERSUS (No. 77/Merek/2003/PN.Niaga Jkt. Pst).

 

Padahal penggunaan maupun penjiplakan istilah asing ini adalah haram hukumnya menurut putusan hakim dalam perkara Nike. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 220 K/Pdt/1986 ini menyatakan bahwa warga Negara Indonesia yang memproduksi barang-barang buatan Indonesia wajib menggunakan nama-nama merek yang jelas menampakkan identitas nasional Indonesia dan sejauh mungkin menghindari menggunakan nama merek yang mirip apalagi menjiplak nama merek asing.

 

Praktek Bisnis Adalah Penting

 

Sejatinya, walaupun penggunaan kata-kata dalam merek sangatlah variatif kemiripannya, tidaklah akan memancing timbulnya sengketa merek jika memang dalam praktik bisnis dilakukan secara jujur tanpa adanya itikad buruk. Namun kenyataan berbicara lain. Banyak sekali tingkah polah pengguna merek yang berusaha menyerempet atau mendompleng cara penggunaan merek lain yang sudah sukses di pasaran.

 

Walaupun mereknya berbeda secara artikulasi kata, namun seringkali kemasan produk baik berupa bentuk kemasan maupun penggunaan serta permainan warna beserta unsur desain lainnya justru mengecoh konsumen yang sudah terbiasa dengan suatu merek tertentu. Masalah ini lebih dikenal dengan istilah trade dress. Sayangnya pada banyak sengketa merek, hal ini tidaklah banyak membantu karena kebanyakan proses pembuktian hanya melibatkan sertifikat merek saja.

 

Sengketa dengan argumentasi masalah trade dress memang justru menimbulkan kerumitan karena kerap terkait dengan masalah paten ataupun ketentuan mengenai desain industri dan seringkali akan melebar pada argumentasi mengenai fungsi ataupun mengenai look and feel sebagai bagian yang penting bagi persaingan antar produk. Mungkin hal inilah yang ingin dihindari banyak pihak yang bersengketa merek.

 

Padahal, seorang pengusaha yang beritikad buruk dengan mudah dapat mendaftarkan merek menggunakan kata kombinasi. Kemudian, dengan cara mendesain kemasan produk, konsumen Indonesia yang umumnya sangat sensitif masalah harga dengan mudah pula mengasosiasikan produk tersebut dengan produk lain yang sudah terkenal. Dan akhirnya, produk pendompleng ini dengan mudah melakukan penetrasi pasar.

 

Hakim pun Sering Beda Pendapat

 

Sebagai pintu terakhir pengawal keadilan, hakim yang notabene adalah manusia biasa dan tentu tak lepas dari subjektifitas, sering membuat putusan yang bertolak belakang. Kriteria yang jelas mengenai penentuan persamaan pada pokoknya tidaklah terlalu bisa diharapkan lahir dari berbagai putusan hakim di Indonesia.

 

Dalam beberapa contoh yurisprudensi yang berkaitan dengan persamaan pada pokoknya, diantaranya kasus yang sangat terkenal adalah merek PODO REDJO dengan KEMIRI REDJO.  Dalam putusan di Mahkamah Agung, kedua merek ini dianggap tidak mempunyai persamaan pada pokoknya (Kepma Nomor 1631 k/sip/1978 tanggal 20 Juni 1979).

 

Begitu juga dengan merek DAICHI, yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah nomor satu, dan ICHI yang artinya dalam bahasa Indonesia juga adalah satu  sebagaimana tertuang dalam Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.3055 K/Sip/1985 tanggal 29 Juni 1983). Kasus lain adalah LOBAK ABANG dan TIGA LOBAK  dalam Kepma Nomor 2570 K/Sip/1982 tanggal 28 Maret 1991). Begitupun dengan merek MEIJI JOY dinyatakan tidak memiliki persamaan baik dengan merek MEIJI maupun dengan merek JOY dalam Kepma No. 24 K/Sip/1985 tanggal 29 Juni 1983.

 

Dari berbagai putusan tersebut, pada awalnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa untuk menetapkan adanya persamaan pada keseluruhan, atau pada pokoknya, antara merek yang satu dengan merek yang lainnya, maka merek yang bersangkutan harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat tanpa mengadakan pemecahan atas bagian-bagian dari merek tersebut.

 

Namun kesimpulan ini dimentahkan kembali oleh putusan-putusan lain, diantaranya adalah sengketa merek TOLAK ANGIN milik PT. Industri Jamu dan Farmasi Sidomuncul yang dianggap mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek SINGKIR ANGIN dan TANGKIS ANGIN milik Sandra Linata Hidayat (No. 457/Pdt.G/1995/PN.Jkt.Pst tanggal 27 Maret 1996). Putusan lain yang mementahkan kesimpulan tadi adalah putusan sengketa merek SIDO MUNCUL dengan merek SIDO DADI dan MUNCUL KARYA milik Ping Liem (No. 42/Pdt.G/1997/PN.Jkt.Pst tanggal 5 Mei 1997).

 

 

Lembaga independen

 

Walaupun kriteria persamaan pada pokoknya telah diatur dalam undang-undang maupun dalam doktrin hukum--yakni adanya persamaan bunyi atau ucapan--cara penulisan huruf/kata, penempatan unsur-unsur pokok, menimbulkan kesan yang dapat membingungkan/mengecoh konsumen serta mengingatkan pada merek lain yang sudah dikenal luas dalam masyarakat, atau  memiliki persamaan dengan merek kombinasi lain, semua hal tersebut tidaklah cukup.

 

Cara pemecahan lain yang mungkin saja dapat dilakukan adalah dengan meminta lembaga independen untuk melakukan survey mengenai persepsi masyarakat atas sengketa merek yang ada.  Jelas bahwa kesan masyarakat atas suatu merek dengan merek lain adalah hal paling penting. Disinilah pentingnya lembaga survey untuk membuktikan hal tersebut. Tentunya dengan metode pengumpulan data yang dapat dipertanggung jawabkan.

 

Namun sekali lagi hal ini terbentur pada berbagai kendala. Masalah time frame atau waktu penyelesaian perkara merek yang singkat di Pengadilan Niaga tentu akan menjadi ganjalan untuk melaksanakan survey ini. Masalah lain yang krusial adalah siapa yang akan dibebankan untuk membayar pelaksanaan survey ini? Dibagi rata antara para pihak yang bersengketa atau dibebankan kepada negara yang kondisi keuangannya saja sedang ngos-ngosan seperti sekarang ini.

 

 

 

(*)Penulis adalah pendiri Klinik HKI Universitas Indonesia, kini aktif sebagai bekerja sebagai Assistant to Managing Partner di Amroos & Partners.

Tulisan di atas semata-mata adalah pendapat/pandangan pribadi Penulis dan bukanlah pendapat institusi di mana Penulis bekerja

Tak heran jika kemudian banyak yang berusaha mendompleng suatu nama. Makin terkenal sebuah nama makin banyaklah pendomplengnya.

 

Itulah uniknya merek. Makin kreatif suatu kata dan semakin tinggi eskalasi penghargaan masyarakat atas kata tersebut, makin bernilailah ia. Hal inipun diwarnai oleh berbagai perseteruan pengusaha untuk memperebutkan kata yang menjadi merek tersebut di meja hijau. Mungkin ratusan halaman tak kan cukup untuk menyebutkan deretan kata-kata ini yang diantaranya adalah kata Joss, DaVinci, Good Year dan Nike yang kesemuanya merupakan sengketa merek.

 

Timbul suatu pertanyaan besar mengapa pendaftaran kata-kata tersebut beserta variasinya dapat lolos menjadi merek di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Padahal telah ada pihak lain yang mendaftarkan dan menggunakannya terlebih dahulu? Jawabannya mungkin karena penilaian kemiripan tersebut sangatlah subjektif. Sama halnya dengan proses kreatif untuk melahirkan kata/nama tersebut yang sangat tergantung pada intuisi masing-masing individu yang memang terlahir tidak pernah sama.

 

Kriteria Persamaan Pada Pokoknya

 

Lalu apakah tidak ada ketentuan penyaring sehingga merek yang didaftarkan tersebut lolos begitu saja dari para pemeriksa di Ditjen HKI? Tentu saja ada kriteria utama penyaring, yakni masalah persamaan pada pokoknya yang selalu diatur oleh UU Merek yang telah berganti beberapa kali, dan terakhir diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001.

 

Pasal 6 ayat (1) a dan b UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek dalam penjelasannya menyatakan bahwa persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan merek lain. Kriteria ini ditambah pula dengan ketentuan bahwa merek itu dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek tersebut.

 

Jelas bahwa penjelasan tersebut memperkuat pendapat bahwa penilaian persamaan pada pokok suatu merek sangatlah subjektif karena tergantung pada taste/rasa  seseorang atas suatu kata atau nama. Tak heran jika kemudian berbagai kata/nama yang mirip dengan merek terdaftar tetaplah memiliki peluang untuk lolos dari pemeriksaan di Ditjen HKI.

Halaman Selanjutnya:
Tags: